Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Abbas Mousavi pada Minggu (2/2) mengatakan, Arab Saudi telah mencegah delegasi Iran menghadiri pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Jeddah pada Senin (3/2). Pertemuan tersebut dijadwalkan akan membahas proposal perdamaian Timur Tengah yang diumumkan Presiden Donald Trump.
Mousavi menyebut, pemerintah Arab Saudi menolak untuk mengeluarkan visa bagi para delegasi Iran padahal mereka diundang oleh Sekretaris Jenderal OKI Yusuf Bin Ahmed Al Uthaymeen.
"Pemerintah Arab Saudi telah mencegah partisipasi delegasi Iran untuk membahas proposal perdamaian Timur Tengah milik Trump di markas besar OKI," tutur Mousavi kepada kantor berita IRNA.
Dia menambahkan bahwa Iran telah mengajukan keluhan ke OKI dan menuduh Arab Saudi menyalahgunakan posisinya sebagai tuan rumah bagi markas organisasi itu.
Menurut Mousavi, langkah Riyadh menghalangi OKI menjalani agenda utamanya. Dia juga meragukan kelayakan Arab Saudi sebagai tuan rumah dari markas organisasi tersebut.
Didirikan pada 1969, OKI yang memiliki 57 negara anggota dari empat benua yang berbeda merupakan organisasi antarpemerintah terbesar kedua setelah PBB.
Trump meluncurkan proposal perdamaian Timur Tengah yang telah lama ditunggu di Washington pekan lalu. Rancangan itu akan memungkinkan Israel menganeksasi seluruh pemukiman Yahudi di Tepi Barat, langkah yang dianggap ilegal oleh Palestina dan sebagian besar masyarakat internasional.
Para pejabat Iran mengecam rancangan Trump, menyebutnya sebagai rencana yang tidak memiliki peluang untuk berhasil. Palestina pun menolak proposal yang digembar-gemborkan Trump sebagai "kesepakatan abad ini" tersebut, mengatakan bahwa rancangan itu sangat menguntungkan Israel dan akan menyangkal hak Palestina untuk merdeka.
PBB juga menolak rancangan milik Trump. Mereka menyatakan, proposal tersebut bukan berdasarkan pedoman PBB dan lebih menunjukkan interpretasi pribadi Trump atas solusi dua negara.
Usai rapat darurat pada Sabtu (2/2), Liga Arab sepakat menolak rencana tersebut, menggambarkannya sebagai rancangan yang tidak memenuhi aspirasi dan hak rakyat Palestina. (Reuters, Haarezt, dan Middle East Monitor)