Huawei ogah bidik Apple untuk membalas sanksi AS
Huawei menjadi bagian penting dalam relasi China dan Amerika Serikat yang masih diwarnai ketegangan. Pada 17 Mei 2019, Washington memasukkan raksasa teknologi yang bermarkas di Shenzhen itu dalam daftar hitam atas tuduhan membantu Beijing melakukan spionase.
Akses Huawei ke perangkat lunak dan komponen pabrikan AS yang diperlukan untuk membuat produk-produknya diputus. Larangan ini melumpuhkan penyedia peralatan jaringan terbesar dan vendor ponsel pintar nomor dua di dunia itu, tepat saat mereka bersiap untuk berada di garis depan industri teknologi global.
Larangan tersebut berdampak pada produsen chip dari Amerika hingga Eropa, mengganggu peluncuran nirkabel 5G secara global, merusak standar yang disebut-sebut sebagai dasar segalanya, mulai dari mobil otonom hingga bedah robotik.
Pendiri dan Kepala Eksekutif Huawei Ren Zhengfei mengakui larangan AS akan menyurutkan kinerja perusahaan selama dua tahun terakhir, yang telah susah payah melampaui Ericsson AB dan Nokia Oyj. Meski demikian, Ren menyuarakan optimisme dengan mengatakan bahwa pihaknya akan meningkatkan pasokan chip sendiri atau mencari alternatif untuk tetap unggul di pasar ponsel pintar dan 5G.
Sejak bertahun-tahun, Huawei sudah merancang chip sendiri, yang sekarang digunakan di ponsel-ponsel mereka. Bahkan perusahaan itu juga telah mengembangkan sistem operasi sendiri untuk menjalankan ponsel dan server.
Ren menekankan, yang menjadi pertanyaan saat ini adalah seberapa cepat Huawei dapat meningkatkan upaya penggantian internal tersebut.
"Itu bergantung pada seberapa cepat teknisi kami dapat memperbaiki pesawat ... Tidak peduli bahan apa yang mereka gunakan, baik itu logam, kain atau kertas, tujuannya adalah untuk menjaga pesawat tetap mengudara," sebut Ren.
Kegagalan dapat berujung pada rusaknya bisnis konsumen yang berkembang pesat. Bahkan dapat membunuh layanan cloud mereka.
Fakta bahwa Huawei berada menjadi target AS telah memaksa Ren turun gunung untuk menyelamatkan perusahaan senilai US$100 miliar. Miliarder berusia 74 tahun, yang sebelumnya asing dengan media, muncul tepatnya pascapenangkapan putrinya yang juga direktur keuangan Huawei, Meng Wanzhou.
Meng Wanzhou ditangkap sebagai bagian dari penyelidikan yang lebih luas terhadap Huawei. Dan sejak kemunculannya, Ren telah menjadi tokoh sentral dalam konflik AS-China.
Pada Januari, Ren pernah mengatakan, ketika raksasa-raksasa ekonomi dunia berperang untuk mendominasi, tidak ada yang akan bertahan. Menurutnya, perusahaannya hanya biji wijen di antara dua kekuatan besar.
Huawei disebut telah mengantisipasi kemungkinan serangan AS sejak pertengahan 2018, ketika sanksi serupa mengancam akan menenggelamkan saingannya, ZTE Corp. Huawei dikabarkan telah menimbun cukup banyak chip dan komponen penting lainnya demi menjaga bisnisnya tetap berjalan, setidaknya selama tiga bulan.
"Kami telah membuat beberapa chip yang sangat bagus," kata Ren, sosok yang dihormati di negara asalnya karena kesuksesannya membangun Huawei. "Mampu tumbuh di lingkungan pertempuran yang sangat hebat, itu mencerminkan betapa hebatnya kita."
Bagian dari kesepakatan dagang China-AS
Pekan lalu, Presiden Donald Trump mengatakan bahwa Huawei dapat menjadi bagian dari kesepakatan dagang AS dan China. Tapi Ren menepisnya dengan menyebutkan dia bukan seorang politikus.
"Itu lelucon besar. Bagaimana kami terkait dengan perdagangan China-AS?," ujar Ren.
Beijing sendiri bukan tanpa opsi. Beberapa berspekulasi China mungkin dapat membalas serangan ke Huawei dengan membidik perusahaan-perusahaan terbesar AS. Analis Goldman Sachs memperkirakan, Apple Inc. dapat kehilangan nyaris sepertiga keuntungannya jika China melarang produk-produk berlogo apel itu di pasar mereka.
Namun, Ren keberatan dengan langkah semacam itu. "Pertama, itu tidak akan terjadi. Dan kedua, bila itu terjadi, saya akan jadi yang pertama memprotesnya," tegas Ren. "Apple adalah guru saya, mereka memimpin. Sebagai murid, kenapa saya harus melawan guru saya? Tidak akan pernah."
Ren menertawakan premis yang telah lama digaungkan AS lewat sejumlah perusahaannya, yakni Huawei melakukan pencurian kekayaan intelektual yang telah membantu mengantarkan mereka pada kesuksesannya hari ini.
"AS bahkan tidak punya teknologi-teknologi seperti itu. Kami berada di depan mereka. Jika kami di belakang, maka Trump tidak perlu menyerang kami dengan keras," kata Ren.
Bagaimanapun, munculnya Ren yang terakhir kali berbicara dengan media asing pada 2015 ke muka publik dinilai menggarisbawahi kedalaman serangan terhadap Huawei, simbol terbesar kekuatan teknologi China yang berkembang.
Ren membantah kabar bahwa perusahaannya terikat dengan Partai Komunis China, meski dia menyatakan kesetiaannya pada badan yang berkuasa di negara itu.
Hari ini, Huawei menghasilkan lebih banyak penjualan dibanding raksasa internet, Alibaba Group Holding Ltd dan Tencent Holdings Ltd. Pada tahun 2018, Huawei menyusul Apple dalam penjualan ponsel pintar, sebuah kemenangan yang meningkatkan kredensial teknologinya.
Ren menekankan pada akhirnya, Huawei akan melakukan apapun untuk bertahan hidup. Pihaknya akan mengabaikan kebisingan sambil menjalankan bisnisnya sebaik mungkin.
"AS tidak pernah membeli produk dari kami," ujar Ren. "Bahkan jika AS ingin membeli produk kami di masa depan, saya mungkin tidak menjualnya kepada mereka. Tidak perlu bernegosiasi."
Laporan perusahaan pada 2018 menunjukkan bahwa Ren memiliki 1,14% saham Huawei, memberinya kekayaan bersih US$2 miliar. (Reuters dan Bloomberg)