Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Selasa (11/2), mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menolak proposal perdamaian Timur Tengah yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 28 Januari. Abbas menegaskan, rancangan itu akan memecah tanah Palestina dan tidak akan pernah membawa perdamaian yang abadi.
Mengacungkan sebuah peta Palestina masa depan seperti yang dirancang Trump, Abbas mengecamnya sebagai kesepakatan "Swiss cheese" yang akan memberikan Palestina sebuah negara terfragmentasi tanpa kendali atas wilayah udara, perairan teritorial atau Yerusalem Timur.
"Siapa di antara Anda yang akan menerima keadaan seperti itu?," tanya Abbas, yang kemudian menyatakan bahwa Israel akan menciptakan situasi 'apartheid' jika tetap melanjutkan aneksasi.
"Saya ingin mengatakan kepada Donald Trump bahwa rencananya tidak dapat mencapai perdamaian dan keamanan karena membatalkan legitimasi internasional."
Presiden Abbas menambahkan, "Saya Anda memaksakan perdamaian, itu tidak akan bertahan lama, tidak akan bertahan lama. Rancangan itu bukan kemitraan internasional. Itu proposal dari satu negara, yang didukung oleh negara lain untuk diberlakukan."
Pertemuan darurat DK PBB itu diprakarsai oleh Indonesia dan Tunisia.
Palestina telah berupaya menggalang dukungan internasional terhadap proposal yang diumumkan Trump bersama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu itu. Namun, rencana Palestina untuk mendorong pemungutan suara yang akan mengecam proposal tersebut dibatalkan.
Para diplomat mengatakan bahwa AS telah memberi tekanan besar, termasuk ancaman dampak finansial, terhadap anggota DK PBB dan bahkan sejumlah negara Eropa dilaporkan ragu-ragu.
Seorang pejabat AS memuji perkembangan tersebut dengan mengatakan, "Dengan tidak mengedepankan resolusi yang memicu polarisasi, DK PBB menunjukkan bahwa cara lama dalam melakukan sesuatu sudah berakhir."
Eks PM Israel dukung Presiden Abbas
Presiden Abbas yang sejak lama dianggap moderat di antara orang-orang Palestina karena menolak penggunaan kekerasan menekankan bahwa protes di jalan-jalan menunjukkan penentangan mendalam terhadap pendudukan Israel.
"Seluruh rakyat kami mengatakan 'tidak, tidak, tidak' bagi proposal tersebut," kata dia.
Sementara itu, Duta Besar Israel untuk PBB Danny Danon justru menilai bahwa sikap Abbas menghalang solusi.
"Hanya ketika dia mundur, Israel dan Palestina dapat bergerak maju," ujar Danon. "Dia berusaha menyalahkan kurangnya kemajuan pada Israel. Mengeluh alih-alih memimpin bukanlah kepemimpinan."
Danon menyerukan Palestina untuk menemukan solusi yang realistis.
Abbas, bagaimanapun, memenangkan dukungan ketika dia bertemu dengan pendahulu Netanyahu, Ehud Olmert, di New York. Olmert menyatakan bahwa setiap negosiasi perlu melibatkan pemimpin Palestina.
"Dia (Abbas) adalah orang yang cinta damai, dia menentang teror, dan karena itu dia adalah satu-satunya mitra yang bisa kita ajak kerja sama," kata Olmert, yang menjabat sebagai PM pada 2006-2009.
"Setiap kali negosiasi dimulai, mitra Israel untuk negosiasi adalah Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina."
Danon mengecam Olmert atas pertemuannya dengan Presiden Abbas.
"Dia mendukung terorisme diplomatik terhadap Israel. Ini memalukan," ungkap Danon.
Sikap bersama Eropa
Palestina sebelumnya telah mendapat dukungan dari Liga Arab, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Uni Afrika yang semuanya menolak proposal Trump.
Pada Selasa, empat anggota DK PBB dari Uni Eropa, yaitu Prancis, Jerman, Belgia, Estonia, serta Polandia bersama-sama menyatakan bahwa setiap solusi konflik Timur Tengah perlu didasarkan pada garis-garis pra 1967. Uni Eropa sebelumnya gagal mengeluarkan pernyataan bersama karena penentangan dari sejumlah negara, termasuk Hongaria, yang dipimpin oleh populis sayap kanan Viktor Orban.
Proposal perdamaian yang disodorkan Trump memang akan memungkinkan berdirinya sebuah negara Palestina tetapi memperluas kedaulatan Israel hingga ke perbatasan Yordania, termasuk atas pemukiman-pemukiman Yahudi yang dibangun sejak 1967.
Selain itu, proposal Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel yang tidak terbagi, sementara Palestina diberikan wilayah di pinggiran timur Yerusalem untuk dijadikan ibu kota masa depan mereka.
Beberapa jam setelah Trump mengumumkan proposal tersebut, PM Netanyahu bergerak maju dengan rencana mencaplok Tepi Barat. (AFP)