Tak semua setuju dengan cara Presiden Filipina Rodrigo Duterte memberantas narkoba di negaranya. Dengan tindakan aksi main bunuh tanpa proses persidangan, kebijakan itu menyebabkan 20.000 orang meninggal dunia sejak 2016.
Duterte memang tak kenal ampun. Dia memerintah polisi untuk membunuh bandar narkoba yang tak menyerahkan diri. Dia mengabaikan protes dunia internasional demi Filipina bebas narkoba. Dia juga mengabaikan perlawanan dari dalam negeri.
Menurut anggota Senat Antonio Trillane, pemerintahan Duterte sendiri mengungkapkan 3.967 pengguna narkoba tewas saat melawan ditangkap polisi sejak 1 Juli 2016 hingga 27 November 2017. Padahal, target utama perang melawan narkoba adalah bandar, bukan pengguna.
Kasus bunuh diri meningkat drastis selama perang narkoba. Sebanyak 16.355 kasus bunuh diri diselidiki petugas keamanan selama perang narkoba.
Kemudian 118.287 pengguna narkoba menyerahkan diri. Pada saat yang bersamaan, 1.308.078 bandar narkoba menyerahkan diri kepada petugas. Mereka tidak ingin mati sia-sia terkena peluru petugas keamanan. Bisa ditebak, penjara-penjara di Filipina pun penuh dihuni para bandar narkoba.
“Berdasarkan data pemerintah, jumlah korban tewas dalam perang narkoba sedikitnya 20.322 orang,” jelas Trillanes dilansir Al Jazeera pada Kamis (22/2). “Tidak semua korban tewas itu terkait narkoba, banyak juga korban tewas tidak memiliki sangkut paut narkoba,” kritiknya.
Trillanes pun berujar, hanya di Filipina saja, presidennya membunuh rakyatnya sendiri. Pembunuhan itu, kata dia, merupakan eksekusi yang didukung negara.
Tapi, pemerintahan Duterte menegaskan polisi membunuh para bandar narkoba dalam operasi legal. Senator Manny Pacquiao, pendukung Duterte, menegaskan kalau tuduhan Trillanes itu terlalu prematur.
Dalam pandangan Carlos Conder, perwakilan kelompok pemerhati hak asasi manusia (HAM) di Filipina menyatakan jumlah yang diajukan Trillanes tidak mengejukan. “Jika jumlah itu benar, itu berarti sungguh mengkhawatirkan,” ujar Carlos. Apalagi, jumlah korban tewas versi Trillanes tidak berbeda dengan jumlah yang diinformasikan kelompok pemerhati HAM lainnya.