Tujuh partai politik pro-demokrasi di Thailand bersatu dan membentuk koalisi untuk mengklaim mayoritas di majelis rendah dalam pemilu perdana pascakudeta 2014. Mereka berniat menghalangi militer kembali memegang kekuasaan.
"Kami ingin menghentikan cengkeraman kekuasaan rezim ini," kata kandidat perdana menteri dari Pheu Thai, Sudarat Keyuraphan, dalam konferensi pers pada Rabu (27/3).
Junta militer telah memerintah Thailand selama lima tahun terakhir di bawah kekuasaan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.
Menanggapi langkah oposisi, Wakil Perdana Menteri Wissanu Krea-ngam menyebut koalisi anti-junta sebagai strategi psikologis semata yang tidak akan membuahkan hasil.
Meski hasil pemilu resmi baru diumumkan pada 9 Mei, namun Pheu Thai dan partai pro-militer Palang Pracharat sama-sama mengklaim kemenangan.
Penundaan berkelanjutan atas pengumuman hasil resmi pemilu meningkatkan kebingungan dan kekhawatiran adanya dugaan penyimpangan pemungutan suara.
Perwakilan dari koalisi pro-demokrasi menyatakan bahwa dengan berkoalisi mereka dapat meraih 255 kursi dari total 500 kursi di majelis rendah. Untuk menjadi mayoritas, Pheu Thai dan koalisinya perlu mengamankan 376 kursi.
Di majelis rendah, 350 kursi akan diisi oleh partai pemenang dan sedangkan sisa 150 kursi lainnya akan dialokasikan bagi partai kecil berdasarkan jumlah total suara yang mereka dapatkan.
Dari 95% suara yang sudah dihitung, Komisi Pemilu Thailand menyatakan Pheu Thai memenangkan 137 dari 350 kursi di majelis rendah. Sedangkan, Palang Pracharat meraih 97 kursi.
Pheu Thai, yang telah memenangkan setiap pemilu sejak 2001, merupakan partai loyalis mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra.
Thaksin digulingkan dalam kudeta pada 2006. Pada 2014, saudara perempuannya, Yingluck Shinawatra, sempat menjabat sebagai PM sebelum digulingkan dalam kudeta militer pada 2014.
Komisi Pemilu pada Senin (25/3), mengumumkan bahwa Palang Pracharat memimpin pemungutan suara dengan meraih 7,69 juta suara, sementara Pheu Thai hanya memperoleh 7,2 juta suara.
Partai Palang Pracharat mendapat dukungan dari 250 anggota Senat atau majelis tinggi, yang anggotanya sepenuhnya dipilih oleh militer.
Future Forward Party (FFP) merupakan salah satu partai yang bergabung dalam aliansi pro-demokrasi yang mencoba mencegah militer kembali berkuasa. Popularitas FFP meroket dalam pemilu setelah mendapatkan dukungan dari generasi muda.
Partai yang baru dibentuk itu berhasil meraih 5,3 juta suara pada perhitungan terakhir. Raihan suara itu memberikan mereka potensi menjadi partai terbesar ketiga di Thailand.
Ketua FFP Thanathorn Juangroongruangkit menuntut agar Komisi Pemilu merilis hasil perhitungan surat suara dari setiap TPS agar angka-angka itu dapat dicermati semua pihak.
Para kritikus menduga adanya penyimpangan dalam perhitungan suara karena adanya dua juta suara yang dianggap tidak sah oleh Komisi Pemilu.
Pada Selasa, LSM pengawas pemilu, Open Forum for Democracy Foundation (PNET), menuding pemungutan suara itu tidak bebas dan adil. Sementara lembaga serupa lainnya, The Asian Network for Free Elections (ANFREL), mengatakan pemilu kali ini memperlihatkan kecacatan proses demokrasi Thailand.