Dokter semakin sedikit, 60.000 warga Palestina sekarat: Apa ini bukan genosida?
Warga Palestina meninggal setiap hari di sisa rumah sakit di Gaza yang kewalahan menangani sekitar 60.000 orang yang terluka. Sementara ratusan lainnya luka parah setiap hari akibat serangan militer Israel, kata seorang pakar darurat kesehatan PBB pada Rabu (17/1).
Terpisah, seorang dokter dari International Rescue Committee menyebut situasi di rumah sakit di Gaza adalah yang paling ekstrem yang pernah dia lihat.
Kedua profesional kesehatan tersebut, yang baru-baru ini meninggalkan Gaza setelah beberapa pekan bekerja di rumah sakit di sana, menggambarkan teror kematian. Para dokter yang kewalahan berupaya menyelamatkan nyawa ribuan orang yang terluka di tengah runtuhnya rumah sakit yang telah berubah menjadi kamp pengungsi dadakan.
Situasi tersebut sudah cukup sah untuk disebut sebagai aksi genosida Israel terhadap Palestina. Tapi "mata hati" hukum tampaknya masih "buta" ibarat indera penglihatan seekor babi di malam hari.
Sean Casey dari Organisasi Kesehatan Dunia, yang meninggalkan Gaza baru-baru ini setelah lima pekan mengupayakan lebih banyak staf dan pasokan ke 16 rumah sakit yang sebagian berfungsi di wilayah tersebut. Ia mengatakan pada konferensi pers PBB bahwa ia menyaksikan: “Situasi yang sangat mengerikan di rumah sakit.” Dampak buruk terhadap kesehatan, sistemnya runtuh hari demi hari.
Rumah Sakit Al-Shifa, yang pernah menjadi rumah sakit terkemuka di Gaza dengan 700 tempat tidur, telah dikurangi hanya untuk merawat korban trauma darurat. RS ini dipenuhi ribuan orang yang telah meninggalkan rumah mereka dan sekarang tinggal di ruang operasi, koridor, dan tangga, katanya.
“Secara harfiah lima atau enam dokter atau perawat” memeriksa ratusan pasien setiap hari, kata Casey. Sebagian besar korban menderita luka yang mengancam jiwa, dan “begitu banyak pasien di lantai sehingga Anda hampir tidak bisa bergerak tanpa menginjak tangan atau kaki seseorang.”
Sejak Israel menyatakan perang terhadap Hamas menyusul serangan mendadak di selatan negara itu pada 7 Oktober, Israel telah berulang kali menuduh kelompok militan Islam tersebut menggunakan rumah sakit di Gaza sebagai kedok untuk kegiatan militer. Mereka menyebut RS Al-Shifa di Kota Gaza, mengatakan bahwa Hamas menyembunyikan pusat komando dan bunker di bawah halaman rumah sakit yang luas itu.
Pada akhir November, militer Israel mengungkap apa yang diklaimnya sebagai fasilitas militer Hamas di bawah rumah sakit tersebut. Ungkapan itu hanya klaim sepihak tanpa bukti mendalam.
Casey mengatakan dia bisa mencapai RS Al-Shifa tiga kali dengan pengiriman pasokan medis, bahan bakar, dan makanan. Tapi sekali lagi butuh waktu 12 hari karena penolakan Israel, terutama karena alasan keamanan atau operasional.
Di Rumah Sakit Al-Ahli, juga di Kota Gaza, situasinya juga mengerikan, katanya.
“Saya melihat pasien yang terbaring di bangku, menunggu kematian di rumah sakit yang tidak memiliki bahan bakar, tanpa listrik, tidak ada air, sangat sedikit persediaan medis dan hanya segelintir staf yang tersisa untuk merawat mereka," dia berkata dikutip Associated Press.
Pekan lalu, kata Casey, dia mengunjungi kompleks medis Nasser, rumah sakit utama di Khan Younis, yang kapasitas tempat tidurnya 200% dan stafnya hanya 30%, sehingga “pasien ada di mana-mana, di koridor, di lantai.”
“Saya pergi ke unit luka bakar di mana terdapat satu dokter yang merawat 100 pasien luka bakar,” katanya.
Bahkan di Rafah di selatan dekat perbatasan Mesir, tempat Israel mendesak warga Gaza untuk pindah. Casey mengatakan populasinya telah melonjak dari 270.000 pada beberapa pekan lalu menjadi hampir satu juta jiwa. Kota tersebut tidak memiliki fasilitas kesehatan untuk menangani penyakit yang dibawa gelombang besar pengungsi.
Gaza secara historis memiliki sistem kesehatan yang kuat dengan 36 rumah sakit, 25.000 petugas kesehatan, dan banyak spesialis, katanya. Namun 85% dari 2,3 juta penduduk di wilayah tersebut kini menjadi pengungsi, dan itu mencakup pekerja kesehatan, dokter, perawat, ahli bedah, dan staf administrasi.
Casey mengatakan banyak dari para profesional medis ini berada di tempat penampungan. Mereka hidup bernaung terpal plastik di emper jalan di Rafah, dan bukan di rumah sakit. Salah satu direktur rumah sakit mengatakan kepadanya bahwa dokter bedah plastik tidak bisa melakukan operasi karena dia sibuk mengumpulkan kayu untuk dibakar sebagai kayu bakar guna memasak makanan untuk keluarganya.
Apa yang pertama dan terpenting diperlukan untuk membantu puluhan ribu warga Gaza yang terluka dan orang-orang yang memiliki masalah kesehatan adalah gencatan senjata dan keselamatan serta keamanan, kata Casey. Tetapi itu tidak cukup.
“Ini benar-benar paket keseluruhan,” katanya, seraya mengatakan bahwa pasokan medis pertama-tama harus mengatasi hambatan dan pemeriksaan, lalu sampai ke Gaza, dan kemudian harus tiba di rumah sakit di mana mereka membutuhkannya.
Namun tanpa petugas kesehatan, pasokan medis, dan bahan bakar untuk menjalankan generator di rumah sakit dan fasilitas kesehatan, “Anda tidak dapat melakukan operasi, Anda tidak dapat memberikan perawatan pasca operasi,” katanya.
Casey mengatakan WHO sedang berusaha memobilisasi tim medis darurat internasional untuk mendukung rumah sakit di Gaza dan memberikan perawatan. Hal ini juga telah mendukung pendirian beberapa rumah sakit lapangan selama enam pekan terakhir ini, katanya.
“Jumlah evakuasi medis yang dilakukan di luar Jalur Gaza sangat terbatas,” katanya. “Kami tahu bahwa ada ribuan orang yang akan mendapatkan manfaat dari perawatan tingkat tinggi yang tidak lagi dapat diberikan di Jalur Gaza,” termasuk pasien kanker dan orang-orang dengan cedera parah.
“Orang-orang sekarat setiap hari,” kata Casey. “Saya telah melihat anak-anak yang dilukai pecahan peluru. Semuanya sekarat di lantai karena tidak ada persediaan di unit gawat darurat, dan tidak ada petugas kesehatan yang merawat mereka.”
Berbicara pada konferensi pers lainnya, Dr. Seema Jilani, dokter anak dan penasihat teknis senior International Rescue Committee untuk kesehatan darurat, mengatakan bahwa dia baru saja pergi ke Gaza. Selama dua pekan dia bekerja sama dengan organisasi Bantuan Medis untuk Palestina dan apa yang dia lihat adalah “mengerikan, dan adegan dari mimpi buruk.”
Jilani sebelumnya bekerja di titik-titik konflik termasuk Afghanistan, Irak, dan Lebanon. Katanya, “Dalam pengalaman saya bekerja di zona konflik di seluruh dunia, ini adalah situasi paling ekstrem yang pernah saya lihat dalam hal skala, tingkat keparahan cedera, jumlah anak yang terkena dampak penderitaan yang tidak ada hubungannya dengan semua ini.”
Jilani bekerja di ruang gawat darurat RS Al-Aksa di Deir al-Balah, satu-satunya rumah sakit di wilayah tengah Gaza. Pada hari pertamanya, katanya, dia mencoba menyelamatkan seorang anak laki-laki berusia sekitar 1 tahun yang lengan kanan dan kaki kanannya patah, tanpa obat apa pun yang diperlukan. Di sebelahnya ada seorang pria sekarat dikerubungi “lalat, sudah memangsa dia,” katanya.
Jilani mengatakan dia merawat anak-anak yang mengalami luka akibat amputasi traumatis hingga luka bakar parah, terkadang melihat asap dari pengeboman Israel di dekatnya. “Dan suatu hari sebuah peluru menembus unit perawatan intensif.”
Setelah dia pergi, kata Jilani, rumah sakit kehabisan bahan bakar dan lampu padam, fasilitas itu gelap gulita. Dia tidak tahu bagaimana keadaan bayi-bayi yang dirawatnya, atau apakah mereka sudah dievakuasi.(apnews)