Turki kembali menegaskan penolakannya untuk mengikuti permintaan Amerika Serikat (AS) yang ingin mereka membatalkan pembelian rudal S-400 dari Rusia. Paling anyar, pembahasan seputar hal itu mengemuka dalam pertemuan Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, dengan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo di Washington pada 4 Juni lalu.
Dikutip dari Sputniknews (8/6), AS memperingatkan Turki bahwa sikap ngotot mereka untuk membeli sistem pertahanan udara buatan Rusia tersebut, berpotensi memicu pemberian sanksi AS. AS pun menawarkan Turki membeli rudal Patriot mereka untuk menggantikan S-400. Sebelum ini, AS juga telah berulang kali mengatakan bahwa mereka menginginkan Turki membatalkan transaksi dengan Rusia.
Transaksi pembelian S-400 antara Turki dan Rusia, terjadi pada Desember 2017 lalu. Tak tanggung, Turki menggelontorkan US$2,5 miliar untuk pengadaan empat sistem rudal permukaan ke udara itu.
Rusia sempat menyatakan bahwa mereka siap mempercepat pengadaan tersebut hingga delapan bulan saja. Namun Turki memilih agar senjata pesanannya tersebut dikirim dalah 19 bulan agar memiliki kontrol penuh, lengkap dengan transfer teknologi yang disiapkan Rusia.
"Kami memilih opsi 19 bulan agar dapat mempersiapkan pekerjaan teknis yang dibutuhkan agar pekerja teknis kami dapat menggunakannya di bawah kendali Turki sepenuhnya," kata seorang pejabat Turki yang dikutip Sputniknews.
Adapun terhadap ancaman sanksi AS, Turki tak menggubris dan justru memberi ancaman balik. Turki menyatakan mereka akan menyebar sistem senjata S-400 di lokasi strategis dan akan merespons segala sanksi yang dijatuhkan kepada mereka.
Sanksi yang dimaksud, merupakan konsekuensi yang tercantum dalam UU CAATSA milik AS yang ditandatangani Presiden Donald Trump pada Agustus 2017 lalu. UU tersebut menjadi payung hukum bagi AS untuk menjatuhkan sanksi pada semua entitas dan individu yang beroperasi atas nama pertahanan atau intelijen Rusia, serta mereka yang terlibat dalam transaksi dalam kedua sektor itu.
Keteguhan Turki untuk memiliki sistem pertahanan canggih itu, membuat negara-negara NATO semakin khawatir. Terlebih, sistem senjata tersebut tidak sesuai dengan sistem yang ada di aliansi tersebut. Padahal sebagai anggota NATO, Turki memiliki kewajiban untuk mengintegrasikan semua sistem senjatanya dengan negara anggota lain untuk menjalin aliansi.