close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pengunjuk rasa antipemerintah berdemonstrasi untuk pencabutan hukum darurat di Hong Kong, Sabtu (12/10). /Antara Foto/Reuters/Umit Bektas.
icon caption
Pengunjuk rasa antipemerintah berdemonstrasi untuk pencabutan hukum darurat di Hong Kong, Sabtu (12/10). /Antara Foto/Reuters/Umit Bektas.
Dunia
Minggu, 13 Oktober 2019 13:00

Demonstran Hong Kong protes larangan penggunaan masker

Pada Sabtu (12/10), sejumlah demonstran menutupi wajah mereka menggunakan topeng bergambar muka Presiden China Xi Jinping.
swipe

Protes kembali pecah di Hong Kong. Pada Sabtu (12/10), molotov dilemparkan ke dalam stasiun kereta bawah tanah (MRT), pihak berwenang menyatakan tidak ada yang terluka.

Dalam sebuah pernyataan, pihak berwenang menyebut, stasiun MTR Kowloon Tong rusak parah dalam serangan itu. Polisi antihuru-hara dikerahkan di jalan-jalan sekitar Kowloon dan di dalam beberapa stasiun MTR lainnya.

Ratusan pengunjuk rasa, banyak yang mengenakan masker, berpawai di Kowloon.

"Tidak ada yang salah dengan menutupi wajah kita, tidak ada alasan untuk memberlakukan UU darurat yang melarang penggunaan masker," kata seorang pemrotes.

Pekan lalu, pemerintah Hong Kong menerapkan UU darurat era kolonial untuk melarang pemakaian masker dalam demonstrasi publik. Langkah itu memicu beberapa bentrokan terburuk sejak demonstrasi antipemerintah pecah pada Juni 2019.

Pada Sabtu (12/10), sejumlah demonstran menutupi wajah mereka menggunakan topeng bergambar muka Presiden China Xi Jinping, beberapa lainnya mengenakan topeng Guy Fawkes yang populer dalam film V for Vendetta.

Larangan penggunaan masker membawa ancaman hukuman satu tahun penjara. Namun, ribuan pengunjuk rasa telah menentang perintah tersebut sejak disahkan oleh pemerintah.

Sejumlah demonstran lainnya membakar kantor pemerintah di Kowloon dan merusak toko-toko di sekitarnya.

Tidak ada bentrokan yang terjadi antara pengunjuk rasa dan polisi. Jelang malam, pemrotes telah pecah menjadi kelompok-kelompok kecil dan mulai membubarkan diri.

Serangkaian protes di Hong Kong dimulai sebagai oposisi terhadap RUU ekstradisi yang kini sudah ditarik secara resmi oleh pemerintah. Demonstrasi kemudian menjamur menjadi gerakan prodemokrasi yang menjadi saluran kemarahan warga atas ketimpangan sosial di kota tersebut.

Unjuk rasa telah menjerumuskan Hong Kong ke dalam krisis politik terburuknya sejak Inggris mengembalikan kota itu ke China pada 1997.

Aksi protes didorong oleh kekhawatiran bahwa China berupaya mengikis kebebasan Hong Kong, yang dijamin di bawah formula "Satu Negara, Dua Sistem". China membantah tuduhan itu dan mengatakan negara-negara asing, termasuk Inggris dan Amerika Serikat, merupakan pihak yang mengobarkan api kerusuhan.

Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam membatalkan pertemuan dengan senator AS, Ted Cruz.

"Saya berdiri dengan orang-orang Hong Kong menyerukan pemerintah China untuk menghormati komitmen yang dibuatnya kepada dunia ketika berjanji untuk mempertahankan kebebasan politik di Hong Kong," kata Cruz.

Polisi telah menangkap lebih dari 2.300 orang sejak protes pecah pada Juni 2019. Sejak September 2019, hampir 40% orang yang ditahan berusia di bawah 18 tahun dan 10% di bawah 15 tahun. (Reuters).

img
Valerie Dante
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan