Pemerintah, yang diwakili serombongan degelasi kementerian/lembaga, mengklaim, pemenuhan hak asasi manusia (HAM) di bidang ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) di Indonesia mengalami kemajuan. Demikian disampaikan dalam dialog bersama Komite Hak-Hak Ekosob PBB (CESCR) di Jenewa, Swiss, pada 20-21 Februari 2024 waktu setempat.
CESCR beranggotakan 18 pakar independen dan bertugas memantau implementasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekosob. Indonesia telah meratifikasi Kovenan tersebut melalui Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2005 dan telah menyampaikan laporan implementasi pada 2014 dan 2021.
Ada berbagai isu dibahas dalam forum itu, seperti hak-hak ketenagakerjaan, bisnis dan HAM, lingkungan hidup, pendidikan dan pelatihan HAM, perlindungan kelompok rentan, pemberantasan korupsi, serta perlindungan terhadap masyarakat tradisional/hukum adat.
"Terlepas dari tantangan yang dihadapi pada masa pandemi Covid, Indonesia terus berupaya untuk memastikan pemenuhan hak-hak asasi di bidang ekonomi, sosial dan budaya," ujar Duta Besar (Dubes) RI untuk Kuwait, Tri Tharyat, dalam paparannya.
Dalam forum tersebut, perwakilan pemerintah juga menyinggung tentang adanya terobosan legislasi, kebijakan, hingga strategi dan capaian pembangunan nasional terkait pemenuhan hak-hak ekosob. Sebagai anggota Dewan HAM PBB, lanjut Tri, Indonesia berkomitmen bekerja sama dengan berbagai pihak. Pun demikian dengan mekanisme HAM PBB dalam pemajuan dan perlindungan HAM.
Secara umum, klaim Tri, CESCR mengakui berbagai kemajuan pemenuhan hak-hak ekosob di Indonesia. Bahkan, disebut menghargai komitmen Indonesia dalam pelaporan dan dialog, yang ditunjukkan melalui kehadiran dan partisipasi berbagai instansi yang langsung menangani aspek hak ekosob dalam dialog.
Sementara itu, Komite akan menyusun kesimpulan penutup yang merupakan ikhtisar dari laporan dan dialog interaktif yang dilaksanakan, termasuk rekomendasi. Itu semua bakal menjadi bahan masukan dan pertimbangan Indonesia dalam mengimplementasikan ICESCR ke depan.
Jawaban defensif, normatif, dan programatik
Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Hak-Hak Ekosob menilai, jawaban pemerintah Indonesia cenderung defensif, normatif, dan programatik. Dicontohkannya kala merespons pertanyaan anggota Komite tentang UU Cipta Kerja, proyek strategis nasional (PSN), pembangunan ibu kota negara (IKN), masyarakat adat, pengungsi dalam negeri (internally displaced persons/IDPs) di Papua, hingga akses alat kontrasepsi.
"Jawaban-jawaban defensif, normatif, dan programatik ini karena pemerintah belum dapat menyelaraskan aktualisasi paradigma pertumbuhan ekonomi dan kewajiban negara dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak ekosob serta mengutamakan keselamatan publik," tutur perwakilan Jaringan Sipil dari Human Rights Working Group (HRWG), Daniel Awigra, pada Jumat (23/2).
Ia menerangkan, Seree Nontashoot selaku Komite sempat menyinggung nihilnya klausul cadangan lahan untuk pencegahan bencana dalam UU Cipta Kerja. Namun, direspons defensif oleh pemerintah dengan dalih regulasi tersebut hanya kerangka normatif dan komprehensif guna memperkuat perekonomian, menarik investasi asing, mendukung kepastian hukum, dan menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Selain itu, degelasi pemerintah menyebut UU Cipta Kerja mendorong gugus tugas, yang melibatkan akademisi, serikat pekerja, dan dunia usaha, membahas upah minimum, alih daya (outsourcing) dan perlindungan lingkungan. Pun mengklaim analisis dampak lingkungan (amdal) disertakan dalam prosedur perizinan usaha.
Demikian pula ketika ditanya tentang situasi pengungsi di Papua. Pemerintah sesumbar, berkomitmen mengatasi konflik sosial atau kebencanaan dengan mengambil langkah-langkah strategis untuk menyalurkan kebutuhan dasar mendesak untuk para korban, seperti mengirim beras, mie instan, selimut, susu untuk sekitar 70.500 pengungsi di Distrik Agandugume dan Lambawe, Kabupaten Puncak.
Negara juga menyebut, merespons teror kelompok teror di "Bumi Cenderawasih", khususnya di Nduga, Yahukimo, Bintang, Lani Jaya, Puncak Jaya, Paniai, dan Maybrat. Kemudian, mengirimkan bantuan kemanusiaan dan memfasilitasi kepulangan masyarakat, mengadakan layanan trauma healing, rehabilitasi sosial, rehabilitasi dan rekonstruksi rumah, serta bakal melibatkan gereja.
Bagi Jaringan Sipil, jawaban tersebut tidak sesuai fakta di lapangan. "Pemerintah justru represif di lapangan dengan proyek-proyek pembangunannya," tegasnya.
"Pemerintah Indonesia sama sekali belum membuka fakta adanya ribuan pengungsi korban konflik bersenjata di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Konflik ini harus ditangani secara serius karena para korban, terutama perempuan dan anak-anak, tidak bisa mendapatkan hak pendidikan secara layak," imbuhnya.
Jaringan Sipil, yang beranggotakan 34 organisasi nonpemerintah (NGO), juga membantah soal pelibatan gereja dalam penanganan IDPs. Bahkan, tidak ada akses bagi lembaga-lembaga kemanusiaan menangani para pengungsi dalam negeri di Papua. Karenanya, pemerintah didesak segera melakukan gencatan senjata melalui jeda kemanusiaan sehingga akses penanganan IDPs dapat berjalan dengan baik.