close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi prajurit Israel. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi prajurit Israel. Alinea.id/Firgie Saputra
Dunia
Selasa, 19 April 2022 17:14

Detik-detik menjelang Perang Yom Kippur 1973

Hampir setiap Ramadan, konflik berdarah pecah di Yerusalem antara Israel dan Palestina.
swipe

Selepas tengah malam, jalanan London, Inggris, lengang. Di salah satu ruas jalan, Zvi Zamir melangkah dengan tergesa-gesa. Beberapa jam sebelumnya, bos badan intelijen Israel (Mossad) itu baru saja bertemu dengan salah satu informan terbaik mereka di dunia Arab. 

Tiba di rumah seorang kepala cabang Mossad di London, Zamir segera menulis sebuah memo. Ia lantas meminta operator sambungan telepon internasional menghubungkannya dengan Freddy Eini, kepala biro Mossad di Israel. 

Setelah lama menunggu, sambungan telepon terhubung. Di seberang sambungan, Zamir mendengar suara yang ia kenal. Eini terdengar masih mengantuk. "Letakkan kakimu di sebuah baskom berisi air dingin," saran Zamir kepada Eini. 

Khawatir sedang disadap, Zamir berbicara menggunakan kode. Ia bercerita layaknya baru bertemu dengan sejumlah pebisnis asing yang berencana berinvestasi di Israel. 

"Para eksekutif berniat datang ke Israel meskipun mereka tahu hari ini Yom Kippur. Mereka pikir mereka bisa mendarat sebelum malam. Mereka tidak punya partner dari luar kawasan," tutur Zamir. 

Eini segera mengerti maksud Zamir. Sebelumnya, Mossad telah mendapatkan dokumen rencana invasi Mesir ke Israel dari Ashraf Marwan, menantu eks Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser. 

Pesan Zamir diterjemahkan secara ringkas oleh Eini: Mesir dan Suriah akan menyerang Israel hari ini. Serangan diperkirakan terjadi saat senja. Uni Soviet tidak akan terlibat langsung dalam perang. 

Hari itu 6 Oktober 1973. Jam menunjukkan pukul 03.40. Eini segera menghubungi para petinggi Israel. Yang pertama ia kontak adalah Yisrael Leor, ajudan militer Perdana Menteri Israel Golda Meir. Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan berikutnya. Sekitar sejam berselang, laporan Mossad sampai ke Kepala Staf Israel Defence Forces (IDF) David Elazar. 

Israel panik. Rapat-rapat militer digelar sebelum matahari terbit. Pukul 05.50, Elazar bertemu Dayan. Dalam pertemuan itu, ia mengutarakan rencana menggelar serangan preemtif ke Suriah. Dayan menolak rencana tersebut. Dayan masih tak yakin perang bakal benar-benar pecah. 

"Kita ada dalam situasi politik yang membuat kita tak mungkin melakukan apa yang kita lakukan pada 1967," kata Dayan mengacu pada serangan preemtif Israel ke Mesir yang memicu Perang Enam Hari antara Israel dengan negara-negara Arab. 

Keduanya kemudian membahas mengenai rencana mobilisasi dan evakuasi warga di perbatasan. Setelah semua strategi disepakati, Dayan dan Elazar menghadap Golda Meir. Sang perdana menteri setuju Israel mengambil posisi bertahan dalam perang kali itu.

"Jika kita (pasukan Israel) menyerang pertama, kita mungkin tidak akan mendapat bantuan dari siapa pun," kata Meir. 

Didampingi Dayan, Meir memasuki ruang kabinet pukul 12:30 waktu setempat. Muka Meir  pucat pasi. Matanya kuyu. Rambutnya terlihat berantakan. Ia berbicara dengan suara monoton. 

"Dini hari tadi, sebuah informasi diterima dari seorang sumber yang terpercaya menyebutkan bahwa perang akan pecah pada pukul 18.00 hari ini di front Mesir dan Suriah," ucap Meir di hadapan awak kabinet. 

Para pejabat Israel kaget. Mereka tidak pernah tahu perkembangan militer Arab di perbatasan. Selama berbulan-bulan, tidak pernah ada pembicaraan mengenai kemungkinan perang. Kini, mereka dikabarkan letusan senjata pertama hanya berselang sekitar enam jam dari rapat tersebut. 

Perdana Menteri Israel Golda Meier berbicara di depan jurnalis saat Perang Yom Kippur berlangsung pada 1973. /Foto dok. IDF

Palestina di tengah konflik 

Sebagaimana laporan Mossad, perang akhirnya benar-benar pecah petang itu. Di Semenanjung Sinai, Mesir menerjunkan sekitar 800 ribu prajurit, 1.700 tank, dan 400 pesawat tempur. Di Dataran Tinggi Golan, Suriah menerjunkan sekitar 150 ribu prajurit, 1.200 tank.

Selain pasukan kedua negara tersebut, milisi Palestina juga terlibat dalam Perang Yom Kippur. Sejumlah catatan sejarah menunjukkan para petinggi Palestina Liberation Organization (PLO) pimpinan Yaser Arafat telah mengetahui rencana invasi ke Israel beberapa bulan sebelumnya. 

"Pada 12 September (1973), (Presiden Mesir Anwar) Sadat meyakinkan Arafat bahwa Mesir akan mengabari PLO mengenai tanggal pasti serangan negara-negara Arab," tulis Abdallah Frangi dalam The PLO and Palestine yang terbit pada 1983. 

Pada pengujung September, Sadat mengirimkan sebuah pesan ke petinggi PLO via Kedubes Mesir di Beirut, Lebanon. Ia meminta perwakilan PLO hadir di Kairo untuk membahas rencana serangan ke Israel. Pada 4 Oktober 1973, dua orang kepercayaan Arafat, Abu Lutf dan Abu Iyad bertemu Sadat. 

"Arafat mendapat kabar mengenai rencana serangan tak lama sebelum perang pecah. Semua unit PLO segera disiagakan. Unit-unit itu terdiri dari gerilyawan yang tak punya pengalaman tempur sebelumnya. Tugas mereka ialah membuka medan tempur baru di daerah-daerah okupasi," jelas Frangi. 

Selama perang berlangsung, para pejuang PLO berada di bawah kendali Mesir. Ketika itu, Sadat menugaskan kepala badan intelijen Mesir Abd al-Salam Tawfiq untuk mengurus partisipasi unit-unit PLO dalam Perang Yom Kippur. 

Menurut Frangi, setidaknya ada 200 serangan yang digelar pejuang PLO selama perang berlangsung. Sebanyak 43 di antaranya dilancarkan milisi Palestina ke wilayah permukiman (kibbutzim) Israel. "Selain bergerilya, pejuang Palestina juga bertempur bersama pasukan Mesir, Suriah, dan Irak," tulis dia. 

Pemimpin Palestine Liberation Organization (PLO) Yasser Arafat (tengah) bersama pemimpin Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina, Nayaf Hawatmeh dan penulis Kamal Nasser dalam sebuah konferensi pers di Amman pada 1970. /Foto Wikimedia Commons

Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis kawakan Prancis Eric Rouleau pada 1978, Abu Iyad merinci sejumlah serangan yang sukses dilancarkan PLO. Ia menyebut unit-unit pejuang Palestina telah diterjunkan di belakang garis pertahanan Israel sejak hari pertama perang pecah.

"Mereka bertempur dan sukses menguasai perbukitan di Kuneitra dan Dataran Tinggi Golan. Dari selatan Lebanon, komando pejuang Palestina menyeberang ke Israel untuk menyerang garis belakang pertahanan Israel. Yang lainnya memeriami permukiman Israel di perbatasan Lebanon," jelas Iyad. 

Tak hanya itu, menurut Iyad, PLO juga menggerakkan sekitar 70 ribu pekerja Palestina di Israel untuk mogok. Tujuannya untuk membuat ekonomi Israel lumpuh selama perang. "Secara keseluruhan, kami meluncurkan 100 serangan pada minggu pertama perang. Itu dikatakan oleh Golda Meir sendiri," ujar Iyad. 

Setidaknya ada 26 ribu pejuang Palestina yang terjun di tiga medan pertempuran. Sebanyak 500 di antaranya aktif bertempur di dalam wilayah Israel. Pejuang Palestina juga disiagakan di perbatasan Yordania untuk mengantisipasi serangan IDF. 

Iyad menyebut, bersama pasukan Kuwait, banyak pejuang Palestina juga ikut terlibat dalam pertempuran di Deversoir, tak jauh dari Danau Timsah pada 14 Oktober 1973. Di area itu, pasukan yang dipimpin Jenderal IDF Ariel Sharon merangsek hingga ke Terusan Suez dan berhasil mengepung pasukan Mesir. "Mereka bertempur dengan gagah berani. Banyak yang mati," kata Iyad. 

Tank pasukan Israel menyeberangi Terusan Suez saat Perang Yom Kippur 1973. /Foto Wikimedia Commons

Akhir antiklimaks

Dalam Perang Yom Kippur--disebut juga Perang Ramadan oleh bangsa Palestina--Israel hanya menerjunkan sekitar 440 ribu prajurit, 1.700 tank, dan 440 pesawat tempur. Meskipun kalah jumlah, Israel sukses mementahkan invasi Mesir dan Suriah. 

Di Dataran Tinggi Golan, prajurit IDF mengusir pasukan Suriah pada 8 Oktober 1973. Wilayah itu sempat dikuasai prajurit Suriah selama tiga hari. Pada 14 Oktober, pasukan Israel bahkan merangsek hingga mendekati Damaskus, ibu kota Suriah.

Setelah sempat terpojok, IDF juga sukses memukul balik pasukan Mesir di Sinai. Di medan tempur itu, pasukan yang dipimpin Ariel Sharon bahkan mampu membangun pertahanan di Terusan Suez pada pertengahan Oktober 1973. 

Pada 22 Oktober 1973, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) meloloskan Resolusi 338 menyerukan gencatan senjata kepada Israel, Mesir, dan Suriah. Khawatir invasi pasukan Israel ke Kairo, Sadat menerima resolusi itu dan mengakhiri perang. 

Secara militer, Israel menang telak. Namun, Mesir dan Suriah menang secara politik. Dalam perjanjian damai setelah perang, Suriah dianugerahi sebagian wilayah di Dataran Tinggi Golan. Mesir kembali menguasai Semenanjung Sinai yang lepas ke tangan Israel pada 1967.

Lantas bagaimana dengan Palestina? Meskipun para pejuangnya ikut bertempur dalam Perang Yom Kippur, Palestina tidak mendapat apa-apa. Perwakilan Palestina bahkan tidak diajak ikut berembuk dalam perjanjian damai antara Israel, Suriah, dan Mesir yang dimotori Amerika Serikat beberapa tahun berikutnya. 

Kepada Rouleau, Iyad mengakui peran Palestina dikerdilkan dalam Perang Yom Kippur. "Komunike militer yang disebarluaskan dari Kairo dan Damaskus mengelu-elukan kemenangan Mesir dan Suriah dan hampir tidak pernah menyebut peran pejuang Palestina dan bahkan kehadirannya. Padahal, kami aktif di semua front," kata dia. 

Infografik Alinea.id/Firgie Saputra

Meski begitu, Perang Yom Kippur punya makna penting bagi PLO dan Yasser Arafat. Oleh negara-negara Arab, PLO diakui sebagai perwakilan resmi bangsa Palestina di kancah internasional. 

Setahun setelah Perang Yom Kippur, Arafat bahkan diundang ke Majelis Umum PBB untuk membicarakan nasib Palestina. Di hadapan perwakilan negara-negara anggota PBB, Arafat menyatakan Palestina ingin solusi damai untuk konflik dengan Israel. 

Kepada mereka, Arafat bertutur ia hadir di markas PBB dengan membawa senjata pejuang kemerdekaan dan tangkai pohon zaitun. Senjata berarti perang, tangkai pohon zaitun berarti damai. "Jangan biarkan tangkai zaitun ini jatuh dari tangan saya," kata Arafat. 

Asa Arafat tak pernah kesampaian. Mayoritas bangsa Palestina masih mengenang Perang Yom Kippur dengan perasaan pahit. Setiap bulan Ramadan tiba, konflik berdarah pun terus berulang di Yerusalem. 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan