close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Facebook/@rodyduterte
icon caption
Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Facebook/@rodyduterte
Dunia
Rabu, 16 Juni 2021 12:02

Duterte tolak penyelidikan internasional soal perang terhadap narkoba

Penyelidikan tersebut diusulkan oleh seorang jaksa yang mewakili Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
swipe

Presiden Filipina Rodrigo Duterte menegaskan tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan internasional terkait pembunuhan dalam perang pemerintahannya melawan narkoba. Penyelidikan ini diusulkan oleh seorang jaksa yang mewakili Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Sejumlah kelompok hak asasi manusia dan kritikus Duterte menyambut baik proposal ICC. Mereka menilai, penyelidikan skala penuh akan membawa keadilan bagi keluarga dari ribuan orang yang terbunuh dalam operasi pemerintah melawan narkoba.

Terlepas dari kekhawatiran masyarakat internasional tentang tindakan keras terhadap narkoba, Duterte tetap populer di dalam negeri. Banyak orang Filipina mendukung sikap kerasnya terhadap kejahatan.

"Kami tidak akan bekerja sama karena kami bukan lagi anggota (dari ICC)," kata juru bicara kepresidenan Harry Roque dalam konferensi pers.

Presiden Duterte membatalkan keanggotaan Filipina dalam perjanjian pendirian ICC pada Maret 2018. "Kami tidak membutuhkan orang asing untuk menyelidiki pembunuhan dalam perang narkoba karena sistem hukum juga bekerja di Filipina," tambah Roque.

Lebih lanjut, Roque menilai penyelidikan internasional tersebut melanggar norma hukum dan bermotif politik.

Kepala Jaksa ICC Fatou Bensouda pada Senin (14/6) meminta izin untuk membuka penyelidikan penuh atas pembunuhan tersebut. Dia menuturkan, kejahatan terhadap kemanusiaan kemungkinan  dilakukan dalam operasi perang narkoba milik Duterte.

"Ada dasar yang masuk akal untuk meyakini bahwa dugaan tindakan itu dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil sesuai dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan negara," kata Bensouda dalam sebuah laporan.

Penyelidikan ICC akan mencakup periode Juli 2016 hingga Maret 2019, saat ribuan orang terbunuh sehubungan dengan kampanye antinarkoba. Bensouda menekankan bahwa pengadilan masih memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang diduga terjadi ketika negara tersebut masih menjadi anggota pengadilan.

Terlebih lagi, Bensouda menyebutkan bahwa informasi yang dikumpulkan dalam penyelidikan awal menunjukkan bahwa anggota Kepolisian Nasional Filipina telah secara tidak sah membunuh antara beberapa ribu dan puluhan ribu warga sipil selama periode tersebut.

Lebih dari 6.000 orang tewas

Sejak Presiden Duterte menjabat pada 2016, polisi telah membunuh lebih dari 6.100 tersangka pengedar narkoba dalam operasi penangkapan. Koalisi Internasional untuk Hak Asasi Manusia di Filipina mendesak agar para pelaku dari kejahatan tersebut dimintai pertanggungjawaban.

Kementerian Luar Negeri Filipina mengatakan, negaranya mematuhi norma-norma hak asasi manusia serta memiliki rekam jejak panjang keterlibatan konstruktif dengan mitra internasional dan regional.

Sementara itu, Roque menyebut bahwa polisi menggunakan kekuatan yang sesuai dan tidak memiliki niat untuk menargetkan atau membunuh warga sipil.

Masa jabatan enam tahun Duterte akan berakhir pada Juni 2022. Para analis menilai, dia ingin sekutu memenangkan kursi kepresidenan untuk melindunginya dari potensi jeratan hukum dan dendam politik begitu dia kehilangan kekebalan dari jabatannya.

img
Valerie Dante
Reporter
img
Valerie Dante
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Berita Terkait

Bagikan :
×
cari
bagikan