Pada Senin (18/11), Gotabaya Rajapaksa dilantik sebagai Presiden Sri Lanka, sehari setelah dia dinyatakan sebagai pemenang pilpres. Gotabaya, mantan Menteri Pertahanan Sri Lanka, meminta minoritas Tamil dan muslim, yang terdiri dari sekitar 20% dari total penduduk negara itu, untuk mendukungnya.
Hakim Agung Jayantha Jayasuriya mengambil sumpah jabatan Gotabaya dalam pelantikan yang berlangsung di kuil Buddha, Ruwanwelisaya di Anuradhapura, wilayah utara Sri Lanka.
Dalam pidato pertamanya sebagai presiden, Gotabaya berjanji untuk memprioritaskan keamanan nasional dan menjalankan kebijakan luar negeri yang netral.
Gotabaya memiliki tugas besar dalam mengangkat ekonomi Sri Lanka dari kelesuan akibat beban utang besar yang diwarisi dari mantan presiden yang tidak lain adalah kakaknya, Mahinda.
Dia meraih 52,25% suara dalam pilpres pada Sabtu (16/11), mengalahkan kandidat dari Partai Pesatuan Nasional (UNP) yang berkuasa, Sajith Premadasa.
Kampanye pilpres Gotabaya berfokus pada keamanan nasional dan kebangkitan ekonomi. Dia bersumpah untuk memerangi korupsi dan menjadikan Sri Lanka aman, tujuh bulan setelah pengeboman Minggu Paskah yang dilakukan oleh sejumlah gerilyawan yang mengaku berafiliasi dengan ISIS.
Pengeboman pada April yang menargetkan sejumlah gereja dan hotel mewah menewaskan lebih dari 250 orang dan menghantam keras sektor pariwisata Sri Lanka.
Gotabaya dan kakaknya memimpin upaya menghancurkan kelompok pemberontak, Macan Tamil. Pada 2009, perang saudara yang telah berlangsung selama 26 tahun pun berakhir.
Baik Gotabaya maupun kakaknya populer di kalangan mayoritas etnis Sinhala dan tokoh agama Buddha.
Sebagai seorang mantan letnan kolonel di Angkatan Darat, Gotabaya berencana untuk membangun kembali pertahanan negara, termasuk sel-sel intelijen dan jaringan pengawas yang menurut dia telah dibongkar akibat tekanan internasional.
Gotabaya dijuluki sebagai "Terminator" oleh banyak pihak, bahkan keluarganya sendiri. Para kritikus mengatakan dia harus diadili karena kejahatan perang atas tuduhan pembunuhan, penyiksaan dan penghilangan paksa selama tahap akhir perang melawan pemberontak Tamil pada 2009.
Dia juga menghadapi gugatan sipil di Amerika Serikat karena diduga memerintahkan penyiksaan terhadap seorang pria etnis Tamil dan beberapa lainnya ketika menjadi menteri.
Pada awal 2019, Gotabaya menegaskan bahwa tuduhan kejahatan perang terhadapnya tidak berdasar.
Saat berkampanye, dia mengatakan akan membentuk pemerintahannya dengan teknokrat dan militer yang dipimpin oleh profesional, bukan politikus.
Gotabaya, seorang Buddhis dan vegetarian, meninggalkan militer Sri Lanka pada 1990-an dan pindah ke AS di mana dia bekerja di bidang teknologi informasi.
Tahun ini, dia melepaskan kewarganegaraan AS miliknya karena hukum Sri Lanka tidak mengizinkan kandidat presiden memiliki kewarganegaraan ganda.
Ketika ditanya tentang pelanggaran hak asasi manusia selama menjabat sebagai menteri pertahanan, dia mengatakan, "Anda hanya berbicara tentang masa lalu, mari kita bicara tentang masa depan".