Direktur Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri RI Santo Darmosumarto yakin bahwa Indonesia dapat memainkan peran dalam mencapai perdamaian di Semenanjung Korea dengan menyediakan platform dialog bagi Korea Selatan dan Korea Utara.
"Dua KTT Amerika Serikat-Korea Utara berlangsung di Asia Tenggara, berarti mereka memandang kawasan ini sebagai tempat yang aman bagi untuk bertemu," jelas Santo dalam "Indonesia-Korea Conference 2019" di The Energy Building, Jakarta, pada Rabu (18/9).
Walaupun beberapa pihak memandang hal tersebut sepele, Santo menilai memberikan tempat bagi dua pihak yang berselisih untuk berdialog merupakan bentuk kontribusi ASEAN.
"Indonesia akan selalu mencari kesempatan untuk menyediakan platform berdialog, baik melalui ASEAN maupun Indonesia sendiri," ungkap dia.
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menilai bahwa peran Indonesia akan sangat terbatas. Menurut dia, pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, merupakan pihak yang memegang kunci perdamaian Semenanjung Korea.
"Kim Jong-un memegang kendali penuh atas proses perdamaian yang sedang berlangsung," tutur dia.
Meski begitu, mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI itu menekankan bahwa Indonesia tetap dapat mengambil bagian dalam mendorong perdamaian di Semenanjung Korea karena sejarah baik yang dimiliki Indonesia-Korea Utara.
Santo menjelaskan bahwa Indonesia merupakan satu di antara sekelompok kecil negara yang memiliki kedutaan besar di Pyongyang. Dia menegaskan, Indonesia ingin perdamaian abadi antara Korea Selatan-Korea Utara terwujud.
"Indonesia berharap, reunifikasi antara dua negara itu akan menciptakan stabilitas di Semenanjung Korea," tambah Santo.
Dalam kesempatan yang sama, pakar dari Hangdong University Park Won-gon mengatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi untuk mendorong perdamaian di Semenanjung Korea. Menurutnya, Kim Jong-un memiliki pandangan positif terhadap Indonesia.
Senada dengan Park Won-gon, perwakilan dari think tank Korean Institute for National Unification, Lee Sang-sin, menuturkan bahwa meski peran Indonesia tidak besar, hal itu akan membawa perubahan nyata.
"Baik Korea Utara maupun Korea Selatan merasa nyaman memiliki hubungan dengan Indonesia, tidak banyak negara dapat melakukan ini," ujar dia.
Terkait reunifikasi, Lee Sang-sin menilai hal tersebut sudah tidak menjadi prioritas utama pemerintah Korea Selatan.
"Banyak yang berpendapat, kenapa harus reunifikasi jika bisa hidup berdampingan secara damai? Studi lembaga kami memperlihatkan bahwa generasi muda di Korea Selatan lebih menginginkan koeksistensi daripada reunifikasi dengan Korea Utara," tutur Lee Sang-sin.