Kelompok pejuang hak asasi manusia, Human Rights Watch (HRW), pada Rabu (21/4) mengeluarkan pernyataan yang mendesak ASEAN untuk menarik undangannya kepada pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing.
"ASEAN harus segera menarik undangannya kepada Jenderal Min Aung Hlaing untuk menghadiri KTT mendatang," tutur HRW dalam pernyataan resmi mereka.
KTT ASEAN yang akan berlangsung pada Sabtu (24/4) di Jakarta, Indonesia, akan membahas krisis di Myanmar.
HRW menilai, dengan mengundang Min Aung Hlaing, ASEAN memberikan legitimasi kepada Dewan Administrasi Negara milik junta atas pemerintah Myanmar yang dipilih secara demokratis.
Pemerintahan sipil Myanmar digulingkan oleh militer dalam kudeta pada 1 Februari. Sebelum dan sejak kudeta, Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa telah memberlakukan sanksi keuangan dan perjalanan pada Min Aung Hlaing karena keterlibatannya dalam pelanggaran berat hak asasi manusia sebagai panglima militer.
"Min Aung Hlaing, yang menghadapi sanksi internasional atas perannya dalam kekejaman militer dan tindakan keras brutal terhadap pengunjuk rasa prodemokrasi, seharusnya tidak disambut pada pertemuan antar pemerintah untuk mengatasi krisis yang dia ciptakan," kata Direktur Asia HRW Brad Adams.
Lebih lanjut, Adams menegaskan bahwa ASEAN seharusnya mengambil kesempatan ini untuk menjatuhkan sanksi ekonomi yang ditargetkan kepada para pemimpin junta dan bisnis yang mendanai junta.
Dia menambahkan, para negara anggota ASEAN juga semestinya menekan junta untuk membebaskan tahanan politik, mengakhiri pelanggaran, dan memulihkan pemerintah negara yang terpilih secara demokratis.
Pada 8 November 2020, sebagian besar pemilih di Myanmar memberikan suara kepada partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, untuk menduduki kursi parlemen nasional. NLD mengamankan 83% kursi yang diperebutkan.
Namun, militer Myanmar Tatmadaw, mengklaim bahwa pemilu tersebut diwarnai oleh penipuan besar-besaran tetapi tidak menghasilkan bukti yang dapat dipercaya untuk mendukung tuduhan itu.
Organisasi pemantau pemilu domestik dan internasional menganggap pemilu tersebut kredibel dan menolak klaim tak berdasar dari Tatmadaw.
Para jenderal Myanmar menolak untuk menerima kekalahan besar-besaran dalam pemilu dan kemudian pada 1 Februari, hari di mana parlemen baru akan duduk untuk pertama kalinya, militer menangkap dan menahan Presiden Win Myint dan Suu Kyi, bersama dengan sejumlah menteri lainnya yang merupakan anggota NLD, anggota parlemen, dan pejabat daerah.
HRW menyatakan bahwa pasukan keamanan negara secara sewenang-wenang menangkap banyak pejabat NLD lokal, setidaknya dua di antaranya telah disiksa hingga meninggal dalam penahanan.
"Malaysia dan Indonesia telah secara terbuka menyatakan keprihatinannya tentang kudeta tersebut, dan Singapura serta Filipina telah mendesak pasukan keamanan Myanmar untuk menahan diri," jelas pernyataan HRW. "Namun, ASEAN sebagai sebuah kelompok sejauh ini baru meminta semua pihak untuk menahan diri dari kekerasan dan mendorong dialog konstruktif," papar HRW
Menurut HRW, seruan ASEAN mengabaikan kenyataan bahwa kekerasan sangat banyak dilakukan oleh pasukan keamanan negara terhadap pengunjuk rasa damai.
Protes nasional yang sedang berlangsung yang diorganisir oleh Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM) telah menunjukkan penolakan yang meluas terhadap pemerintahan militer, yang telah memerintah negara itu selama hampir 60 tahun terakhir.
"Tanggapan junta terhadap protes yang sebagian besar damai semakin brutal. Sejak kudeta, pasukan keamanan telah membunuh lebih dari 700 orang, termasuk setidaknya 45 anak-anak dan menahan sekitar 3.200 aktivis, jurnalis, pegawai negeri, dan politikus. Ratusan orang telah hilang secara paksa, yang mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan," tutur HRW lebih lanjut.
Dalam pernyataan yang sama, Adams mengatakan bahwa ASEAN harus memainkan peran konstruktif dalam menyelesaikan krisis Myanmar dan bukan memberikan panggung kepada jenderal yang bertanggung jawab atas krisis itu.
"ASEAN harus menjelaskan bahwa mereka mendukung pemerintah Myanmar yang terpilih secara demokratis dan akan menuntut pertanggungjawaban dari Min Aung Hlaing serta para pemimpin junta lainnya yang bertanggung jawab atas kematian ratusan orang yang memprotes demokrasi," ujar dia.