Di bawah serangan bom, warga Palestina di Gaza mencari tempat aman
Lebih dari 180.000 warga Palestina di Jalur Gaza berkumpul di tempat penampungan PBB ketika pesawat tempur Israel menggempur wilayah kecil berpenduduk 2,3 juta orang, setelah Hamas melancarkan serangan akhir pekan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap Israel.
Di antara mereka adalah Sabreen al-Attar, 27 tahun. Dia langsung beraksi ketika mendengar roket demi roket meluncur di atas lahan pertaniannya di Beit Lahiya, tepat di selatan perbatasan Israel pada Sabtu (7/10). Dia tahu dari pengalaman, bahwa pembalasan Israel akan cepat dan parah.
Sambil menggendong anak-anaknya, al-Attar bergegas ke salah satu dari puluhan tempat penampungan yang didirikan di sekolah-sekolah yang dikelola oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina di Kota Gaza. Di sana, ledakan dengan intensitas yang belum pernah terjadi sebelumnya menandai kondisi yang terus menurun pada Senin (9/10) karena makanan dan air habis.
“Saat saya melarikan diri, saya melakukannya demi anak-anak saya,” katanya, tangannya gemetar. “Hidup mereka ada di pundak saya.”
Namun warga mengatakan, tidak ada jalan keluar yang nyata di Gaza, yang telah berada di bawah blokade 16 tahun yang diberlakukan oleh Israel dan Mesir. Ketika perang pecah, seperti yang terjadi empat kali sejak kelompok Hamas merebut kekuasaan pada 2007, bahkan fasilitas PBB yang seharusnya menjadi zona aman pun berisiko dilanda pertempuran.
PBB mengatakan, serangan udara langsung menghantam salah satu tempat penampungan pada Minggu (8/10) dan merusak lima sekolah lainnya yang berubah menjadi tempat penampungan pada Senin. Belum ada laporan mengenai korban jiwa.
Di kawasan pusat kota Rimal, distrik komersial Kota Gaza yang ramai dengan gedung-gedung tinggi yang menjadi lokasi media internasional dan organisasi bantuan, al-Attar berharap, dia akan aman. Rimal hingga saat ini belum menjadi sasaran langsung Israel, tidak seperti kota-kota perbatasan atau kamp pengungsi yang padat penduduknya.
Namun ketika militer Israel melakukan serangan udara yang cepat dan intensif, pemboman besar-besaran mencapai jantung Kota Gaza, mengubah lingkungan makmur tersebut menjadi gurun kawah yang tidak dapat dihuni. Rimal juga terkena serangan udara Israel dalam perang berdarah di Gaza pada 2021, tetapi tidak sampai sejauh ini.
Bom-bom Israel yang menghantam Universitas Islam Gaza, kementerian pemerintah dan gedung-gedung tinggi di Rimal, mulai Senin sore, juga meledakkan jendela-jendela tempat perlindungan al-Attar, memecahkan kaca di mana-mana. Kehidupan di sana, yang dipadati oleh 1.600 orang lainnya, penuh dengan bahaya dan kekurangan, namun al-Attar mengatakan dia tidak punya pilihan selain tetap tinggal, dan mengatakan kepada anak-anaknya-Mohammed yang berusia 2 tahun dan Nabil yang berusia 7 tahun-untuk menjauh dari jendela.
“Malam itu sangat-sangat sulit,” katanya, Selasa. “Kami tidak punya tempat lain untuk pergi.”
Pengeboman di Rimal dan potensi risiko kendati berlindung di sekolah-sekolah PBB, menyoroti upaya putus asa yang dilakukan warga sipil Gaza untuk mencari perlindungan, karena ruang aman di wilayah tersebut dengan cepat menyusut. Tidak ada tempat perlindungan bom sipil di Gaza.
Menjelang peringatan militer Israel kepada warga sipil pada Senin bahwa Rimal akan diserang, keluarga-keluarga terhuyung-huyung ke jalan-jalan dengan barang-barang apa pun yang dapat mereka bawa dan tanpa tujuan.
Dalam sebuah pengarahan Selasa (10/10), juru bicara militer Israel Letkol Richard Hecht menyarankan agar warga Palestina mencoba meninggalkan Gaza melalui perbatasan Gaza dengan Mesir – sebuah saran yang tampaknya tidak praktis.
Meskipun para pejabat Hamas yang mengoperasikan penyeberangan Rafah di sisi Gaza mengatakan pada Selasa bahwa warga Gaza yang telah mendaftar terlebih dahulu dapat menyeberang ke Mesir, tetapi, jumlah mereka yang diizinkan untuk melakukan perjalanan biasanya berjumlah kecil. Hal ini menyebabkan penumpukan dan waktu tunggu berhari-hari atau berminggu-minggu, bahkan di saat tenang.
“Tidak pernah ada rencana B di sini,” kata Maha Hussaini, 31 tahun, ketika dia menyaksikan warga Rimal yang ketakutan membanjiri lingkungannya di Kota Gaza lebih jauh ke selatan ketika bom juga mulai berjatuhan di sana.
Menurut pejabat kesehatan Gaza, sejauh ini, jumlah korban di Gaza mencapai sekitar 700 orang tewas dan ribuan lainnya terluka, sebuah respons yang menghukum terhadap serangan kelompok Hamas yang telah menewaskan lebih dari 900 warga Israel. Sementara, lebih dari 150 warga sipil dan tentara Israel telah ditawan.
Israel mengatakan, pihaknya berusaha keras untuk menghindari jatuhnya korban sipil karena mereka menargetkan lokasi Hamas di Gaza, yang padat bangunan dan hanya memiliki sedikit ruang terbuka. Namun, Hamas juga menembakkan roket dan beroperasi di wilayah sipil, menggunakan warga sipil untuk berlindung sambil membalas tembakan.
Walaupun sebenarnya pihak militer Israel telah lama melancarkan serangan udara di lingkungan perumahan yang padat, sehingga tentu saja merugikan warga sipil dan infrastruktur sipil. Pihak berwenang Hamas pada Senin melaporkan, penghancuran tujuh masjid dan 15 rumah warga sipil yang menewaskan banyak anggota keluarga yang sama.
Menteri Pertahanan Israel juga telah memerintahkan “pengepungan total” terhadap Jalur Gaza yang sudah diblokade, dan berjanji untuk memblokir makanan, air dan bahan bakar dari wilayah tersebut.
“Tak satu pun dari kami yang tahu apa artinya ‘aman’ di Gaza,” kata Hind Khoudary, 28 tahun, yang sedang duduk di depan Hotel Roots kelas atas ketika ledakan yang memekakkan telinga terjadi.
Warga menggambarkan sebuah situasi berbahaya di sekitar pemboman besar-besaran Israel saat -melarikan diri dari rumah, pergi ke apartemen kerabat, melarikan diri lagi ke sekolah-sekolah PBB dan kemudian memulai dari awal lagi dalam upaya untuk menemukan rasa aman.
“Ini lebih baik daripada mati,” kata Muhammad al-Bishawi, 37 tahun, kelelahan saat ia bergegas berjalan antara tempat penampungan PBB di Kota Gaza dan rumahnya di Beit Lahiya untuk mendapatkan makanan dan perbekalan lainnya sebelum kembali.
Pada Sabtu setelah serangan besar-besaran Hamas, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperingatkan warga sipil Gaza akan kengerian yang akan terjadi, dan berjanji untuk mengerahkan kekuatan penuh militer Israel di jalur tersebut.
“Keluar sekarang,” katanya, berbicara kepada warga Palestina di Gaza. “Karena kami akan beroperasi di mana saja.”
Khoudary mendengarkannya ketika serangan udara semakin intensif, terjebak di rumahnya tanpa bisa lari ke mana pun.
“Kenapa dia tidak memberitahu kita ke mana harus melarikan diri?” dia bertanya. “Karena kami sangat ingin tahu.”