Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi muncul di Mahkamah Internasional (ICJ) pada Selasa (10/12) untuk membela negaranya atas tuduhan genosida terhadap minoritas muslim Rohingya. Sementara itu, di dalam negeri ribuan orang yang berpawai mendukungnya meneriakkan, "Untuk melindungi martabat negara, berdirilah bersama Mother Suu".
Gambia meluncurkan proses melawan Myanmar pada November, menuduh negara yang mayoritas Buddha itu melanggar Konvensi Genosida 1948.
"Yang diminta Gambia hanyalah Anda memberi tahu Myanmar untuk menghentikan pembunuhan tidak masuk akal ini," kata Menteri Kehakiman Gambia Abubacarr Tambadou dalam pidato pembukanya di ICJ. "Untuk menghentikan tindakan biadab dan brutal yang mengejutkan dan terus mengejutkan nurani kolektif kita. Untuk berhenti melakukan genosida terhadap rakyatnya sendiri."
Gambia, negara muslim di Afrika Barat, berargumen bahwa pasukan Myanmar melakukan kekejaman yang luas dan sistematis selama masa yang disebutnya operasi pembersihan yang dimulai pada Agustus 2017.
Selama persidangan yang dimulai hari ini dan berakhir pada 12 Desember, Suu Kyi yang meraih Nobel Perdamaian, diperkirakan akan mengulang penolakan yang sama. Dia akan kembali menegaskan bahwa operasi militer yang berlangsung di Rakhine adalah respons atas kontraterorisme yang sah terhadap serangan kelompok Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA).
Suu Kyi yang tiba di Peace Palace di The Hague dengan pengawalan, mengabaikan pertanyaan-pertanyaan yang diteriakkan wartawan yang menunggunya. Dia dilaporkan duduk di ruang sidang dengan raut wajah datar, sementara mendengar pihak Gambia merinci dugaan kekejaman terhadap warga Rohingya.
Di luar pengadilan, puluhan warga Rohingya berdemonstrasi menuntut keadilan bagi para korban.
Proses yang terjadi di hadapan panel yang berisi 17 hakim ini tidak akan berurusan dengan tuduhan itu, yaitu genosida. Namun, Gambia telah mengajukan permintaan perintah pengadilan atas Myanmar untuk menghentikan kegiatan apa pun yang dapat memperburuk perselisihan.
ICJ tidak memiliki kekuatan penegakan hukum, tetapi keputusannya bersifat final dan memiliki bobot hukum yang signifikan.
Lebih dari 730.000 warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar setelah diduga mengalami penindasan oleh militer. Kebanyakan mereka berdiam di kamp-kamp kumuh di Bangladesh.
Hasina Begum (22) mengatakan bahwa dirinya termasuk di antara banyak wanita yang diperkosa oleh tentara Myanmar yang juga membakar desanya.
"Mereka telah melakukan hal-hal itu kepada saya, kerabat saya dan teman-teman saya. Saya berani mengatakan ini (kepada para hakim), dengan menatap mata mereka. Karena saya tidak berbohong," kata dia sebelum audiensi dimulai.
Di kamp-kamp pengungsi Bangladesh pada Selasa, ratusan orang berkumpul di satu titik dan berteriak, "Gambia! Gambia!", dengan satu tangan terkepal. Beberapa lainnya melaksanakan ibadah khusus dan tidak sedikit yang berpuasa, berharap mendapat keadilan.
"Kerabat kami dibunuh, anak-anak kami dilempar ke api, perempuan-perempuan dari kalangan kami diperkosa, dan rumah-rumah kami dibakar. Yang kami inginkan adalah persidangan yang adil," kata Nurul Amin (30).
Penyelidik PBB sendiri sudah mengonfirmasi bahwa operasi militer oleh pasukan Myanmar dilakukan dengan niat genosida. Di lain sisi, Myanmar berulang kali membantah berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya.