Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, meminta Uni Eropa (UE) memperlakukan minyak kelapa sawit secara adil.
"Permintaan Indonesia kepada Uni Eropa untuk memperlakukan minyak kelapa sawit secara adil adalah permintaan yang wajar," tegasnya saat Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN-Uni Eropa ke-23 yang diselenggarakan secara virtual, Selasa (1/12). "Indonesia tidak mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar pembangunan ekonomi."
Jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya yang menggunakan lahan sebesar 278 juta hektare (ha), Retno menuturkan, luas perkebunan sawit hanya 17 juta ha. Pemanfaatan lahan sawit pun diklaim memiliki hasil yang efektif dibandingkan minyak nabati lainnya.
Dia melanjutkan, Asia Tenggara merupakan penghasil minyak sawit terbesar di dunia dengan kontribusi 89% produksi secara global. Minyak sawit juga disebut memegang peran penting dalam meraih Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Lebih lanjut, Retno menuturkan, industri tersebut telah menyediakan 26 juta lapangan pekerjaan di kawasan. Lebih dari 40% perkebunan sawit dikelola petani kecil di ASEAN.
Sedangkan di Indonesia, industri yang bernilai U $19 miliar ini menekan angka kemiskinan sebesar 10 juta dan berkontribusi terhadap devisa sebesar US$23 miliar pada 2019.
Komisi Uni Eropa pada Maret 2019 meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) atas Renewable Energy Directive (RED II). Dalam dokumen tersebut disimpulkan, sawit mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global. Ini mendorong UE untuk menghapus secara bertahap penggunaan sawit hingga 0% pada 2030.
Retno menyebut, Indonesia menekankan pemulihan ekonomi pascapandemi dalam konteks perlindungan lingkungan hidup menjadi kepentingan dan komitmen bersama.
Untuk meningkatkan pemahaman bersama dan menjembatani kebijakan yang lebih baik serta rasa percaya terhadap industri kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, Uni Eropa-ASEAN membentuk Joint Working Group (JWG). JWG akan membahas minyak nabati dalam konteks berimbang dengan kelapa sawit.
"Saya menyambut baik rencana penyelenggaraan pertemuan pertama JWG tersebut pada Januari 2021," ujar Retno dalam keterangan tertulis Kemlu.
Indonesia menekankan, kemitraan ASEAN dan Uni Eropa ke depannya perlu terus menjunjung prinsip saling menguntungkan, setara, dan nondiskriminatif bagi kedua pihak agar dapat membangun peningkatan kemitraan.