Alken Tuniaz, pejabat senior di Xinjiang, China, mengklaim bahwa sebagian besar warga Uighur yang dikirim ke pusat pelatihan massal di provinsi itu telah dipulangkan. Hal itu disampaikan dalam konferensi pers di Beijing pada Selasa (30/7).
Namun, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS menyatakan bahwa tidak ada bukti untuk mendukung klaim Tuniaz.
"Kami tidak dapat memverifikasi klaim tidak jelas yang dibuat oleh pejabat China tentang pembebasan warga Uighur yang ditahan secara sewenang-wenang," tutur juru bicara Kemlu AS.
Menurutnya, Beijing harus memberikan Komisi Hak Asasi Manusia PBB (UNCHR) akses untuk datang dan memeriksa langsung demi membenarkan klaim tersebut.
"Pemerintah China harus memberikan UNCHR akses ke semua kamp dan seluruh tahanan," tegasnya.
Direktur Asia Amnesty International Nicholas Bequelin mengatakan bahwa pernyataan Tuniaz menipu dan tidak dapat diverifikasi kebenarannya.
"Kami belum menerima laporan terkait banyaknya warga Uighur yang dibebaskan," kata dia. "Faktanya, keluarga dan kerabat dari orang-orang yang ditahan menyatakan bahwa mereka masih belum dapat menghubungi orang-orang itu."
Tuniaz menolak memberikan perkiraan banyak orang telah ditahan dalam beberapa tahun terakhir. Para pakar dan aktivis PBB menyatakan setidaknya satu juta warga Uighur dan anggota kelompok minoritas muslim lainnya di Xinjiang, telah ditahan di sejumlah kamp di provinsi itu.
Beijing menggambarkan kamp-kamp tersebut sebagai pusat pelatihan vokasi untuk membantu membasmi ekstremisme agama dan mengasah keterampilan kerja.
Dalam konferensi pers pada Selasa, ketika diminta untuk menjelaskan berapa banyak orang yang dimasukkan ke dalam kamp-kamp tersebut, Tuniaz mengelak dan menjawab jumlahnya terus berubah. Dia menegaskan, sebagian besar dari mereka sudah berhasil mendapatkan pekerjaan.
"Saat ini, sebagian besar orang yang menerima pelatihan vokasi telah kembali ke masyarakat dan ke rumah masing-masing," ujarnya. "Sejumlah negara dan media memiliki motif tersembunyi, mereka tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mereka memfitnah China atas pusat pelatihan vokasi tersebut."
Hingga kini, China belum mengeluarkan angka terkait berapa banyak warga Xinjiang yang telah dikirim ke kamp-kamp itu. Pemerintah setempat juga membatasi akses bagi penyelidik independen.
Para peneliti telah membuat perkiraan melalui berbagai metode seperti menganalisis dokumen pemerintah dan citra satelit yang menangkap gambar kamp-kamp tersebut.
Selain itu, sejumlah wartawan asing telah memberitakan kisah-kisah dari beberapa mantan tahanan. Para wartawan juga memotret fasilitas pelatihan yang terlihat seperti penjara, dikelilingi oleh kawat berduri dan dilengkapi dengan menara pengawas.
Meski Barat telah melancarkan kritik keras terhadap kamp-kamp tersebut, China terus menegaskan bahwa itu merupakan program deradikalisasi yang sukses di Xinjiang. Sebelumnya, wilayah itu kerap dilanda kekerasan antaretnis.
Pemerintah China membantah setiap tuduhan yang menyatakan bahwa mereka melakukan persekusi, melecehkan agama dan hak asasi manusia.
Beijing juga menyatakan, seiring berjalannya waktu, akan semakin sedikit orang yang dikirim ke kamp-kamp tersebut.
Pada Juli, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyebut perlakuan China terhadap warga Uighur dan minoritas muslim lainnya di Xinjiang sebagai "aib abad ini".
Pemerintahan Trump juga mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah pejabat China atas kebijakan mereka di Xinjiang.