close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
CEO Rappler Maria Ressa. Facebook/Maria Ressa
icon caption
CEO Rappler Maria Ressa. Facebook/Maria Ressa
Dunia
Jumat, 29 Maret 2019 14:07

CEO Rappler Maria Ressa kembali ditangkap

Menurut pendukung kebebasan pers, Maria menjadi sasaran penangkapan akibat pemberitaan kritis Rappler terhadap pemerintah.
swipe

Jurnalis terkemuka Filipina, Maria Ressa, ditangkap di Bandara Internasional Ninoy Aquino di Manila. Dia diduga melanggar UU yang melarang kepemilikan asing pada media dalam negeri.

Ressa, pendiri dan CEO Rappler, sebelumnya sempat ditahan pihak berwenang Filipina pada Februari. Setelah ditangkap, dia sempat bermalam di penjara sebelum akhirnya dibebaskan dengan jaminan sebesar US$5.000.

Pendukung kebebasan pers mengatakan jurnalis veteran itu menjadi sasaran Presiden Rodrigo Duterte akibat pemberitaan kritis Rappler terhadap pemerintah.

"Jelas ini adalah pelanggaran terhadap hak saya. Saya diperlakukan seperti kriminal, padahal satu-satunya kejahatan yang saya perbuat adalah menjadi jurnalis independen," kata Ressa yang meraih Time Magazine Person of the Year 2018 saat penangkapannya.

Ressa ditahan sesaat setelah turun dari pesawat yang membawanya kembali dari San Francisco, Amerika Serikat.

Dia mengunggah serangkaian twit setelah penangkapannya, termasuk foto dari dalam mobil polisi.

Kemudian melalui Twitter dia menyatakan akan membayar jaminan untuk yang ketujuh kalinya.

Tuduhan baru

Pemerintah menuduh Ressa, yang memiliki dua kewarganegaraan yakni Filipina dan AS, melanggar aturan kepemilikan asing atas media dan melakukan penipuan investasi.

Menurut UU di Filipina, organisasi media dalam negeri harus sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Filipina.

Rappler membantah tuduhan pemerintah yang menyatakan bahwa mereka dikendalikan organisasi asing.

Sejumlah organisasi kebebasan pers menilai tuduhan itu dibuat-buat dan dirancang untuk mengintimidasi wartawan.

Humans Rights Watch menanggapi penangkapan Ressa, mengatakan bahwa kasus seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya dan memperlihatkan niat Duterte untuk menutup Rappler karena pemberitaannya yang kredibel dan konsisten mengkritik pemerintah.

Pada Februari, Ressa dituduh melakukan pencemaran nama baik di dunia maya, berkaitan dengan sebuah laporan yang diterbitkan pada 2012 tentang relasi korup seorang pengusaha Filipina dengan seorang hakim pengadilan tingkat tinggi.

Hanya dua bulan sebelum itu, dia membayar jaminan atas tuduhan penipuan pajak terhadapnya. Menurut Ressa, tuduhan itu memiliki motivasi politik.

Jika terbukti bersalah atas tuduhan penipuan pajak, dia bisa menjalani hukuman hingga 10 tahun penjara. Sedangkan tuduhan pencemaran nama baik di dunia maya dapat membawa hukuman maksimum 12 tahun penjara.

Penangkapan berulang-ulang terhadap Ressa telah menuai kecaman internasional dan menimbulkan kekhawatiran tentang memburuknya kebebasan pers di negara itu.

Rappler kerap memberitakan tentang perang brutal Presiden Duterte terhadap narkoba, di mana menurut polisi sekitar 5.000 orang telah terbunuh dalam tiga tahun terakhir.

Kemudian pada Desember 2018, media daring itu memberitakan ucapan Duterte yang mengakui bahwa dia pernah melakukan pelecehan seksual terhadap pembantunya.

Menurut Rappler, sejak Januari 2018, ini adalah kasus ketujuh yang berujung di pengadilan yang menimpa Ressa dari keseluruhan 11 kasus yang diajukan terhadap media itu.

Presiden Duterte membantah klaim yang mengatakan bahwa tuduhan terhadap Ressa bermotivasi politik. Dia menyebut Rappler sebagai media yang menyebarkan berita palsu.

Sejak 1986, sebanyak 176 wartawan telah terbunuh di Filipina, menjadikannya sebagai salah satu negara paling berbahaya bagi wartawan. Pada 2016, Duterte menuai kecaman karena mengatakan beberapa wartawan memang pantas mati.

Rappler didirikan pada 2012 oleh Ressa dan tiga jurnalis lainnya dan kemudian dikenal di Filipina atas pemberitaan investigasinya. Rappler merupakan salah satu dari beberapa organisasi media di negara itu yang secara terbuka mengkritik Presiden Duterte.

Secara konsisten, Rappler, menginterogasi akurasi dari pernyataan publik Duterte dan mengkritik kebijakannya.

Presiden telah melarang wartawan Rappler untuk meliput kegiatan resminya dan dua tahun lalu Filipina mencabut lisensi operasi Rappler.

img
Valerie Dante
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan