Biro Penyidik Federal (FBI) Amerika Serikat (AS) meyakini mantan penasihat kampanye Donald Trump berkolaborasi dengan Rusia untuk memengaruhi pemilu presiden 2016. Itu terungkap dalam dokumen rahasia yang dirilis sejumlah media AS, seperti The New York Times, USA Today dan lainnya.
Dalam laporan rahasia itu, Pengadilan Pemantauan Intelijen Asing menyinggung sosok Carter Page, mantan penasihat kebijakan luar negeri kampanye Trump.
"FBI meyakini Page telah menjadi target rekrutmen oleh pemerintah Rusia," demikian laporan FBI. "Page berusaha memengaruhi hasil pemilu presiden 2016 dan melanggar undang-undang AS," papar FBI.
Page membantah tuduhan tersebut. "Saya tidak pernah menjadi agen rahasia kekuatan asing mana pun," kata Page dalam wawancara dengan CNN dilansir pada Senin (23/7). Dia menjelaskan tudingan itu hanya imajinasi FBI saja.
Ketika disinggung kabar yang menyebutkan bahwa dirinya adalah penasihat informal Kremlin, Page membela diri. Dia mengklaim hanya menjalani percakapan dengan beberapa orang saja dan sifatnya informal.
Pengungkapan dokumen itu bertepatan satu pekan setelah Jaksa Khusus Robert Mueller yang menyelidiki kolusi tim kampanye Trump dan Rusia, mendakwa 12 agen rahasia Rusia meretas tim kampanye Hillary Clinton untuk mencuri data.
Page merupakan konsultan industri energi yang memiliki hubungan lama dengan Rusia. Dia pertama dikontak tim kampanye Trump pada 2015 sebelum akhirnya bertemu dengan manajer kampanye Trump, Corey Lewandowski, pada Januari 2016.
Pada Maret 2016, Trump menyebut Page sebagai salah satu penasihat kebijakan luar negeri dalam tim kampanyenya. Setelah muncul tuduhan kalau dia memediasi antara pejabat Rusia dan tim kampanye Trump, Page mengundurkan diri.
Bantahan senada juga diungkapkan Presiden Trump. Dia mengungkapkan, Page adalah mantan penasihat yang menjadi partisan. "Tudingan itu adalah konspirasi ilegal karena FBI bergantung pada informasi yang disediakan Demokrat," kata Trump.
Presiden AS itu mengungkapkan penyidikan tim kampanye adalah "perburuan tukang sihir". Dia mengungkapkan data dan informasi itu dipasok mantan agen intelijen Inggris, Christopher Steele, yang direkrut tim kampanye Hillary pada 2016.