close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
 Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Alphyanto Ruddyard dalam diskusi
icon caption
Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Alphyanto Ruddyard dalam diskusi "Global Challanges Faced by the UN Security Council: Perspectives of Poland and Indonesia" di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Selasa (9/4). Twitter/@DGMul
Dunia
Rabu, 10 April 2019 09:45

Indonesia: Unilateralisme jadi tantangan utama DK PBB

Indonesia memulai tugasnya sebagai salah satu dari 10 negara anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020.
swipe

Sejak Januari, Indonesia memulai tugasnya sebagai salah satu dari 10 negara anggota tidak tetap (elected 10/E10) Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020.

Ini merupakan kali keempat Indonesia dipercaya sebagai anggota tidak tetap DK PBB, setelah sebelumnya pernah menjabat pada periode 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008.

Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian Alphyanto Ruddyard menilai bahwa dibandingkan tiga masa jabatan sebelumnya, kondisi, lingkungan, serta dinamika DK PBB mengalami banyak perubahan dan melahirkan tantangan baru.

Salah satu tantangan baru, menurut Febrian, adalah melemahnya multilateralisme dan menguatnya unilateralisme.

"Saya pikir perlu adanya upaya untuk mempromosikan solidaritas di antara E10," jelasnya dalam diskusi "Global Challanges Faced by the UN Security Council: Perspectives of Poland and Indonesia" di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Selasa (9/4).

Menurutnya, penting untuk melestarikan, menerapkan, dan merevitalisasi komitmen anggota DK PBB terkait prinsip multilateralisme.

Febrian menilai, yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah kurangnya suara untuk menolak unilateralisme di DK PBB.

"Tindakan berprinsip unilateral tentu tidak baik, tetapi menurut saya, kurangnya suara untuk menolak tindakan itu justru lebih berbahaya. Itu dapat merusak kredibilitas pekerjaan yang kita lakukan," ujarnya.

Dia menegaskan bahwa setiap keputusan yang diambil DK PBB seharusnya dalam koridor dan sejalan dengan prinsip multilateralisme.

Terlebih lagi, Febrian melihat ada semakin banyak perpecahan di antara para negara anggota DK PBB.

"Perpecahan menjadi lebih terlihat, cara mengukurnya pun sangat mudah. Jika ada konflik atau krisis berkembang dan DK PBB tidak bisa berbuat apa-apa, berarti itu tanda adanya perpecahan di dalam badan tersebut," jelasnya.

Menurutnya, perpecahan tersebut mengakar dari kurangnya kepercayaan antaranggota DK PBB.

Selain itu, tantangan selanjutnya yang dihadapi di DK PBB adalah adanya pengawasan dari masyarakat dalam negeri.

"Dulu publik dalam negeri tidak sepeduli ini. Keputusan yang dicapai DK PBB akan diterima. Sekarang tidak lagi demikian, kesadaran terhadap politik luar negeri semakin meningkat," kata dia.

Dia menilai hal ini memberi dampak positif karena keputusan pemerintah kini harus mencerminkan minat dan kepentingan masyarakatnya.

"Tantangan tersebut muncul karena berkembangnya media sosial dan kesadaran publik. Secara positif, itu memaksa pemerintah untuk mengambil kebijakan yang inklusif dan menyangkut kepentingan banyak pihak," lanjutnya.

Jika tantangan tersebut tidak ditangani dengan benar, Febrian menilai bahwa itu akan berdampak buruk bagi metode kerja DK PBB. 

Perlunya reformasi

Febrian menyebut bahwa DK PBB harus mengalami reformasi yang mengubah dan membarui sistem kerja mereka.

"Reformasi DK PBB itu suatu keharusan karena sistem yang ada sudah tidak relevan lagi untuk digunakan dalam menangani situasi dan masalah pada masa sekarang," ungkapnya. "Saya tahu jalannya tidak mudah, tapi saya tetap optimis."

Sebelumnya, Febrian memaparkan bahwa sidang Majelis Umum PBB pada 2008 memutuskan, reformasi DK PBB harus mencakup lima persoalan utama.

Pertama, kategori keanggotaan terkait apakah lima negara anggota permanen (permanent 5/P5) akan ditambah atau dipangkas.

Kedua, perihal hak veto pun perlu dibahas dalam reformasi DK PBB, terkait apakah hak veto akan tetap berlaku atau dihapuskan.

"Posisi Indonesia jelas, kami ingin agar adanya pengaturan atau regulasi soal penggunaan hak veto," tegasnya.

Menurut Febrian, diperlukan regulasi agar P5 DK PBB tidak dapat menggunakan hak veto mereka dalam menangani kasus tertentu seperti persoalan kejahatan kemanusiaan, pelanggaran berat atas HAM, dan genosida.

Selanjutnya, dia mengatakan bahwa hal ketiga yang perlu dibahas dalam reformasi DK PBB adalah persoalan perwakilan regional. Persoalan itu terkait berapa banyak negara anggota DK PBB yang akan mewakili setiap kawasan.

Jumlah keseluruhan anggota DK PBB menjadi isu keempat yang perlu disinggung dalam reformasi. Febrian menuturkan bila jumlah anggotanya terlalu banyak, akan lebih susah untuk mencapai konsensus dan mengurangi efisiensi pekerjaan.

"Saya pikir dengan 15 negara anggota seperti sekarang saja sudah sulit untuk mencapai keputusan. Bisakah Anda bayangkan jika ada 40 anggota di DK PBB? Kita tidak akan bergerak maju," kata dia.

Kelima, Indonesia menilai bahwa metode kerja DK PBB, khususnya koordinasi dengan Majelis Umum PBB, juga perlu direformasi.

"Lima masalah utama ini harus dinegosiasikan dalam satu paket yang sama. Tidak bisa hanya mau reformasi bagi poin ketiga, misalnya. Harus menjadi satu paket lengkap," ucap Febrian.

img
Valerie Dante
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan