Holodomor: Teror kelaparan ala Stalin di Ukraina
Jenuh dengan kesibukannya di Moskow, pemimpin tertinggi Partai Komunis Uni Soviet Joseph Stalin memutuskan berlibur ke kampung halamannya di Georgia selama beberapa hari pada 1931. Meski sedang "off", Stalin menyempatkan bertemu dengan pemimpin Partai Komunis Georgia Samson Mamulia dan Perdana Menteri Georgia Lado Sukhishvili.
Kepada Mamulia, Stalin menanyakan perkembangan program pertanian kolektif (kolkhoze) di negara itu. Diluncurkan sejak dua tahun sebelumnya, itu salah satu program andalan Stalin untuk menggenjot industralisasi dan modernisasi pertanian di negara-negara Uni Soviet.
"Situasinya buruk, Kamerad Stalin. Beberapa kolkhoze bubar. Kita harus mempersenjatai kaum komunis untuk menetralisasi elemen-elemen berbahaya dan menjaga agar para petani tetap menjadi anggota kolkhoze," tukas Mamulia.
Mendengar respons Mamulia, Stalin "meledak". Stalin merasa omongan Mamulia kelewatan. Di depan publik, ia sudah berulangkali menyatakan Partai Komunis tak akan represif dalam menjalankan program kolektivisasi pertanian itu.
"Kamu mengklaim supaya para petani dipaksa setuju dengan pertanian kolektif menggunakan bedil. Bagaimana dengan gagasan keikutsertaan sukarela kepada kolkhoze? Bagaimana soal kepentingan kaum miskin dan para petani kelas menengah?" ujar sang diktator.
Stalin, sebagaimana ditulis Françoise Thom dalam "Reflection on Stalin and Holodomor" yang dipublikasikan di East/West: Journal of Ukrainian Studies pada 2015" hanya sekadar bermain peran. Di belakang layar, sang diktator selalu setuju lahan-lahan pertanian diambil paksa.
"Kolektivisasi pada mulanya dipropagandakan sebagai kebijakan keadilan sosial yang berpihak pada petani miskin. Ketika kedok Stalin terbuka, jelas bahwa Partai Komunis menggelar perang total terhadap para petani," kata Thom.
Gagasan pertanian muncul di kepala Stalin setelah krisis gandum melanda Uni Soviet pada 1928. Ketika itu, Uni Soviet kekurangan sekitar 2 juta ton gandum untuk memenuhi kebutuhan nasional. Stalin menuding para kulak menyembunyikan gandum dan memerintahkan perampasan paksa dari silo-silo milik petani. Kulak sebutan untuk petani kaya.
Kebijakan itu diprotes para petani. Mereka menolak menyerahkan gandum secara sukarela. Sebagian kulak bahkan sengaja membakar hasil panen sebagai bentuk boikot. Produksi gandum pun turun. Pada November 1929, Komite Pusat Partai Komunis Uni Soviet merilis program pertanian kolektif dalam skala nasional.
"Para petani yang bersedia bergabung dengan kolkhoze dianugerahi lahan yang subur dan pengurangan pajak, sedangkan mereka yang menolak dihukum dengan diberikan lahan yang buruk dan tambahan pungutan pajak," tulis Martin Mcauley dalam Stalin and Stalinism yang terbit pada 2008.
Selama dua tahun diberlakukan, program kolektivisasi lahan pertanian itu tersendat. Kebanyakan petani menolak bergabung dalam sebuah kolkhoze. Pada 1931, Stalin merilis kebijakan baru yang mewajibkan semua lahan pertanian dikuasai negara.
Setahun berselang, tepatnya pada 7 Agustus 1932, Stalin kembali merilis dekrit untuk mengamankan program kolkhoze. Dalam dekrit itu, semua perusak atau pencuri properti negara di kolkhoze, semisal ternak, gandum, dan produk-produk pertanian lainnya, dianggap sebagai musuh rakyat.
"Para pelanggar diperkenankan ditembak atau dalam situasi tertentu dipenjara minimal tak kurang dari sepuluh tahun serta semua propertinya disita untuk negara," tulis Stalin.
Meski bikin kaum tani merana, kebijakan-kebijakan Stalin membuahkan hasil. Pada 1933, sekitar 90% lahan pertanian di Uni Soviet bergabung dalam kolkhoze atau dikuasai negara. Selama beberapa tahun, Uni Soviet pun surplus gandum.
Tragedi Holodomor
Sengsara akibat kebijakan kolektivisasi lahan pertanian terutama paling dirasakan rakyat Ukraina. Bencana kelaparan, kelak dikenal dengan sebutan Holodomor, mengepung berbagai kota dan desa di Ukraina pada masa itu. Holod berarti kelaparan dan mor bermakna wabah atau kematian.
Berbeda dengan yang diberlakukan di negara-negara Uni Soviet lainnya, program kolektivisasi didesain lebih "keji" oleh Stalin di Ukraina. Di antara lainnya, penderitaan rakyat Ukraina bermula dari diberlakukannya kebijakan penambahan kuota gandum.
Pada 1930, Partai Komunis Uni Soviet menuntut 7,7 juta ton gandum dari Ukraina. Pada tahun itu, Ukraina memproduksi 23,9 juta ton gandum. Meskipun produksi berkurang menjadi 18,3 juta ton pada 1931, Uni Soviet tak mengubah kuota gandum yang harus dipenuhi Ukraina.
"Pihak berwenang hanya mampu memperoleh 7,2 juta ton gandum tahun itu dan pada 1932 hanya sekitar 4,3 juta ton diperoleh dari kuota yang berkurang menjadi 6,6 juta ton," jelas Robert Davies dan Steaphen G Weathcroft dalam The Year of Hunger: Soviet Agriculture 1931-933 yang terbit pada 2010.
Kuota yang terlampau tinggi itu tak bisa dipenuhi petani Ukraina yang juga harus makan untuk tetap hidup. Meski begitu, Stalin tak melunak. Sang diktator merilis sejumlah kebijakan untuk memastikan target kuota gandum tercapai. Pada 18 November 1932, Uni Soviet menuntut para petani yang mencapai target kuota kolkhoze diminta mengembalikan "upah" gandum yang mereka peroleh.
Dua hari berselang, sebuah regulasi diterbitkan untuk memaksa para petani yang tak mencapai target kuota personal menyerahkan ternak-ternak mereka. Kolkhoze yang gagal memenuhi target lantas dimasukkan ke dalam daftar hitam dan dituntut menyerahkan gandum 15 kali lipat dari kuota awal.
"Oleh aktivis partai, segalah jenis makanan dijarah dari pertanian-pertanian itu. Komunitas yang masuk ke dalam daftar hitam tidak diperbolehkan berdagang atau menerima pengiriman dalam bentuk apa pun. Area mereka jadi zona mati," tulis Timothy Snyder dalam Bloodlands: Europe Between Hitler and Stalin yang terbit pada 2010.
Kasus-kasus pencurian mulai merebak. Selama lima bulan, sejak Agustus 1932, setidaknya ada lebih dari 54 ribu petani ditangkap karena mencuri properti kolkhoze atau menggelapkan hasil produksi pertanian yang harusnya disetor ke agen-agen partai. Sebanyak 2.110 di antaranya dieksekusi mati oleh rezim Stalin.
Pada Desember 1932, Stalin lantas memberlakukan sistem paspor. Orang-orang kota diberikan paspor, tetapi petani yang tinggal di desa tak berhak punya paspor. Berbarengan dengan kebijakan itu, Uni Soviet menutup perbatasan Ukraina. Orang-orang Ukraina bahkan tak boleh menyeberang ke Rusia.
"Perangko pada paspor jadi persoalan hidup mati, ini sebuah bentuk persekusi baru. Banyak orang Ukraina mati di rel-rel kereta karena tak bisa meninggalkan area yang terdampak kelaparan," tulis Robert Gellately dalam Lenin, Stalin and Hitler, The Age of Social Catastrophe yang terbit pada 2007.
Di desa-desa yang terisolasi, satu per satu petani mati. Untuk bertahan hidup, para petani dilaporkan memakan ternak, hewan liar, atau tumbuh-tumbuhan di hutan. Malnutrisi mewabah pada anak-anak.
Kasus-kasus kanibalisme dilaporkan terjadi.
"Sejak April atau Maret 1933, orang-orang tak punya apa-apa lagi untuk dimakan. Pada 1932, mereka masih punya sesuatu yang mereka sembunyikan. Tetapi, semuanya berakhir pada 1933. Orang-orang mulai mati, bejatuhan. Benar-benar tidak ada apa-apa lagi," kata Halyna Pavlina Tymoshchuk, salah satu saksi mata Holodomor.
Saat tragedi Holodomor, Tymoschuk masih berusia 8 tahun. Ia tinggal di Desa Tretivka, Distrik Komsomol, Kota Donetsk. Ayah Tymoschuk adalah salah satu petani yang tak mau bergabung dengan kolkhoze. "Agen-agen partai datang dari kota atau desa tetangga. Mereka mengambil semuanya," ujar Tymoschuk.
Situasi serupa juga terjadi di oblast-oblast (wilayah setingkat kota) lainnya. Stalin menyalahkan bencana kekeringan yang menyebabkan panen gagal dan kelaparan mewabah. Namun, itu dibantah Mykola Petrovych Khmelnyk, saksi hidup Holodomor lainnya.
"Kekeringan apa? Itu semua perintah Stalin. Stalin, yang membenci Ukraina dan ingin kita semua mati. Para pencuri itu datang dan merampas apa pun yang mereka bisa ambil. Mereka anjing-anjing Stalin," kata Khmelnyk.
Pada 1933, Khmelnyk tinggal di Desa Olenivka, Distrik Mahdalyniv, Oblast Dnipropetrovsk. Ia baru berusia 10 tahun. "Orang-orang makan kulit pohon dan ranting. Hampir semua anjing dan kucing habis dimakan saat musim dingin. Setiap hari, mayat baru ditemukan di tepi jalan," tutur dia.
Genosida?
Ukraina tak hanya kebetulan jadi korban program kholkoz. Dalam "Holodomor, the Ukrainian Holocaust?" yang terbit di Studia Politica: Romanian Political Science Review pada 2011, Alexandra Ilie menulis Stalin memang mengincar Ukraina.
Pada masa itu, Ukraina dikenal dekat dengan Polandia, musuh Uni Soviet. Stalin, kata Ilie, khawatir Ukraina bakal memihak negara-negara Barat jika konflik pecah. Apalagi, kelompok-kelompok pengusung gerakan nasionalisme mulai muncul di negara tersebut.
"Kebangkitan budaya, ekonomi, dan kehidupan politik di Ukraina bikin Stalin takut Rusia kehilangan pengaruhnya. Ini menjelaskan kenapa ia ingin ada Rusiafikasi di Ukraina meskipun harga yang harus dibayar ialah pembantaian massal," jelas Ilie.
Motif lainnya terkait ekonomi. Dengan 80% populasinya bekerja sebagai petani, Ukraina kala itu dikenal sebagai keranjang roti Eropa. Vladimir Lenin, pendahulu Stalin, bahkan menyebut sumber daya agrikultur Ukraina penting bagi keutuhan Uni Soviet.
Seiring dengan program kolektivisasi, menurut Ilie, Stalin juga menggelar "pembersihan" kaum intelektual di Ukraina. "Pada 1935, setidaknya ada sekitar 80% tokoh-tokoh intelektual Ukraina yang dibunuh atas perintah Stalin," tulis dia.
Setidaknya ada 3,7 juta orang yang mati karena kelaparan di Ukraina. Itu sekitar 13-20% populasi. Setelah Holodomor reda, Stalin menggelar program depopulasi dengan mengimpor ribuan keluarga dari Rusia, Belarusia, dan sejumlah negara Uni Soviet. Pada akhir 1933, setidaknya ada 117 ribu penghuni baru Ukraina yang direlokasi Stalin.
Meskipun sebagian arsip mengenai kebrutalan Holodomor sudah terungkap, hingga kini peristiwa tersebut tidak masuk kategori genosida versi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sejak 2016, hanya 16 negara yang mengakui bencana kemanusiaan bikinan Stalin itu sebagai genosida.
Hari-hari ini, sebagian wilayah Ukraina kembali berada dalam cengkeraman Rusia. Mau tak mau, Holodomor dikenang lagi. Presiden Rusia Vladimir Putin dan diktator Stalin pun mulai dibanding-bandingkan.
"Sebagaimana bukti kejahatan perang Rusia terungkap satu per satu, penggunaan terminologi genosida bergema dengan Holodomor, taktik Stalin untuk membuat rakyat Ukraina kelaparan," ujar Joseph Giglio dalam salah satu opini di The Patriot Ledger, belum lama ini.