close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi perang dagang China dan AS/ Shutterstock
icon caption
Ilustrasi perang dagang China dan AS/ Shutterstock
Dunia
Senin, 09 April 2018 16:45

Berharap China akan mengendurkan tarif dagangnya

Amerika Serikat yakin China akan menurunkan hambatan perdagangannya. China akan menyadari hambatan perdagangan tidak benar dilakukan.
swipe

Saling membalas, begitulah yang terjadi antara dua negara yang sedang berseteru soal perdagangan. Setelah Amerika Serikat (AS) menetapkan tarif kekayaan intelektual dari China, beberapa jam setelahnya negara tembok besar membalasnya dengan memperluas tarif impor produk dari AS. 

Seperti diketahui, AS telah membebani China dengan praktik perdagangan yang disebut tidak adil dengan membebankan tarif atas kekayaan intelektual. Sebesar 25% tarif akan dikenakan lebih dari 1.300 industri China yang terdiri dari: komponen elektronik dan tayangan televisi dari china.

Akan ada pemasukan tambahan sebesar US$ 50 miliar atas pengenaan tarif tersebut. Tapi AS langsung gigit jari karena China langsung membalasnya dengan pengenaan tarif impor lanjutan untuk: kacang kedelai, pesawat terbang, mobil, daging sapi dan bahan-bahan kimia. 

Sektor pertanian AS pun gaduh. Sejumlah asosiasi pertanian dan petani AS memprotes atas pengenaan tarif yang makin menekan laba yang akan diperoleh. Hanya Presiden Donald Trump yang percaya diri kalau China tidak akan kuat dengan pengenaan tarif yang dibuatnya. 

"China akan menurunkan hambatan perdagangannya. Karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan," tukas Trump lewat akun Twitternya. 

Namun apa yang diharapkan Trump belum tentu sesuai dengan harapannya. Sebab Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, Gao Feng mengatakan bahwa ancaman Trump untuk pengenaan tarif lain keliru dan tidak dapat dibenarkan. 

Bahkan China menanggapinya dengan sengit. Apabila AS melakukan ancaman baru, maka negara tembok besar tidak akan diam. 

Media di China tidak tinggal diam. Mereka habis-habisan mengkritik AS sambil menyebut bahwa tindakan proteksi perdagangan yang dilakukan Trump adalah bentuk kekalahannya. 

Koran Harian Rakyat China bahkan menulis tajuk khusus tentang kekhawatiran pemimpin bisnis AS atas dampak yang ditetapkan negaranya. Isi tajuk tersebut menyerukan agar komunitas bisnis internasional termasuk kalangan industri dan komersial AS mengambil tindakan cepat dan efektif untuk mendesak pemerintah AS memperbaiki kesalahannya. 

 

 

Mesra tapi kosong  

Meski saling serang atas kebijakan perdagangan. Donald Trump mengaku hubungannya dengan Presiden China Xi Jinping terbilang harmonis. 

"Presiden Xi dan saya akan selalu berteman, tidak peduli apa yang sedang terjadi dengan perselisihan tentang perdagangan," tukas Trump. 

Bahkan mantan pengusaha properti tersebut mengatakan bahwa pengenaan tarif adalah kesempatan bagi kedua negara untuk membentuk masa depan yang bagus. Sebaliknya, China menyebut bahwa pesan Trump tersebut justru menandakan bahwa kedua negara berada di ambang perang dagang. Bahkan menuding AS berencana menjadi musuh publik. 

Lantas bagaimana sikap Xi? Memang tidak seperti Trump yang terang-terangan menyerukan perang. Xi lebih kalem menghadapi persoalan dengan AS. Namun apa yang dilakukannya justru membawa lompatan besar bagi negaranya. 

Majalah Time menobatkan Xi Jinping sebagai pemimpin dunia yang bakal mendominasi dunia. Xi disebut sebagai pemimpin China terkuat sejak Den. Ia berhasil memerangi korupsi pemerintah dan berhasil menguatkan rasa nasionalisme Tiongkok yang hampir luntur. 

Direktur Lau China Institute di London menyebut bahwa tidak ada presiden, ekonom terkuat selain Xi saat ini. China berhasil menaikan derajat negaranya usai puing-puing resesi global yang pernah terjadi pada tahun 2008. Xi lah yang berhasil membangunnya. 

Setelah berhasil dengan negaranya, pria yang pernah mengenyam pendidikan insinyur ini mengaku tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Xi mengagas Jalan Sutera yakni proyek infrastruktur senilai US$ 900 miliar untuk mempererat hubungan Asia, Afrika dan China secara ekonomi. 

Di saat AS berkoar-koar tentang retorika 'America First', China justru telah memulai lompatan tinggi dengan menghimpun kekuatan dengan negara lain. Direktur SOAS Institute Universitas London Steve Tsang bahkan menyebut Trump tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Xi. 

Trump hanya bisa menyalahkan China dengan sesumbar mengatakan negaranya telah diperkosa China. Padahal hal tersebut menunjukkan sikap Trump yang tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk masa depan. 

Sementara China terus mempersiapkan diri dengan baik lewat teknologi untuk mengungguli AS. Apabila Trump membatasi negaranya, China dinilai justru lebih ingin menjangkau lebih luas. 


 

img
Mona Tobing
Reporter
img
Mona Tobing
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan