Kelaparan, penyakit, dan kurangnya bantuan membunuh 300 bayi per hari di zona perang di seluruh dunia. Sementara itu, jumlah anak yang terperangkap dalam konflik mendekati level tertinggi dalam 30 tahun. Demikian diungkapkan Save the Children pada Jumat (15/2).
"Afghanistan, Yaman, Sudan Selatan, Republik Afrika Tengah, dan Suriah adalah zona konflik terburuk bagi anak-anak pada 2017," ungkap Save the Children yang menyimpulkan dari analisis data PBB selama lima tahun hingga akhir 2017.
Secara keseluruhan, lebih dari 500.000 bayi meninggal selama periode itu akibat dampak konflik, yakni kelaparan, serangan ke rumah sakit, dan kurangnya bantuan. Itu menurut data yang mengecualikan mereka yang terbunuh dalam serangan.
"Dari Yaman ke Suriah dan Sudan Selatan, anak-anak menanggung kengerian konflik bersenjata," papar Kevin Watkins, direktur Save the Children.
PBB menerangkan bahwa perang Yaman selama hampir empat tahun telah menewaskan puluhan ribu orang, menyebabkan ekonomi ambruk, dan membawa jutaan orang ke ambang kelaparan.
"Anak-anak berisiko kekurangan gizi, diare, kolera, dan difteri yang menyebar semudah flu biasa," sebut Save the Children.
Jurnal medis Lancet mengungkapkan, lima juta anak-anak di Afrika telah meninggal selama 20 tahun terakhir karena konflik bersenjata membuat mereka tidak dapat mengakses layanan kesehatan dasar atau air bersih.
Save the Children menuturkan, seperlima dari seluruh anak di dunia, yakni sekitar 420 juta, tinggal di zona konflik pada 2017, 30 juta lebih banyak dari tahun sebelumnya dan itu merupakan jumlah tertinggi sejak 1990.
Data PBB menunjukkan, jumlah pelanggaran berat terhadap anak-anak, seperti kekerasan seksual, rekrutmen bersenjata, dan pembatasan bantuan, naik ke rekor 25.000 pada 2017 dari 10.000 pada 2010.
"Perang terhadap anak-anak harus berakhir, dan mereka yang melakukan kejahatan terhadap anak-anak akan dimintai pertanggungjawaban," tegas Watkins.