close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi biksu Buddha di Burma. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi biksu Buddha di Burma. Alinea.id/Oky Diaz
Dunia
Rabu, 21 April 2021 17:33

Burma dan saga biksu-biksu revolusi

Sepanjang sejarah, kaum biksu berulang kali keluar biara untuk menentang junta militer yang berkuasa di Burma.
swipe

Tak lama setelah Jenderal Ne Wien mengkudeta Burma (kini bernama Myanmar) pada awal Maret 1962, sekitar 40 pemuda dari etnis Shan berkumpul di sebuah biara milik U Na King di Rangoon. Di kuil itu, mereka menggurat nadi dengan pisau dan mengucurkan darah ke sebuah gelas berisi anggur beras. 

Usai bergantian menenggak anggur bercampur darah itu, sebuah sumpah dideklarasikan. Di depan U Na King, biksu berdarah Shan itu, mereka berjanji bakal berjuang membebaskan bangsa Shan dari Burma. "Jika perlu, mereka akan berkorban nyawa," tulis Bertil Lintner dalam Burma in Revolt: Opium and Insurgency since 1948. 

Oleh U Na King, para revolusioner muda itu diberikan nama-nama samaran baru. Semua nama diawali hso. Dalam bahasa etnis Shan, hso berarti harimau, melambangkan keberanian dan determinasi. Hso juga lambang nasional Shan, salah satu kelompok etnis terbesar di Burma. 

Menurut Lintner, kebangkitan pemberontak Shan ketika itu mengkhawatirkan bagi rezim Ne Win yang usianya baru seumur jagung. Pasalnya, mayoritas orang Shan tinggal di wilayah perbatasan Thailand, musuh bebuyutan Burma. Sejak era kolonial Inggris, biksu-biksu di Shan State juga terkenal militan.

"Karena alasan-alasan etnis dan sejarah, biksu-biksu Shan juga cenderung lebih dekat ke Shanga (ordo kebiksuan) Thailand ketimbang ordo kebiarawanan Burma," tulis Lintner. 

Sebelum kudeta itu, etnis Shan, termasuk biksu-biksunya, sebenarnya sudah "jinak". Pada Februari 1947, jenderal Aung San, pendiri Thirty Comrades (kelak berevolusi menjadi militer Burma atau Tatmadaw), sudah menjalin kesepakatan dengan kaum Shan dan perwakilan sejumlah etnis 

Dalam sebuah persamuhan di Panglong, Shan State, Aung San berjanji memperbolehkan etnis Shan dan kawan-kawan memisahkan diri dari Burma dalam beberapa tahun jika tidak setuju dengan bentuk dan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Enam bulan setelah pertemuan itu, Aun San dihabisi pembunuh bayaran yang dikirim kelompok konservatif. 

Saat Burma resmi merdeka pada Januari tahun berikutnya, kursi perdana menteri jatuh ke tangan U Nu, kolega Aung San di Anti Fascist People's Freedom League (AFPFL), organisasi yang dibentuk pada 1945. Kursi presiden lantas diberikan kepada Sao Shwe Thaike, salah satu pemimpin etnis Shan terkemuka saat itu. 

Meskipun dibentuk sebagai negara federal, dengan beragam otonomi bagi daerah, Burma bergejolak. Etnis Karen, mayoritas beragama Kristen, angkat senjata menolak republik baru itu. Sementara itu, kaum komunis mundur ke hutan-hutan dan mulai bergerilya. 

Pemimpin baru Burma itu lantas mencari sokongan dari umat Buddha. Sempat berupaya meregulasi Sangha dan gagal, U Nu berbalik memberikan tempat yang spesial bagi kaum biksu. Pada 1961, setelah memenangi pemilu, U Nu bahkan merilis regulasi untuk menjadikan Buddha sebagai agama resmi negara itu.

Regulasi tersebut diprotes keras, terutama oleh etnis Karen dan kaum Muslim. Gugatan diajukan ke Mahkamah Agung. Namun, pengadilan menolak gugatan tersebut. Nahas, sebelum UU itu resmi berlaku, Jenderal Ne Win keburu melancarkan kudeta. 

Usai berkuasa, Ne Win menghapus konstitusi dan membubarkan semua partai politik di Burma. Junta militer kemudian mendirikan Burma Socialist Program Party (BSPP) sebagai satu-satunya partai politik legal di negeri itu. 

Pada April 1962, Dewan Revolusioner yang dibentuk Ne Win lantas merilis dokumen arah kebijakan negara bertajuk "Jalan Sosialisme Burma". Dalam dokumen setebal 10 halaman itu, isu agama hanya disinggung dalam satu kalimat. 

"Dewan Revolusioner mengakui hak semua warga negara untuk secara bebas memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing," tulis dokumen tersebut. 

Di mata negara, kaum Buddha tak lagi spesial. Pada U Oktober 1963, U Kethaya, biksu berusia 83 tahun yang disokong Amerika Serikat, memulai kampanye gerakan biksu (Yahanpyu) menentang junta militer. Puluhan ribu orang menghadiri ceramah-ceramah biksu sepuh itu di Mandalay. 

"Dia meramalkan Ne Win bakal dibunuh sebagaimana Aung San. Meskipun lancang seperti itu, U Khetaya tak ditangkap. Ne Win mungkin khawatir memenjarakan biksu sepuh itu bakal mengkristalisasi oposisi terhadap pemerintahannya," tulis Lintner. 

Untuk memadamkan bara agitasi Yahanpyu, Ne Win kemudian mengutus petinggi Tatmadaw, Jenderal Sein Lwin. Dengan berbagai kebijakan keras, Lwin merepresi Yahanpyu. Pada akhir 1960, setelah AS menarik dukungannya, gerakan politik kaum biksu di Mandalay itu pun redup.

  Para biksu ikut ambil bagian dalam aksi unjuk rasa menentang junta militer pada 22 September 2007. /Foto dok. Human Rights Watch

Pemakaman U Thant dan persekusi

Kaum biksu baru kembali ke lanskap politik Burma pada pertengahan 1970-an. Pemicunya adalah kematian Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) U Thant di New York, AS, pada 25 November 1974. U Thant dikenal sebagai salah satu tokoh Burma yang paling kencang menentang junta militer. 

Di dalam negeri, junta militer menyambut kabar kematian U Thant dengan dingin. Saat tiba di Rangoon (kini bernama Yangon), pemerintah Burma bahkan sempat berencana menguburkan jenazah U Thant di permakaman "tanpa nama" di pinggiran ibu kota. 

Mahasiswa dan kaum biksu pun protes keras. Kelompok mahasiswa membawa peti jenazah ke bekas gedung Rangoon University Students Union. Di sana, kaum biksu kemudian menggelar ritual pemakaman spesial bagi U Thant. 

Dalam "Death of a Hero, The U Thant Disturbances in Burma", mantan diplomat Australia Andrew Selth merekam prosesi itu. "Meskipun larangan perjalanan resmi dikeluarkan, ribuan warga Burma tiba di permakaman dari tempat-tempat seperti Mergui di selatan dan Mandalay di utara. Tua dan muda hadir, termasuk kalangan biksu dalam jumlah besar," tulis Selth.

Militer kemudian merespons dengan mengirimkan pasukan, mengambil alih jenazah U Thant, dan menguburkannya di dekat Pagoda Shwedagon. Bentrok antara mahasiswa, biksu, dan militer tak terhindarkan. Kerusuhan membekap Rangoon hingga berhari-hari. 

Pada 11 Desember 1974, junta militer mendeklarasikan keadaan darurat. Pasukan militer kemudian mulai menembaki mahasiswa dan biksu yang berunjuk rasa. Usai aksi protes diredam, pemerintah mengumumkan statistik korban yang menggelikan: 9 tewas, 74 luka, dan 1.800 lainnya ditangkap. 

Angka itu tentu saja langsung dibantah kelompok mahasiswa yang terlibat langsung dalam rangkaian aksi unjuk rasa tersebut. Mereka menyebut setidaknya ada sekitar 300-400 demonstran yang berjatuhan ditembus timah panah. 

"Sejumlah biksu juga ditusuk bayonet dan sekitar 500 biksu ditangkap oleh pasukan militer," tulis Gustaaf Houtman dalam "Mental Culture in Burmese Crisis Politics: Aung San Suu Kyi and The National League for Democracy" yang terbit pada 1999. 

Setelah rusuh akibat pemakaman U Thant, junta militer menyadari Shanga masih punya pengaruh kuat. Pada Mei 1980, Jenderal Sein Lwin, kini menjabat Menteri Dalam Negeri dan Urusan Agama, mengeluarkan beragam kebijakan untuk "membersihkan" biara dari biksu-biksu politis. 

Untuk mengontrol para biksu, Lwin mendirikan Komite Sanga Maha Nayaka yang beranggotakan 47 biksu "pilihan". Komite itu punya cabang dan petugas di tiap daerah. Tugasnya ialah memastikan para biksu berperilaku sesuai Vinaya, kode perilaku Buddha. 

Tak hanya itu, para biksu juga diwajibkan menyandang kartu tanda penduduk dan mendaftarkan diri ke negara. Dengan kebijakan-kebijakan itu, Lwin sederhananya melarang semua aktivitas biksu yang berbau politik. 

Menurut Houtman, junta militer sekadar memformalisasi dan melegalkan persekusi biksu yang intens digelar sejak kerusuhan pada hari pemakaman U Thant. 

"Pada 1978, jumlah biksu dan calon biksu yang dilucuti jubahnya, ditangkap, dan dibui terus bertambah. Biara-biara ditutup dan propertinya disita. Pada tahun itu, Sayadaw U Nayaka, seorang biksu senior, meninggal di tahanan setelah disiksa," jelas Houtman. 

 Seorang biksu yang ikut turun berunjuk rasa pada September 2007 tertembak. Kakinya harus diamputasi karena terinfeksi. /Foto dok. Human Rights Watch

Represi terhadap kaum biksu hanya terlihat efektif di permukaan. Pada 8 Agustus 1988, bersama rakyat Burma, kalangan biksu kembali turun ke jalan. Kali itu, pemicunya keputusan junta militer mencabut subsidi bahan bakar minyak.

Respons junta militer lebih keji. Setidaknya ada sekitar 3.000 demonstran yang dibedil oleh pasukan militer yang diterjunkan Tatmadaw untuk memadamkan aksi unjuk rasa di Rangoon dan berbagai kota di Burma. Kaum biksu turut jadi korban.

"Truk militer membuang jenazah dan orang-orang terluka di luar rumah sakit. Beberapa mayat adalah pria telanjang dengan kepala plontos. Itu adalah jenazah para biksu yang dilucuti jubahnya oleh pasukan militer," tulis Berti Lintner dalam Outrage: Burma Struggle for Democracy. 

Pembantaian itu tidak menghentikan aksi protes. Jenderal Sein Lwin, yang naik pangkat jadi presiden sebulan sebelumnya, turun dari jabatannya pada 12 Agustus 1988. Kursi kosong itu kemudian diambil alih Maung-Maung, akademikus loyalis Tatmadaw. 

Pada masa transisi itu, militer sempat balik ke barak. Aksi unjuk rasa berlangsung hingga bulan berikutnya. Pada 18 September 1988, pasukan militer dan polisi huru hara kembali diterjunkan untuk mengatasi demonstrasi. Kerumunan digilas kendaraan militer. Peluru-peluru dimuntahkan. 

Untuk mencegah disintegrasi, State Law and Order Restoration Council (SLORC), junta militer baru di bawah Jenderal Saw Maung, kemudian menjanjikan pemilu dan menghapus sistem satu partai. Partai-partai anyar pun terbentuk. Yang terbesar ialah National League For Democracy (NLD) yang didirikan oleh Aung San Suu Kyi dan koleganya. 

Ketika itu, Suu Kyi sudah jadi ikon demokrasi Myanmar. Saking populernya, rakyat Myanmar mengikuti ke mana pun Suu Kyi pergi. Militer yang "cemburu" dengan eksistensi Suu Kyi kemudian membui putri Jenderal Aung San itu di kediamannya pada 8 Juli 1989. 

Pada akhir Mei 1990, pemilu digelar. NLD menang telak. Partai yang disokong junta hanya memeroleh 10 kursi. Namun, SLORC ingkar janji. Dengan berbagai dalih, junta militer menolak menyerahkan kekuasaan ke tangan sipil. 

Di tengah mandeknya proses politik, Sanga mengambil inisiatif. Pada 8 Agustus 1990, ribuan biksu berbaris memenuhi jalan-jalan di Mandalay. Meskipun bukan demonstrasi resmi, intensi protes kaum biksu terlihat gamblang. 

Sejumlah pasukan yang diterjunkan mengawasi aksi damai itu bereaksi berlebihan. Mereka mulai menembaki kerumunan biksu dengan senjata semi otomatis. Sebagian tewas dan puluhan lainnya terluka. Stasion radio pemerintah mengklaim hanya satu calon biksu yang luka ringan dalam peristiwa itu. 

Kekerasan militer direspons keras kaum biksu di Mandalay dengan mengeluarkan kebijakan pahtani kozana kan (ekskomunikasi). Ditandai dengan gestur membalikkan mangkuk, itu adalah pernyataan sikap menolak donasi dari militer dan orang-orang yang punya hubungan dengan rezim. Dari Mandalay, aksi itu meluas dan diikuti kaum biksu di berbagai daerah. 

Sepanjang sejarah modern, menurut Ingrid Jord dalam "Turning Over Bowl in Burma" yang terbit kali pertama di Religion in News pada 2008, kebijakan semacam itu hanya sekali dikeluarkan Sangha, yakni terhadap Partai Komunis Burma pada 1950. 

"Menolak donasi ialah cara mencegah seseorang memperoleh merit. Dengan menolak berfungsi sebagai sumber merit, kaum biksu secara efektif menghilangkan kondisi spiritual yang menyokong keberlangsungan rezim," tulis Ingrid. 

Seorang biksu membalikkan mangkuk sebagai gestur menolak donasi dari rezim militer Burma pada aksi unjuk rasa September 2007. /Foto dok. Burmacampaign.org

Biksu-biksu revolusi 

Aktivisme politik kaum biksu kembali mencuat pada 2007. Pemicunya masih sama, yakni bobroknya perekonomian negara dan sulitnya kehidupan rakyat Burma di bawah junta militer. Namun, ada peristiwa khusus yang membuat biksu Burma berontak. 

Peristiwa itu terjadi di Pakokku pada 5 September 2007. Ketika itu, sebagai bentuk solidaritas terhadap penderitaan rakyat, kaum biksu ke luar biara untuk menjalankan prosesi doa Metta Sutra, sebuah sutra tentang cinta kemanusiaan. 

Namun, milisi lokal pemerintah malah membubarkan aksi damai itu. Biksu-biksu Pakokku diserang secara brutal: dipukuli dengan popor senjata, diikat di tiang listrik. 

Keesokan harinya, warga Pakokku rusuh dan membakar kendaraan di berbagai sudut kota. All Burma Monks Alliance (ABMA) lantas merilis sejumlah tuntutan, di antaranya mendesak rezim militer memohon maaf sebelum 17 September 2007 dan membebaskan Suu Kyii.

Pada 18 September, setelah tuntutan ABMA tidak dipenuhi, biksu-biksu di Myanmar kembali turun ke jalan, bergabung dengan mahasiswa dan rakyat Burma yang telah menggelar aksi sejak Agustus. Kali itu, puluhan ribu biksu terlibat dalam aksi protes. Rangoon, Mandalay, dan sejumlah kota "menguning" karena kerumunan biksu. 

Reaksi junta militer klasik: pasukan militer dan polisi huru-hara kembali diterjunkan untuk mengatasi gejolak keamanan. Biara-biara digedor. Biksu, calon biksu, dan mahasiswa diburu, dipukuli, ditangkap, dan dibui.

Ratusan biksu bekumpul di Shwedagon Pagoda di Yangon dalam aksi unjuk rasa pada September 2007. Foto Wikimediacommons

Rangkaian aksi unjuk rasa yang kelak dikenal dengan sebutan Revolusi Saffron dan langkah brutal militer Burma itu direkam Human Rights Watch (HRW) dalam laporan bertajuk "Crackdown: Repression of The 2007 Popular Protest in Burma". Dalam laporan itu, HRW mewawancarai lebih dari 100 saksi mata. 

U Agga Pyindaya, bukan nama sebenarnya, mengatakan para biksu memutuskan turun ke jalan karena kesulitan ekonomi yang dialami mayoritas rakyat Burma turut mempengaruhi kondisi biara. Pasalnya, mayoritas biara di Burma mengandalkan donasi dari warga. Semakin hari, jumlah donasi terus turun. 

"Kami semakin sedikit mendapat makanan setelah harga-harga naik. Rakyat kesulitan karena kenaikan itu. Mereka mengeluhkan harga tiket bus dan barang-barang yang mahal. Kami mendengarkan keluhan-keluhan itu," kata biksu berusia 29 tahun itu kepada HRW. 

Maggin, sebuah biara di Rangoon, jadi yang perdana disasar militer. Menurut biksu di biara itu, U Gawsita, Maggin berkali-kali digeledah. Pada 27 September 2007, U Gawsita--saat itu terbaring karena sakit--bahkan menyaksikan langsung kebrutalan militer terhadap rekan-rekannya. 

"Para biksu muda dipaksa berbaring di lantai, dengan moncong senapan di kepala. 'Mana biksu-biksu senior?' Biksu muda menangis dan mengatakan tidak tahu. Tapi, para prajurit akhirnya menemukan mereka. Biksu senior yang pertama ditangkap sudah berusia lebih dari 80 tahun," kata U Gawsita. 

Dua hari setelah penggeledahan itu, Maggin resmi ditutup pemerintah. U Gawsita dan biksu Maggin lainnya yang tak terjaring kemudian melarikan diri ke Thailand. 

Setelah Maggin, biara-biara lainnya menyusul. Biksu-biksu yang selamat pulang ke kampung masing-masing atau kabur ke negara tetangga. Pada awal 2008, HRW memperkirakan lebih dari 1.000 biksu ditangkap junta. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Salah satunya biksu muda yang ikut tergulung adalah U Gambira, pseudonim untuk U Sandawbartha. Saat aksi protes berlangsung, U Gambira dikenal sebagai salah satu tokoh kunci dalam gerakan biksu di Rangoon dan Mandalay. 

U Gambira ditangkap pada 4 November 2007. Sehari setelah penangkapan itu, Washington Post mempublikasikan sebuah artikel yang ditulis langsung oleh sang biksu. Dalam artikel tersebut, U Gambira berkata kebrutalan junta tak akan mampu memadamkan mimpi rakyat untuk benar-benar merdeka. 

"Tetapi, tulang belakang kami terbuat dari baja. Tidak ada lagi jalan pulang. Tidak lagi penting jika hidupku atau hidup teman-temanku harus dikorbankan dalam perjalanan ini. Kaki-kaki yang lain akan mengisi sepatu-sepatu yang kami tinggalkan," kata biksu berusia 28 tahun itu. 

Pada mulanya, U Gambira dibui di Inseon. Setahun berselang, tanpa ditemani pengacara, pengadilan memvonis hukuman penjara 69 tahun untuk biksu pembangkang itu. Ia kemudian dipindahkan ke kamp kerja paksa di barat Burma. 

Meskipun berdarah-darah, Revolusi Saffron tak berbuah manis. Tatmadaw masih tegak berdiri. Tak seperti aksi protes pada pengujung 1990, bahkan tak ada keputusan politik yang dikeluarkan junta militer sebagai langkah kompromi. 

Seorang biksu sepuh di Ma Soe Yin, Mandalay, U Sunanda (bukan nama sebenarnya), mengatakan Revolusi Saffron gagal lantaran jumlah warga sipil yang ikut aksi demonstrasi biksu "tidak cukup". Meski begitu, ia meyakini junta militer bakal tumbang dalam beberapa tahun ke depan. 

"Karena ada sesuatu tercapai September itu. Satu generasi biksu telah terpolitisasi. Kami mendidik mereka. Salah satu alasan rezim akan tumbang ialah globalisasi. Tidak ada negara yang bisa mengisolisasi diri seperti sebelumnya. Lihat Indonesia, rezim itu tumbang," kata U Sunanda. 

Untuk sesaat, ramalan U Sunanda menjadi kenyataan. Pada 2010, NLD kembali menang pemilu. Setahun berselang, junta militer bubar dan Tatmadaw mundur ke balik layar. Meskipun tak resmi dipimpin Suu Kyi, pemerintahan sipil terbentuk. 

Sayangnya, demokrasi di tanah Buddhisme itu, jika memang sempat lahir, hanya hidup untuk sesaat. 
 

 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan