close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi perempuan berkerudung di Iran. Alinea.id/MT Fadillah
icon caption
Ilustrasi perempuan berkerudung di Iran. Alinea.id/MT Fadillah
Dunia
Minggu, 23 Oktober 2022 18:42

Hijab, persekusi, dan kontrarevolusi kaum perempuan di Iran 

Kematian Mahsa Amini kembali memicu gelombang protes terhadap kewajiban berhijab di Iran.
swipe

Maryam Ebdali melangkah menyusuri jalanan di Naderi Avenue, Teheran, Iran pada suatu hari di bulan Juni 1981 itu. Sesaat lagi, perempuan berusia 31 tahun itu bakal tiba di tempat tujuannya, sebuah toko susu di kawasan pusat ibu kota Iran tersebut. Namun, sebuah teriakan menghentikan langkahnya. 

Sebuah minibus terparkir tak jauh dari toko susu itu. Dari dalam minibus, seorang pria berseru-seru dan meminta Ebdali masuk ke mobil. "Kamu mengenakan hijab secara tidak pantas," kata pria itu. 

Mulanya, Ebdali menolak. Ia merasa telah mengenakan busana muslim secara wajar. Pakaiannya tak ketat dan lehernya sama sekali tak terlihat. Hanya kerudungnya yang sedikit bergeser sehingga menunjukkan sejumput rambut Ebdali. 

Argumentasi Ebdali sia-sia. Ia pun digiring masuk ke minibus. Kedua matanya ditutup kain hitam. Minibus pun bergerak. Ebdali dibawa ke sebuah ruangan. 

Ia menunggu lama sebelum seorang mullah, sebutan untuk ulama di Iran, masuk ke dalam ruangan itu. Sang mullah bertanya apakah Ebdali menyadari kesalahannya sehingga ia dikurung di ruangan itu. 

"Saya pergi untuk membeli susu buat anak saya dan mereka membawa saya ke sini," ujar Ebdali. 

Sang mullah menjelaskan duduk persoalannya. "Rambut kamu kelihatan. Apakah kamu tahu bahwa pada Hari Penghakiman, mereka akan menggantung kamu menggunakan rambut kamu?" tanya sang mullah. 

Ebdali malas berargumen. Ia hanya meminta maaf dan berjanji bersikap lebih baik lagi. Sang mullah memintanya menandatangani sebuah sumpah. 

"Saya melakukan itu dan mereka melepas saya. Ketika saya tiba di rumah, semua orang sudah menunggu karena khawatir," ujar Ebdali dalam sebuah testimoni kepada Justice for Iran, sebuah lembaga HAM berbasis di London, Inggris, seperti dinukil dari "Thirty-five Years of Forced Hijab: The Widespread and Systematic Violation of Women Rights in Iran" yang terbit pada 2014.

Apa yang terjadi kepada Ebdali tergolong langka ketika itu. Pada 1981, berhijab belum jadi kewajiban bagi para kalangan perempuan di Iran. Ketika itu, pemerintah baru Iran hanya mengimbau perempuan menutupi tubuh saat berada di luar rumah. Hijab menjadi pakaian wajib kaum hawa pada 1983. 

Peristiwa serupa yang dialami Ebdali baru marak pada tahun-tahun berikutnya. Kaum perempuan, baik tua dan muda, diberhentikan polisi moral saat berada di ruang publik. Pelanggaran mereka beragam, mulai dari tak memakai hijab, memakai baju yang terlalu ketat, atau tak memakai hijab sesuai kriteria, semisal menunjukkan rambut atau leher. 

Dalam "Iranian Women’s Experience of Mandatory Hijab: A Case Study of a Campaign on Facebook" yang terbit pada 2014 lalu, Pegah Hamzehei menulis paranoia melanda kalangan perempuan di Iran ketika itu. Berkerudung atau tak berkerudung, para perempuan Iran selalu takut bakal diberhentikan oleh polisi-polisi moral yang setiap hari berpatroli. 

Dalam risetnya, Hamzehei merekam pengalaman puluhan perempuan Iran saat berhadapan dengan regulasi kewajiban berhijab yang diberlakukan pemerintah Iran. Testimoni berbentuk diari digital itu dikumpulkan dari laman Woman=Man di Facebook.

Tak hanya pengalaman saat era digital, sejumlah perempuan juga mengisahkan perasaan mereka saat berhadapan dengan aturan berhijab sedari kecil. Seorang perempuan mengisahkan perasaan takut yang menyergap dia saat melihat ibu dan kakaknya melepas hijab ketika sedang berlibur di Siprus. Ketika itu, dia masih berusia 6 tahun. 

"Saya meminta mereka berkerudung atau setidaknya memakai penutup kepala. Saya takut polisi akan datang dengan helikopter dan menangkap kami," kata perempuan itu. 

Perempuan lainnya mengisahkan kegagetan dia saat seorang perempuan yang tidak dikenal tiba-tiba memegang tangan dia di tengah jalan dan menceramahinya karena hijab yang ia pakai sedikit memperlihatkan rambut dan lehernya. 

"Jika bocah laki-lakiku melihat leher telanjangmu, kamu adalah seorang pendosa," kata dia menirukan ucapan sang perempuan tak dikenal itu. "Sejak itu, selama bertahun-tahun saya berkerudung karena takut neraka."

Perempuan lainnya mengisahkan persekusi berbasis standar hijab yang ambigu. Sang perempuan mengaku dipecat dari pekerjaannya sebagai seorang jurnalis saat ngepos di parlemen Iran. 

"Di parlemen, sebagai respons dari pertanyaan politis saya, saya mendengar jawaban ini: Pertama, tutupi rambut kamu secara menyeluruh, baru ajukan pertanyaan," tulis dia. 

Berbasis testimoni-testimoni itu, Hamzehei menemukan banyak perempuan Iran tak nyaman saat dipaksa berhijab. Kebanyakan perempuan menerima hijab sebagai keniscayaan karena tuntutan sosial, pekerjaan, keluarga, dan ketakutan ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum.

Sejumlah perempuan, kata Hamzehei, bahkan mengalami depresi yang ditandai dengan munculnya mimpi buruk yang serupa. Dalam mimpi itu, para perempuan mengaku tampil telanjang di ruang publik tanpa jubah dan penutup kepala.

"Mereka lari ke toko terdekat untuk membeli kerudung, tapi tak bisa menemukan satu pun. Mimpi buruk itu biasanya berakhir setelah perempuan-perempuan itu meninggalkan Iran. Menurut diari-diari itu, perempuan Iran mengalami kehidupan ganda, sensor, dan body shame sejak remaja," tulis Hamzehei.

Ilustrasi perempuan berhijab di Iran. /Foto Pixabay
Riwayat tradisi berhijab

Budaya berhijab berkembang pada era dinasti Qajar (1976-1925) di Persia (kini Iran). Pada era itu, kaum perempuan dianggap warga kelas dua. Tugas mereka dibatasi pada urusan-urusan domestik, khususnya melahirkan dan mengurus anak-anak. Rumah atau kamar milik kaum hawa didesain tanpa jendela dan tidak menghadap jalan raya. 

Di luar rumah, mereka wajib mengenakan pakaian tradisional yang terdiri dari chador, rubandeh, dan chaqchur. Chador adalah jubah terbuka yang menyelimuti tubuh perempuan dari ujung kaki ke kepala. Rubandeh ialah cadar untuk menutupi wajah, sedangkan chaqchur ialah celana longgar. Tak hanya warga biasa, dress code semacam itu juga diberlakukan bagi perempuan dari kelas elite. 

"Kaum elite dan perempuan kaya jarang keluar rumah. Para pria dari kelas mereka tak akan setuju. Ketika berada di luar rumah, mereka wajib didampingi para kasim di dalam kereta kuda tertutup atau didampingi perempuan lain dan anak-anak," tulis Hamideh Sedghi dalam Women and Politics In Iran: Veiling, Unveiling, and Reveiling yang terbit pada 2007. 

Pada era itu, budaya patriarki kuat di Persia. Segregasi jenis kelamin diberlakukan. Perempuan tak diperbolehkan punya properti. Pekerjaan mereka terbatas pada memasak, mencuci, menjahit, atau membantu para suami memanen gandum. 

"Pada sejumlah keluarga, kelahiran perempuan adalah aib. Terkadang, bayi-bayi perempuan yang baru lahir dikubur di dinding rumah, sedangkan kelahiran bayi laki-laki dirayakan dengan penuh kegembiraan," tulis Sedghi. 

Situasinya berubah pada era Shah Reza Pahlavi. Setelah menumbangkan Ahmad Shah Qajar, pemimpin monarki Persia terakhir, Pahlavi memodernisasi fesyen warga Iran. Perwira brigade Cossack itu memandang chador sebagai pakaian kaum terbelakang. 

Pada 8 Januari 1936, Pahlavi mengeluarkan dekrit Kashf-e hijab yang melarang penggunaan semua jenis kerudung di ruang publik, termasuk hijab dan chador. Pemerintah Iran juga melarang beragam jenis pakaian tradisional yang biasanya digunakan kaum pria. 

Untuk memastikan dekrit itu dilaksanakan, polisi dikerahkan. Setiap hari, patroli digelar untuk menangkap para perempuan yang mengenakan kerudung di ruang publik. Perempuan yang menolak tunduk pada aturan baru itu dipukuli, dirobek kerudungnya, dan digeledah rumahnya. 

"Polisi mendapat instruksi tegas untuk melepas atau merobek kerudung atau chador yang digunakan perempuan di tempat umum," tulis Homa Hoodfar dalam The Veil in Their Minds and on Our Heads: The Persistence of Colonial Images of Muslim Women (1993). 

Dekrit itu tak serta-merta disambut positif. Perempuan-perempuan dari kaum Shiah menolak melepas chador. Sebagian bahkan memilih bunuh diri saat dipaksa berganti fesyen. Mayoritas kaum perempuan Iran berkompromi dengan menggunakan hijab dan kerudung sebagai pengganti chador saat berada di luar rumah. 

Kebijakan terkait hijab berganti lagi setelah rezim Pahlavi tumbang pada 1979. Tak lama setelah berkuasa, pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Khomeini mengeluarkan dekrit yang mewajibkan semua perempuan yang bekerja di sektor publik mengenakan hijab.

"Mereka (perempuan yang tak berkerudung) tidak pernah melakukan hal baik. Mereka tak tahu caranya untuk berguna, baik secara sosial, politis, atau profesional. Demikian karena dengan tak menutup diri, mereka mengganggu kaum pria dan mengecewakan mereka," kata Khomeini dalam sebuah wawancara. 

Segala jenis medium untuk propaganda digunakan untuk menjustifikasi pemakaian hijab. Ruang publik diisi imbauan dan slogan-slogan agar kaum hawa berhijab, semisal "Berkerudung adalah Kewajiban Sakral" atau "Martabat Perempuan Ada pada Kerudungnya".  

Pada 1983, berhijab menjadi kewajiban yang harus dipatuhi para perempuan Iran setelah sebuah qesa (aturan hukum) dirilis Majelis Ulama Iran. Pelanggaran atas aturan berhijab diganjar dengan hukuman cambuk hingga 74 kali. 

Pada 1986, Hashemi Rafsanjani, juru bicara parlemen Iran ketika itu, mengatakan kewajiban berhijab sesuai dengan isi Alquran. Ia menyebut perempuan hanya boleh memperlihatkan wajah dan tangan mereka saat berada di tempat umum. 

"Dalam perbincangan, para perempuan tidak boleh berbicara dengan nada yang membangkitkan gairah para pria atau bernuansa merayu," kata pria yang kelak jadi Presiden Iran itu. 

Sebagaimana yang dilakukan rezim Pahlavi, Khomeini mengerahkan polisi untuk memastikan kewajiban berhijab itu dipatuhi para perempuan Iran. Setiap hari, patroli "moral" digelar untuk mengoreksi fesyen kaum hawa di negeri para mullah itu. 

Regulasi yang mengatur hijab menguat pada era Ayatollah Ali Khamenei, penerus Khomenei. Pada 1995, Iran merilis regulasi tambahan pada Kode Kriminal Iran yang mengatur sanksi penjara hingga 60 hari terhadap mereka yang terang-terangan menolak kewajiban berhijab. 

Mahasiswa dari Amir Kabir University turun ke jalan untuk memprotes kebijakan wajib berhijab bagi perempuan Iran pada Oktober 2022. /Foto Wikimedia Commons

Simbol protes

Kewajiban berhijab memicu gelombang protes dari kalangan perempuan moderat di Iran. Saat kewajiban berhijab kali pertama diumumkan Khomeini pada awal 1979, ribuan perempuan Iran turun ke jalan menggelar serangkaian aksi protes. 

Pasdaran, pasukan Garda Revolusi Iran, dikerahkan untuk membubarkan aksi protes. Namun, kaum perempuan menolak tunduk. Pada Maret 1979, pemerintah Iran melunak dengan mengumumkan bahwa 'pemerintah tak berniat mewajibkan penggunaan hijab, namun mendorong pemakaian secara masuk akal.'

Setelah kewajiban berhijab resmi jadi jadi aturan hukum, kaum perempuan menggelar aksi protes secara sembunyi-sembunyi. Sejumlah perempuan memutuskan memakai pakaian pria saat keluar rumah. Hanya segelintir yang masih berani terang-terangan tak berhijab saat berada di ruang publik. 

Pada dekade 1980-an hingga 1990-an, aktivisme politik untuk menolak kewajiban berhijab relatif redup. Justice for Iran menenggarai itu terjadi seiring kian ketatnya regulasi kewajiban berhijab dan semakin rutinnya patroli polisi fesyen.

Sepanjang 2003-2013, misalnya, tercatat ada lebih dari 30 ribu perempuan yang ditangkap di Iran karena melanggar regulasi kewajiban berhijab. Pada 2007, setidaknya ada 150 perempuan di Teheran yang ditangkap karena melanggar regulasi itu setiap harinya. 

"Laporan resmi juga menunjukkan setidaknya ada 460 ribu peringatan yang dikeluarkan terhadap perempuan yang melanggar aturan berhijab. Seiring itu, sebanyak 7.000 perempuan dipaksa mengucap sumpah taat pada hukum Islam terkait hijab. Sebanyak 4.358 kasus masuk meja hijau," tulis Justice for Iran.

Gerakan menolak kewajiban berhijab kembali hidup pada awal 2010. Pada 2014, jurnalis asal Iran Masih Alinejad merintis gerakan politik online bertajuk My Stealthy Freedom. Bermula dari Facebook, gerakan itu berbagi foto para perempuan, tua dan muda, tanpa kerudung di berbagai lokasi di Iran.  

Pada 8 Desember 2017, dalam sebuah aksi memprotes kewajiban berhijab, seorang perempuan bernama Vida Movahedi melepas kerudung dan menggantungnya di sebuah tongkat kayu. Aksi protes di tengah Jalan Enghelab (Revolusi), Teheran, itu direkam seorang pengguna jalan yang tengah melintas. 

Video protes Movahedi itu viral. Tak lama, Movahedi ditangkap polisi. Sejumlah perempuan mengulang aksi protes itu di berbagai kota di Iran. Merujuk pada venue aksi protes Movahedi, media massa lantas menyebut mereka sebagai gadis-gadis Jalan Revolusi.

Infografik Alinea.id/MT Fadillah

Pada 23 Februari 2018, aksi Movahedi diulang dara bernama Maryam Shariatmadari. Sang dara berdiri di atas kotak utilitas di sebuah jalan di Teheran sembari melambaikan kerudungnya. Seorang polisi mendorong Shariatmadari hingga terjatuh dan cedera. Shariatmadari dihukum satu tahun penjara sebelum dibebaskan menggunakan jaminan. 

Saat memperingati Hari Perempuan Sedunia pada 8 Maret 2018, Khamenei menyebut aksi-aksi melepas hijab yang digelar sejumlah perempuan di Iran itu hanya isu kecil yang dibesar-besarkan. "Perempuan-perempuan Jalan Revolusi itu diperdaya untuk melepas kerudung mereka," ujar Khamenei. 

Hijab kembali menimbulkan kontroversi di Iran setelah kematian Mahsa Amini pada 16 September 2022. Dara berusia 22 tahun itu dilaporkan tewas setelah dipukuli polisi moral di Teheran. Amini meregang nyawa hanya karena hijab yang ia kenakan "tak sesuai standar". 

Kematian Amini memicu gelombang protes terhadap kewajiban berhijab di Iran. Dalam serangkaian aksi, sejumlah pengunjuk rasa terlihat membakar kerudung dan memotong rambut mereka sebagai bentuk protes. Seperti biasa, pemerintah Iran merespons aksi protes dengan tentara dan senjata. 

Hingga Oktober 2022, tercatat sudah lebih dari 200 orang tewas karena kebrutalan polisi saat membubarkan aksi-aksi protes yang kerap bertagar #WomanLifeFreedom itu. Ada yang ditembus peluru dan ada pula yang bersimbah darah karena dipukuli tongkat polisi. Meski begitu, gelombang unjuk rasa tak juga surut.

Dalam sebuah opini yang tayang di The Newyorker pada 9 Oktober lalu, kolumnis Robin Wright menulis gelombang protes yang dipicu kematian Amini merupakan gerakan kontrarevolusi pertama yang dipimpin kaum perempuan di Iran. 

"Mereka mungkin tak akan berhasil, tapi kaum revolusioner Iran kini menghadapi sebuah ancaman eksistensial. Bagi Iran, #WomanLifeFreedom adalah sebuah titik balik," tulis Wright. 
 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan