close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi / Pixabay
icon caption
Ilustrasi / Pixabay
Dunia
Kamis, 10 Oktober 2019 16:02

Bepergian ke Yangon, 30 warga Rohingya ditangkap

Warga Rohingya yang ditahan disebut berusaha pergi ke Malaysia.
swipe

Sejumlah pihak menyerukan agar Myanmar membebaskan 30 warga Rohingya yang ditangkap pada September saat bepergian dari Rakhine State ke Yangon.

Sebanyak 21 warga Rohingya terancam menghadapi hukuman dua tahun penjara di bawah UU Registrasi Penduduk yang menetapkan bahwa warga negara harus memiliki kartu registrasi untuk membuktikan identitas mereka. Sementara itu, sembilan anak yang tergabung dalam kelompok itu dikirim ke penjara anak-anak.

UU tersebut telah digunakan terhadap warga Rohingya, yang secara resmi tidak memiliki kewarganegaraan karena tidak diakui oleh pemerintah Myanmar.

Pihak berwenang mengatakan kepada Radio Free Asia bahwa warga Rohingya tersebut berusaha pergi ke Malaysia. Mereka diduga membayar pedagang manusia antara US$330-464 untuk membawa mereka ke Yangon, di mana mereka berharap mendapatkan tumpangan untuk keluar dari Myanmar.

"Sungguh sebuah ironi bahwa para warga Rohingya yang sebelumnya ditahan di Rakhine State kini dikurung di penjara di Negara Bagian Pathein," kata Direktur Eksekutf Human Rights Watch (HRW) Brad Adams pada Selasa (8/10). "Tiga puluh pria, wanita dan anak-anak itu dihukum hanya karena mencari pelarian dari kebrutalan sehari-hari yang mereka alami selama bertahun-tahun."

Warga Rohingya menghadapi penganiayaan di Myanmar. Pada 2017, dilaporkan bahwa lebih dari 700.000 Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh, dan kemudian menetap di kamp-kamp pengungsi dekat perbatasan.

Di Myanmar, warga Rohingya dilarang bepergian ke daerah tertentu tanpa mendapatkan izin resmi dari pihak berwenang. Pemerintah menganggap mereka sebagai imigran ilegal asal Bangladesh dan menolak memberikan hak-hak dasar mereka.

Wakil Direktur Divisi Asia HRW Phil Robertson mengatakan, banyak warga Rohingya di Rakhine State yang hidup dengan sejumlah pembatasan. Mereka tidak memiliki akses untuk mendapatkan kesempatan kerja dan terus-menerus berada di bawah pengawasan polisi.

"Ini adalah situasi mengerikan yang tidak diperhatikan oleh dunia," tutur Robertson.

Sejumlah organisasi HAM telah berulang kali memperingatkan bahwa negosiasi terkait repatriasi pengungsi Rohingya yang sedang berlangsung antara Bangladesh dan Myanmar dapat mengarah pada persekusi lebih lanjut. Hal ini terutama karena pemerintah Myanmar terus menolak memberikan hak kewarganegaraan bagi warga Rohingya.

Adams mengatakan, penahanan warga Rohingya pada September itu seharusnya menjadi penanda jelas bahwa negara itu tidak tertarik memberikan hak-hak kebebasan mendasar kepada etnis minoritas muslim tersebut.

Warga Rohingya yang dipenjara mengatakan bahwa pada awalnya mereka berjumlah 44 orang saat berangkat dari Sittwe. Namun, kelompok itu menyusut menjadi 30 orang setelah pihak berwenang mencegat mereka di sebuah dermaga.

Pemerintah Myanmar memutuskan untuk memenjarakan mereka setelah melalui pengadilan di mana para warga Rohingya bahkan tidak diberikan hak untuk memiliki perwakilan hukum.

Tin Hlaing, seorang warga dari Desa Thae Chaung, mengatakan telah mencoba menghentikan perjalanan kelompok warga Rohingya itu.

"Mereka melalui berbagai kesulitan dengan kelangkaan kesempatan kerja dan pembatasan pergerakan," kata Tin. "Mereka tidak menerima saran kami karena mereka merasakan tekanan dari kesulitan dan pengangguran."

img
Valerie Dante
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan