Duta Besar Iran untuk Indonesia Valiollah Mohammadi menegaskan bahwa Teheran akan konsisten mengurangi komitmen terhadap kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) jika negara-negara Eropa tidak mencari solusi untuk meringankan sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat.
Pada 2018, AS menarik diri secara unilateral dari kesepakatan yang bertujuan mengekang ambisi nuklir Iran tersebut.
"Setelah satu tahun penarikan diri AS, Iran mengumumkan sudah saatnya untuk mengurangi komitmen kami terhadap JCPOA. Kami memberi waktu 60 hari untuk negara lainnya yang tergabung dalam kesepakatan untuk bertindak dan mengatasi persoalan yang dihadapi," tutur Dubes Mohammadi dalam acara perpisahannya di kediamannya di Menteng, Jakarta, Jumat (26/7).
Dubes Mohammadi memaparkan bahwa Iran telah melakukan dua tahap pengurangan komitmen JCPOA.
Pertama, Iran menyatakan telah menimbun stok uranium yang diperkaya melebihi ketentuan JCPOA. Kedua, Teheran juga memperkaya uranium melebihi batas 3,67% yang disepakati bersama.
"Kami tidak akan patuh hingga kepentingan kami dipenuhi. Kalau komitmen negara-negara lain yang tergabung JCPOA terpenuhi, kami akan kembali ke ketentuan yang tercantum di kesepakatan tersebut," jelas Dubes Mohammadi.
Selain Iran dan AS, China, Prancis, Jerman, Rusia, serta Inggris menjadi pihak yang terlibat dalam JCPOA.
Dubes Mohammadi menegaskan bahwa hubungan Iran dengan Barat, khususnya Eropa, tetap berjalan dengan baik dan tidak berada di titik rawan. Menurutnya, hanya hubungan Iran dengan AS saja yang sedang bermasalah.
"Kami sampaikan kepada AS, kalau mereka kembali berkomitmen kepada kesepakatan nuklir 2015, mereka dapat bergabung kembali dengan komite JCPOA dan negosiasi dapat berlanjut," ungkapnya.
Perselisihan dengan Inggris
Dubes Mohammadi menyampaikan bahwa persoalan Iran dengan Inggris hanya berkaitan dengan penyitaan tanker di Teluk. Pada awal Juli, Inggris menyita tanker minyak Iran di perairan Gibraltar. Menurut Mohammadi, Inggris menuduh tanker tersebut mengangkut minyak menuju kilang di Suriah.
Inggris pun menyita kapal itu dengan dugaan telah melanggar sanksi yang Uni Eropa jatuhkan terhadap Suriah.
"Dapat kami sampaikan bahwa tanker minyak kami, Grace 1, adalah supertanker. Jadi, tidak ada pelabuhan mana pun di Suriah yang mampu menampung tanker sebesar itu," jelasnya. "Terlebih lagi, Iran tidak memiliki kewajiban untuk mematuhi sanksi Uni Eropa terhadap Suriah."
Mohammadi menilai bahwa Inggris menyita tanker minyak itu dengan kekerasan dan penuh paksa. Padahal, lanjutnya, seharusnya hal itu dapat dikomunikasikan secara lebih bersahabat.
Dia mengklaim AS merupakan pihak yang membuat kebijakan-kebijakan Inggris terhadap Iran menjadi lebih agresif.
"Setelah tanker kami disita Inggris, Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton senang dan mengucapkan selamat kepada Inggris. Dari situ dapat dilihat pihak mana yang bertanggung jawab atas kebijakan Inggris yang belakangan ini menjadi sesat," kata dia.
Kemudian pada 19 Juli, Iran menyita tanker minyak Inggris, Stena Impero. Penyitaan dilakukan oleh Pengawal Revolusi Iran (IRGC) di Teluk.
Menurut Dubes Mohammadi, itu adalah insiden biasa. Tanker Inggris tersebut, menurutnya, disita karena melakukan serangkaian tindakan yang melanggar peraturan.
"Pertama, tanker Inggris itu menabrak kapal pelaut Iran. Kedua, tanker tersebut mematikan radarnya dan melewati jalur yang salah, mereka juga menyebabkan pencemaran air di kawasan tersebut," jelasnya.
Mohammadi menilai, AS terlihat lebih ramai memanas-manaskan situasi terkait perselisihan penyitaan tanker Iran-Inggris dibanding dengan Inggris sendiri.
"Tentu terlihat AS hanya ingin meningkatkan dan memelihara agar ketegangan terus tinggi. Mereka hendak membangun koalisi militer untuk melawan Iran," tuturnya.
Koalisi tersebut merujuk pada pernyataan Ketua Gabungan Kepala Staf AS Jenderal Joseph Dunford yang pada awal Juli menyatakan Washington ingin membentuk koalisi militer multinasional demi melindungi perairan di sekitar Iran dan Yaman.
Dunford mengatakan dia ingin memastikan kebebasan navigasi di wilayah itu, yang merupakan rute perdagangan penting.
"Ide pembuatan koalisi militer itu pun tidak didukung Uni Eropa. Blok itu justru ingin membuat mekanisme untuk mengatasi ketegangan tinggi di kawasan," ungkap Dubes Mohammadi.