Mahkamah Pidana Internasional (ICC) membuka penyelidikan awal terhadap dugaan kejahatan yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis minoritas muslim Rohingya.
Langkah tersebut membuka jalan ke penyelidikan penuh terhadap penindasan militer Myanmar yang telah menyebabkan ribuan orang tewas dan lebih dari 700.000 lainnya mengungsi.
Pada Selasa (18/9), jaksa Penuntut ICC Fatou Bensouda mengatakan bahwa dia telah memutuskan untuk melakukan pemeriksaan awal secara penuh terkait situasi yang dihadapi etnis Rohingya.
Bensouda mengatakan penyelidikan awal tersebut dapat mengarah pada investigasi resmi ICC yang bisa fokus pada sejumlah dugaan tindakan koersif yang mungkin menyebabkan pemindahan paksa muslim Rohingya. Dia menyebut bahwa tindakan yang dilakukan militer Myanmar sebagai "perampasan hak-hak dasar, pembunuhan, kekerasan seksual, penghilangan paksa, perusakan dan penjarahan."
Pengadilan yang berbasis di Den Haag juga akan mempertimbangkan apakah penganiayaan atau tindakan tidak manusiawi lainnya berperan dalam penderitaan warga Rohingya.
Meskipun Myanmar tidak menandatangani Statuta Roma ICC, para hakim ICC telah menggarisbawahi bahwa pengadilan masih memiliki yuridiksi atas dakwaan kejahatan terhadap Rohingya, sebab Bangladesh sebagai negara utama penampung para pengungsi Rohingya merupakan anggota ICC.
Pada Selasa kemarin, penyelidik PBB merilis laporan setebal 444 halaman yang merinci dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap warga Rohingya.
"Sulit untuk memahami tingkat kejahatan mereka, militer Myanmar telah menunjukkan pengabaian total atas kehidupan sipil," ujar Marzuki Darusman, Kepala Misi Pencarian Fakta PBB untuk Myanmar kepada Dewan HAM PBB.
Laporan itu dikecam oleh Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun. Menurutnya, laporan tersebut terkesan berpihak dan cacat hukum.
Bulan lalu, Myanmar juga menolak rekomendasi penyelidik PBB yang menyarankan bahwa para tokoh militer Myanmar harus diinvestigasi atas tindakan genosida.
Militer Myanmar membantah pihaknya mendalangi krisis Rohingya. Namun, kelompok-kelompok pemantau HAM menyebut bantahan tersebut sebagai upaya menutupi kesalahan.
Bagi Myanmar, warga Rohingya adalah imigran ilegal yang menghadirkan ancaman terhadap keamanan dan identitas sebuah negara yang didominasi penganut Buddha. Akibatnya, Rohingya telah menghadapi beberapa dekade diskriminasi dan ditolak kewarganegaraannya.
Operasi militer di Rakhine, rumah bagi warga Rohingya, terjadi tahun lalu setelah kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) melancarkan serangan ke sejumlah pos polisi. Ini dinilai sebagai momen puncak krisis Rohingya yang memicu pengungsian besar-besaran ke Bangladesh. (BBC)