Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia Jonathan Austin mengatakan serangan terhadap dua masjid di Christchurch pada 15 Maret membukakan mata pemerintahnya terkait pencegahan penyebaran konten terorisme melalui sosial media.
Penembakan massal di Christchurch, kata dia, memotivasi Selandia Baru dan Prancis untuk mengatasi masalah itu melalui Christchurch Call to Action atau KTT Christchurch yang diselenggarakan pada 15 Mei.
Serangan yang menargetkan komunitas muslim itu disiarkan secara langsung oleh pelaku penembakan, Brenton Tarrant, melalui Facebook.
"Siaran langsung dan penyebaran yang luas dari serangan teroris di Christchurch memperjelas kerugian yang disebabkan oleh konten penuh kekerasan dan ekstremisme seperti itu," kata Dubes Austin dalam Regional Conference on Digital Diplomacy (RCDD) di Hotel Mulia, Jakarta, pada Selasa (10/9).
Dia mengatakan bahwa pada saat itu, media sosial justru digunakan sebagai alat untuk mempromosikan aksi terorisme dan kebencian.
"Tidak terhitung ribuan orang yang menyaksikan pembunuhan keji itu," ujar dia.
Siaran langsung itu, jelasnya, ditonton sebanyak 4.000 kali sebelum dihapus dari Facebook. Dalam 24 jam pertama, video itu telah disalin sebanyak 1,5 juta kali dan disebarkan ke sejumlah platform media sosial lainnya.
Dubes Austin menegaskan bahwa sudah terlalu lama komunitas internasional membiarkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menggunakan media sosial untuk memicu kekerasan ekstremis dan mendistribusikan rasa takut.
Menurutnya, sangat penting bagi raksasa sosial media seperti Facebook dan YouTube untuk menyadari bahwa platform mereka tidak boleh disalahgunakan dan sebaliknya dimanfaatkan sebagai alat untuk melawan ekstremisme global.
"Segera setelah serangan di Christchurch, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern mengatakan bahwa pemerintah akan mengambil tindakan dan berkomitmen untuk menelaah peran media sosial dalam tindakan terorisme," tutur dia.
Dia menjelaskan, KTT Christchurch merupakan upaya memicu tindakan yang berarti untuk menghilangkan konten berbau terorisme dan ekstremisme di internet.
KTT itu mempertemukan para pemimpin negara dan para pemimpin industri teknologi untuk berkomitmen serta mengambil tindakan konkret.
"Kami berdiri pada titik yang sama yakni tidak ada perusahaan teknologi dan tidak ada negara yang ingin melihat platform online ternodai oleh konten-konten terorisme," ungkap Austin.
Secara khusus, tambahnya, Selandia Baru ingin membentuk forum internet global sebagai upaya kontraterorisme dengan mengembangkan protokol untuk berkolaborasi.
"Kami ingin mendorong lebih banyak penelitian terkait konten terorisme dan ekstremisme di dunia maya," jelas dia.
Dia menjelaskan bahwa Selandia Baru akan membahas tindak lanjut dari KTT Christchurch di Majelis Umum PBB pada pertengahan September.