close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
icon caption
Dunia
Selasa, 17 Mei 2022 18:14

Hari-hari terakhir tirani rezim Marcos di Filipina

Dalam pemilu teranyar, rakyat Filipina 'membiarkan' trah Marcos kembali berkuasa.
swipe

Pada 7 Februari 1986, Vadim I. Shabalin baru saja ditunjuk jadi Duta Besar Rusia untuk Filipina. Sebagaimana tata krama dalam hubungan diplomatik, Shabalin langsung menghubungi Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Niat Shabalin hanya sekadar basa-basi. 

Nahas, pada hari yang sama, parlemen Filipina mengumumkan kemenangan pasangan Ferdinand Marcos-Tolentino dalam pemilu. Saat ditelepon Shabalin, Marcos tentu saja menyinggung peristiwa bersejarah tersebut. Tak bisa berkelit, Shabalin terpaksa mengucapkan selamat kepada sang diktator. 

"Akan tetapi, sang duta besar memastikan bahwa dia tak bisa hadir dalam inaugurasi Marcos karena acara inaugurasi itu bertepatan dengan pembukaan parlemen di Moskow," tulis Nick Joaquin dalam The Quartet of the Tiger Moon: Scenes from the People-Power Apocalypse yang terbit pada 1986.

Shabalin jadi satu-satunya perwakilan diplomatik yang mengucapkan selamat atas kemenangan Marcos. Duta besar-duta besar dan perwakilan diplomatik lainnya memilih menyelamati Corazon Aquino, lawan Marcos dalam pemilu. 

Saat kemenangan Marcos diumumkan Cory, sapaan akrab Corazon Aquino, menyerukan aksi protes massal dan boikot terhadap produk-produk milik rezim Marcos. Sebagaimana laporan-laporan dari para observer pemilu dari luar negeri, janda mediang Beniqno Aquino itu meyakini telah dicurangi.

Mayoritas rakyat Filipina bersamanya. Tak lama setelah boikot diserukan, saham perusahaan bir San Miguel langsung terjun bebas. Oplah Manila Bulletin, salah satu harian terbesar di Filipina ketika itu, turun drastis. Selama berhari-hari, gelombang unjuk rasa membanjiri parlemen dan Istana Malacanan. 

Berkuasa sejak 1965, Marcos masih percaya bisa mengendalikan situasi nasional. Sang presiden bahkan telah memilih tanggal 25 Februari 1986 sebagai hari inaugurasi. Jika diakumulasi, dua angka pada tanggal tersebut berjumlah tujuh. Itu angka keberuntungan Marcos. 

"Kami bisa menangani apa pun yang mereka lempar kepada kami. Ini (boikot) aksi propaganda para pengecut untuk mengerdilkan kemenangan kami," kata pria kelahiran 11 September 1917 itu dalam sebuah penampilan di depan publik. 

Untuk memastikan inaugurasi semarak, Marcos dilaporkan menggelontorkan sekitar 12 juta peso kepada para kroni-kroninya. Duit itu dialokasikan untuk memobilisasi massa ke venue inaugarasi di Luneta, Manila. Satu kepala dihargai sekitar 30-50 peso. 

Tiga hari sebelum inaugurasi, Marcos mengirimkan orang-orang kepercayaannya ke Amerika Serikat, negara-negara di Eropa, dan sejumlah negara di Asia. Ke Vatikan, Italia, ia juga menerbangkan dua perwakilannya untuk meyakinkan Paus bahwa hasil pemilu Filipina benar-benar "suci". 

"Marcos masih berpikir dia bisa mengembalikan kepercayaan dunia internasional kepadanya... Kaum sinis bergumam, 'Setahu kami, Marcos justru mengirimkan perwakilan-perwakilan spesial itu untuk mencari tempat pengasingan yang nyaman bagi dia'," tulis Joaquin.

Tak lama setelah hasil pemilu diumumkan, Marcos juga memanggil kembali Favian Ver, panglima pasukan bersenjata Filipina. Ver sebelumnya dinonaktifkan oleh Marcos karena diduga terlibat pembunuhan Benigno Aquino pada 1983. Namun, Marcos tetap membiarkan Ver mengendalikan militer di balik layar. 

Corazon Aquino berkampanye bersama putranya Noynoy jelang Pemilu Presiden Filipina pada 1986. /Foto Wikimedia Commons

Pemberontakan RAM 

Beragam upaya Marcos sia-sia. Protes publik tak juga mereda. Sejumlah orang kepercayaan Marcos bahkan turut membelot. Salah satunya ialah Juan Ponce Enrile. Pada pagi hari tanggal 24 Februari 1986, Enrile mengumumkan mundur dari posisinya sebagai Menteri Pertahanan Filipina. 

Sempat dilaporkan kabur ke luar negeri, Enrile ternyata berkumpul dengan Wakil Panglima Pasukan Bersenjata Filipina Jenderal Fidel Ramos di Camp Aguinaldo di Epifanio de los Santos Avenue (EDSA) Highway, kawasan timur Manila. Di sana, ia dilaporkan merancang strategi untuk melengserkan Marcos. 

Enrile membelot karena mendapat laporan dari seorang informannya mengenai pertemuan antara Marcos, Ver, dan sejumlah petinggi militer sepekan sebelumnya. Sang informan mengatakan Marcos merencanakan menghabisi para penasihat Cory dan menjadikan Enrile dan Ramos sebagai kambing hitam. 

"Orang-orang (pendukung Cory) ini akan ditangkap dan dibunuh. Kaum komunis akan dituding sebagai dalang pembunuhan. Marcos kemudian akan mendeklarasikan keadaan darurat dan ketika itu Enrile dan Ramos bakal dituduh berkhianat," tulis Joaquin.

Jelang malam, bersama Ramos dan sejumlah perwira militer dari Reform the Armed Forces Movement (RAM), Enrile menggelar konferensi pers di Camp Aguinaldo. RAM ialah gerakan reformasi yang diinisiasi para perwira muda di militer Filipina. Mayoritas anggotanya perwira yang kecewa dengan "kebiasaan" Ver mengisi pos-pos strategis di militer dengan orang-orang pro-Marcos.

Di hadapan para pewarta, Enrile terang-terangan mengumumkan pemberontakan mereka terhadap rezim Marcos. Ia juga membeberkan skema kecurangan pemilu di Lembah Caragan. Di kota kelahirannya itu, menurut Emile, orang-orang kiriman Marcos setidaknya memalsukan 350 ribu surat suara. 

"Hati nurani saya tak bisa lagi mendukung Presiden Marcos yang telah mengabaikan kehendak rakyat dalam pemilu. Saya tak bisa lagi melayani presiden yang tak lagi mampu menjaga kehormatan pemerintahan," kata Enrile. 

Tak hanya itu, Enrile juga mengungkap kejahatan-kejahatan Marcos di masa lalu. Salah satunya ialah terkait desas-desus mengenai rencana pembunuhan terhadap Enrile pada 1972. Desas-desus itu, kata Enrile, hanya kebohongan yang diumbar Marcos untuk menjustifikasi pemberlakuan keadaan darurat. 

Ramos juga turut angkat suara dalam konferensi pers itu. Bekas sekutu Marcos itu menyerukan agar personel militer lainnya bergabung bersama RAM. "Pasukan bersenjata tak lagi jadi militer bagi rakyat. Para prajurit kini hanya jadi senjata bagi politikus-politikus berkuasa," kata dia. 

Seruan Ramos direspons positif. Tak lama setelah konferensi pers itu, jumlah personel kubu pemberontak membengkak. Selain para "desertir",  Camp Aguinaldo mendadak dipenuhi ratusan ribu warga sipil yang juga terinspirasi melengserkan Marcos dari tampuk kekuasaan. 

"Lebih dari sekadar kampanye, kami datang untuk memecah roti dan berbagi solidaritas bersama mereka yang bersedia berbaris di garda terdepan menghadapi senjata dan peluru demi kemerdekaan dan pergantian pemerintahan," kata Edwin Lacierda, seorang mahasiswa pendukung Cory yang hadir di EDSA. 

Sekitar pukul 11 malam, Marcos membalas dengan menggelar konferensi pers tandingan di Istana Malacanan. Dalam jumpa pers itu, ia mengungkapkan mengenai rencana pembunuhan terhadap dia dan istrinya, Imelda. 

Ketika itu, Marcos menghadirkan seorang perwira berpangkat kapten bernama Ricardo Morales. Sang perwira bercerita mengenai rencana serangan ke Istana Malacanan. Ia menyebut Ramos dan Ernile sebagai dalang rencana itu.  

"Saya meminta kepada mantan menteri pertahanan dan mantan wakil panglima militer untuk menghentikan kebodohan ini dan segera menyerah," kata Marcos. 

Presiden Filipina Ferdinand E. Marcos disumpah oleh Hakim Agung Ramon Aquino di aula Istana Malacañan, Manila, 25 Februari 1986. /Foto Wikimedia Commons

Kabur ke Hawai

Tanpa disadari Marcos, pemberontakan terselubung pun dilancarkan loyalis-loyalisnya. Berkali-kali Marcos menghubungi jenderal militer Filipina dan meminta mereka untuk membubarkan kerumunan masa di Camp Aguinaldo. Namun, permintaan itu tak digubris. 

Mendekati hari inaugurasi, Marcos kian panik. Dalam sebuah siaran radio pada dini hari 24 Februari 1986, Marcos mengungkap rencana menyerang Camp Aguinaldo dan Camp Crame. Camp Crame ialah markas kepolisian Filipina yang juga dijadikan venue aksi protes. 

"Kita akan menghabisi mereka. Jelas sekali mereka sedang melancarkan pemberontakan. Saya tidak berniat untuk turun dari posisi saya. Tidak akan pernah!" cetus Marcos seperti dikutip dari "The Fall of The Dictatorship" yang tayang di Official Gazzete
 
Saat matahari terbit hari itu, sejumlah pasukan dikerahkan untuk menyerbu EDSA. Pada pukul 06.20, delapan helikopter militer terbang mengelilingi Camp Crame. Namun, tak terdengar letusan senjata. Helikopter-helikopter itu turun dengan damai ke area pengunjuk rasa. 

Sekitar pukul 09.00, Marcos dan Ver muncul di televisi. Dalam penampilan yang kental nuansa rekayasa itu, Ver terlihat meminta Marcos untuk menyerang Camp Crame. Marcos tentu saja menolak permintaan itu. "Perintah saya adalah membubarkan tanpa menembaki mereka," kata Marcos. 

Saat bertemu komandan pasukan marinir General Artemio Tadiar, Ver mengonfirmasi Marcos menyetujui peluru tajam digunakan untuk membubarkan aksi protes. Tadiar menyampaikan perintah itu kepada prajurit di lapangan. Namun, para prajurit menolak menembaki warga sipil. 

Ver juga memerintahkan pasukan angkatan udara turut bergerak. Selepas tengah hari, ia menginstruksikan Mayjen Vicente Piccio melancarkan serangan udara ke Camp Crame. Piccio merespons dengan jawaban mengagetkan. "Kita tidak punya pesawat tempur. Semua sudah dihancurkan," kata Piccio.

Infografik Alinea.id/Debbie Alyuwandira

Tanpa didukung militer, Marcos tak lagi berani menggelar inaugurasi mewah. Alih-alih di Luneta Park, inaugurasi sang diktator hanya digelar di Istana Malacanan pada 25 Februari 1986. Hanya segelintir pejabat dan kerabat dekat yang menghadiri inaugurasi itu. 

Pemerintahan periode keempat Marcos itu tak berlangsung lama. Hanya beberapa jam setelah inaugurasi, Marcos memutuskan kabur bersama keluarganya ke Hawai. Di sana, ia menjalani pengasingan selama tiga tahun sebelum akhirnya meninggal pada 28 September 1989. 

Sepanjang berkuasa, Marcos diperkirakan telah mengorupsi duit negara hingga sekitar US$8 miliar, memenjarakan lebih dari 600 musuh politik, dan turut bertanggung jawab dalam 3,275 kasus pembunuhan di luar hukum. Ia juga sukses bikin Filipina jatuh ke kubangan utang yang hingga kini belum bisa dilunasi. 

Meski begitu, tirani Marcos sepertinya telah dilupakan publik Filipina. Dalam pemilu teranyar, rakyat Filipina
"membiarkan" trah Marcos kembali berkuasa. Kali ini, giliran Ferdinand "Bong-bong" Marcos junior yang memegang kendali di negeri itu. 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan