Ingin pulang, oposisi Kamboja minta bantuan PM Thailand
Sejumlah pemimpin Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP), oposisi pemerintah Kamboja, berencana untuk mengakhiri pengasingan mereka dan pulang ke Phnom Penh pada Sabtu (9/11).
Enam bulan lalu, komite CNRP sepakat memutuskan bahwa kepemimpinan partai akan kembali ke Kamboja dengan alasan untuk menyelamatkan demokrasi negara itu yang terancam.
Dalam konferensi pers pada Rabu (6/11), Wakil Ketua CNRP Mu Sochua mempublikasikan surat salah satu pendiri CNRP yang terasing, Sam Rainsy, yang ditujukan kepada Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-ocha.
"Dia meminta PM Chan-ocha untuk mengizinkannya pulang ke Kamboja melalui Thailand," tutur Mu di Hotel JS Luwansa, Jakarta.
Rainsy meminta bantuan PM Chan-ocha untuk mengizinkannya mendarat di Bandara Internasional Suvarnabhumi pada Jumat (8/11) dan kemudian menyeberang ke Kamboja melalui perbatasan darat. Rainsy diketahui akan datang dengan penerbangan Thai Airways TG931.
Mu menyatakan, para pemimpin CNRP telah memilih untuk pulang ke Kamboja melalui Bangkok dengan harapan bahwa Thailand sebagai Ketua ASEAN akan mendukung perjuangan demokrasi di Kamboja.
"Kami berharap Thailand akan memberikan izin dan membantu mengatasi kondisi demokrasi yang sedang terancam di Kamboja dan di Asia Tenggara," tutur dia.
Hingga Rabu pagi, Rainsy belum menerima tanggapan dari pemerintah Thailand.
Thailand, lanjutnya, telah menjadi rumah bagi lebih dari dua juta pekerja migran Kamboja yang telah berkontribusi bagi perekonomian Negeri Gajah Putih.
Selain itu, Mu menyatakan bahwa di masa lampau, Thailand telah memberikan perlindungan bagi ribuan pengungsi dari Kamboja yang lari dari genosida dan konflik bersenjata.
Mu menyebut, Rainsy menegaskan siap menghadapi risiko dipenjara demi kembali ke rumah untuk memulihkan demokrasi dan mewujudkan perdamaian jangka panjang bagi Kamboja.
"Kembali ke Kamboja bukanlah revolusi atau kudeta, kami datang dengan niat baik. Proses pemulangan pun transparan," jelas Mu. "CNRP memiliki hak untuk pulang dan berada bersama rakyat Kamboja lainnya."
Dia menjelaskan bahwa para pemimpin CNRP akan kembali pada 9 November, bertepatan dengan peringatan 66 tahun kemerdekaan Kamboja dari penjajahan Prancis.
"Kami telah diasingkan selama dua tahun dan sudah lama mempersiapkan untuk pulang. Kami meyakini bahwa rakyat Kamboja ingin kami kembali ke rumah," ungkap dia.
Ketika ditanya apa rencana oposisi jika Thailand menolak permintaan Rainsy, Mu menegaskan bahwa pihaknya telah berjanji akan pulang pada 9 November dan akan berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkan janji itu.
Reuters melaporkan bahwa pemerintah Perdana Menteri Kamboja Hun Sen telah mengerahkan pasukan di perbatasan negaranya sebagai tanggapan atas pengumuman kepulangan Rainsy.
Rainsy melarikan diri ke Prancis pada 2015 setelah dijatuhi hukuman pencemaran nama baik di mana dia diperintahkan untuk membayar US$1 juta sebagai kompensasi. Dia juga menghadapi hukuman penjara lima tahun dalam kasus terpisah.
Mu mendesak komunitas internasional untuk menaruh perhatian pada kondisi hak asasi manusia di Kamboja, khususnya terkait apa yang dia sebut sebagai penangkapan ilegal para tokoh oposisi.
"Tadi malam, markas besar CNRP digerebek oleh polisi dan tanpa surat perintah penangkapan, mereka menahan tujuh orang yang saat itu berada di sana. Kami khawatir akan keselamatan mereka," kata Mu.
Dia mengatakan bahwa CNRP tidak melihat keperluan untuk menempatkan para tokoh oposisi di balik jeruji besi atau menyambut kepulangan mereka pada 9 November dengan pengamanan militer yang berat.
"Kami ingin menghindari terjadinya kekerasan dan pertumpahan darah. Kami akan pulang sebagai warga Kamboja yang ingin berunding dengan pemerintah," jelas dia.
Konferensi pers pada Rabu sempat mengalami keterlambatan karena Duta Besar Kamboja untuk Indonesia Hor Nam Bora menginterupsi untuk menghentikan jalannya acara. Di hadapan awak media, dia menegaskan bahwa Mu merupakan buron pemerintah Kamboja yang telah dinyatakan sebagai kriminal.
"Indonesia memang negara paling demokratis di ASEAN tetapi juga ada aturan hukum yang harus diikuti. Apa yang Mu sampaikan kepada Anda merupakan penentangan terhadap demokrasi Kamboja dan hanya akan berdampak negatif," tegas Dubes Hor.
Dia menyatakan bahwa CNRP, yang dia sebut egois, merupakan partai ilegal karena telah dibubarkan oleh pemerintah.
Malaysia tahan dua pembangkang Kamboja
Reuters melaporkan, pada Senin (4/11) malam, pihak berwenang Malaysia menahan dua aktivis oposisi Kamboja saat mereka sedang menunggu penerbangan ke Thailand.
Sejumlah kelompok HAM menuduh pihak berwenang di Malaysia, Vietnam, Kamboja dan Thailand menahan para kritikus pemerintahan Kamboja dan mengirim mereka kembali ke negara asalnya.
Dua warga Kamboja yang ditangkap di Malaysia awalnya akan dideportasi pada Selasa (5/11) sore. Namun, perwakilan Komisi HAM Malaysia Jerald Joseph mengatakan bahwa Kementerian Dalam Negeri Malaysia dan Departemen Imigrasi menarik keputusan itu setelah proses banding.
"Saat ini kami sedang berusaha mengunjungi mereka di tahanan serta menentukan status mereka. Kami senang karena kementerian memilih untuk tidak mendeportasi mereka," kata Jerald.
Jerald menyebut Komisi HAM tidak tahu atas dasar apa perintah pendeportasian awalnya dikeluarkan.
Wakil Direktur Human Rights Watch (HRW) untuk Asia Phil Robertson menuturkan, kedua tahanan tersebut merupakan anggota CNRP.
Amnesty International mengatakan pendeportasian dua warga Kamboja tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM yang serius.
"Kami mendesak agar pihak berwenang Malaysia segera membebaskan dua aktivis oposisi dan memastikan mereka tidak dideportasi kembali ke Kamboja," jelas kelompok itu dalam pernyataannya.
Kamboja telah menangkap sedikitnya 48 tokoh oposisi pada 2019 atas tuduhan berencana untuk menggulingkan pemerintahan PM Hun Sen.