Di balik paranoia RI menolak resolusi PBB soal genosida
Sikap janggal ditunjukkan perwakilan Indonesia dalam sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat, pekan lalu. Di sidang itu, Indonesia menolak sebuah resolusi tentang komitmen responsibility to protect (R2P) dan pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnik, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Resolusi itu umumnya menyerukan agar R2P jadi salah satu agenda tahunan di sidang PBB dan meminta Sekretaris Jenderal PBB merilis laporan berkala mengenai komitmen negara-negara menjalankan R2P dalam sidang tahunan. Sebanyak 115 negara setuju resolusi itu dan 28 negara memilih abstain.
Selain Indonesia, 14 negara menyatakan menolak resolusi itu, termasuk di antaranya negara-negara nondemokrasi seperti Korea Utara dan China. Resolusi itu juga ditolak Suriah, negara di kawasan Timur-Tengah yang saat ini tengah dibekap perang sipil.
Dalam sebuah pernyataan pers virtual, Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Febrian Alphyanto Buddyard mengklarifikasi penolakan Indonesia. Ia menegaskan yang ditolak Indonesia dalam sidang itu hanyalah soal prosedural.
Indonesia, kata dia, memandang komitmen R2P tidak perlu dibahas secara khusus di sidang umum PBB lantaran sudah ada beragam forum untuk membahasnya di PBB. "Kalau substansinya, sudah jelas posisi Indonesia sejak 2005," kata dia.
R2P disepakati secara global pada 2005. Konsep R2P lahir sebagai respons kegagalan komunitas internasional dalam menyikapi kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Rwanda dan negara-negara pecahan Yugoslavia pada dekade 1990-an.
Ada tiga pilar tanggung jawab yang disepakati negara-negara. Pertama, setiap negara wajib melindungi warga negaranya dari empat kejahatan keji: genosida, kejahatan perang, kejatahan terhadap kemanusian, dan pembersihan etnis.
Kedua, komunitas internasional punya tanggung jawab untuk mendorong dan memastikan kewajiban tersebut dipenuhi semua negara. Terakhir, komunitas internasional harus siap menjalankan aksi-aksi kolektif jika sebuah negara gagal melindungi warga negaranya.
Diinisiasi Kroasia, setidaknya 76 negara sepakat mendorong agar komitmen R2P diperkuat lewat pembahasan di sidang umum. Penguatan dirasa perlu lantaran intensitas konflik di sejumlah negara seperti di Myanmar, Palestina, dan Suriah potensial melahirkan kejahatan kemanusiaan.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan sikap yang ditunjukkan Indonesia di sidang umum PBB mengecewakan. Apalagi, Indonesia saat ini merupakan anggota tidak tetap di Dewan HAM PBB.
"Sikap itu memperlihatkan rendahnya komitmen Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia di dunia," kata Usman saat dihubungi Alinea.id, Jumat (21/5)
Penolakan itu, lanjut Usman, juga mencerminkan pemerintah tak serius menangani persoalan-persoalan HAM di ranah domestik. "Indonesia terlihat setengah hati dalam memperbaiki keadaan hak asasi manusia di negeri sendiri, seperti pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan kasus penanganan HAM berat lainnya," kata Usman.
Suara kecewa juga datang dari Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, Emanuel Gobay. Ia menilai penolakan itu mengindikasikan lemahnya komitmen politik pemerintah dalam menyeret penjahat-penjahat perang di masa lalu ke pengadilan HAM.
"Negara ini tidak memiliki niat atau political will untuk kemudian menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM yang terjadi, baik di Papua maupun di luar Papua, seperti pembantaian terhadap para pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia). Kemudian, di Aceh waktu jadi DOM (daerah operasi militer)," kata Gobay kepada Alinea.id, Minggu (23/5).
Gobay mengatakan wajar bila ada pihak mengaitkan penolakan resolusi R2P menjadi agenda tahunan PBB dengan konflik yang tengah berkecamuk di Papua. Menurut dia, persoalan-persoalan terkait Papua sudah sering mengemuka di sidang umum PBB.
"Pemerintah selalu menjawab dengan alasan yang tidak objektif. Padahal, pihak lain dari negara lain melihat langsung dan tidak menyangkal fakta objektif yang terjadi. Jadi, sering terjadi pembohongan publik yang dilakukan oleh Indonesia," kata dia.
Lebih jauh, Gobay menduga pemerintah sengaja menolak resolusi tersebut lantaran khawatir persoalan Papua dibahas secara serius di sidang umum PBB.
Terlebih, saat ini pemerintah telah melabeli kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris dan tengah gencar memburu mereka. Langkah pemerintah itu dinilai potensial melahirkan pelanggaran HAM berat.
"Saya pikir jangan marah nanti ketika Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) mengambil alih persoalan ini karena negara dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan HAM di sana," kata Gobay.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Siti Ruhaini mengungkapkan bukan soal prosedur saja yang dipersoalkan Indonesia saat menolak resolusi PBB soal R2P.
Menurut dia, penolakan juga muncul lantaran belum ada kesepakatan di forum PBB mengenai parameter baku saat menentukan ketidakmauan atau ketidakmampuan suatu negara dalam menangani persoalan-persoalan kejahatan HAM sehingga perlu diintervensi.
"Prosedurnya gimana dan parameternya seperti apa? Siapa yang bakal menilai? Itu yang perlu dibicarakan lebih detail lagi, tapi enggak bisa. Selama parameter dan kondisi seperti apa kategori tidak mampu dan tidak mau itu tidak diperjelas, Indonesia tidak mau mengambil risiko," kata Ruhaini kepada Alinea.id, Jumat (21/5).
Tanpa parameter yang jelas, Ruhaini menegaskan, Indonesia bakal tetap menolak resolusi yang memasukkan pembahasan R2P menjadi salah satu agenda sidang tahunan PBB. Ia khawatir bakal komitmen R2P disalahgunakan untuk melanggar kedaulatan negara.
"Bila tidak diperjelas terlebih dahulu bisa menimbulkan tindakan intervensi unilateral. Negara-negara yang punya hak veto bisa mengambil tindakan sendiri bila kondisi dan parameternya tidak ditetapkan, seperti terjadi di Libya dan di Irak," jelas Ruhaini
Ruhaini menepis dugaan penolakan delegasi Indonesia muncul lantaran pemerintah takut persoalan Papua mengemuka di forum R2P PBB dan jadi perhatian serius masyarakat internasional. Menurut dia, konflik di Papua tidak dianggap isu besar di PBB.
"Bahkan, di Dewan HAM saja tidak menjadi isu besar. Tidak pernah ada agenda khusus untuk membahas masalah Papua. Memang terkadang ada beberapa pihak yang klarifikasi soal beberapa kasus. Kalau sudah klarifikasi, tidak ada kelanjutan lagi karena Indonesia cukup terbuka," tutur dia.
Tak perlu alergi
Pakar hukum internasional dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Aryuni Yuliantiningsih mengatakan penolakan yang ditunjukkan Indonesia memang patut dipertanyakan. Apalagi, saat ini banyak negara di dunia yang tengah terlibat konflik sipil dan butuh bantuan dari komunitas internasional.
"Mengapa harus keberatan kalau dijadikan sebagai agenda tahunan? Lebih baik mendukung. Apalagi, sekarang banyak muncul kejahatan perang, semisal di Suriah dan sekarang terjadi juga di Palestina," kata Aryuni kepada Alinea.id, Sabtu (22/5).
Konflik antara Israel dan Palestina kembali memanas selama beberapa pekan terakhir. Diawali bentrokan antara polisi Israel dan warga Palestina di Masjid Al-Aqsa, milisi Palestina dan militer Israel terlibat aksi saling serang. Roket-roket diluncurkan. Korban jiwa pun berjatuhan.
Beberapa hari lalu, pemimpin Hamas, Ismael Hanaye bahkan mengirimkan surat meminta Presiden Joko Widodo turun tangan membantu meredakan konflik. Salah satu isi surat meminta agar pemerintah memobilisasi dukungan internasional untuk menekan Israel.
"Dari sisi pemerintah, mungkin tak masalah (menolak resolusi). Tapi, dari sisi masyarakat internasional, Indonesia sebagai negara yang sebagian besar Muslim, kemudian negara demokrasi. Mengapa harus alergi untuk menjadikan R2P sebagai agenda tahunan?" kata Aryuni.
Menurut Aryuni, Indonesia tak perlu khawatir akan adanya intervensi unilateral ke persoalan-persoalan domestik yang dihadapi negara. Pasalnya, sudah ada kaidah jus cogens yang selama ini telah dijadikan dasar hukum untuk menggelar intervensi internasional.
Jus cogens ialah norma tentang hak asasi yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apa pun. Yang termasuk pelanggaran terhadap jus cogens semisal kejahatan kemanusiaan dalam bentuk perbudakan, penyiksaan, dan genosida.
"Ketika ada negara yang memang tak mampu melindungi warga negaranya, maka menjadi tanggung jawab semua negara untuk dapat melakukan intervensi kemanusiaan. Tapi, memang kriteria intervensi harus diperjelas secara rinci terlebih dahulu supaya tidak asal intervensi," tutur Aryuni.
Meski begitu, Aryuni tak setuju jika sikap Indonesia menolak resolusi R2P dikaitkan dengan perang antara KKB dan pasukan gabungan di Papua. Menurut dia, kehadiran KKB melahirkan persoalan disintegrasi yang memang mesti disikapi tegas oleh negara.
"Yang melakukan pelanggaran juga tidak hanya dari pemerintah. Ketika ada separatis yang memang ingin memerdekakan diri, karena ada di bawah kedaulatan Indonesia, ya, negara berhak bertindak tegas dengan tetap menghormati HAM," kata Aryuni.