Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif pada Kamis (19/3) menegaskan bahwa sanksi Amerika Serikat membuat negaranya kesulitan melawan pandemi coronavirus jenis baru.
"Sebagian besar dari bahaya yang dihadapi Iran adalah karena sanksi yang tidak adil yang diberlakukan pemerintah AS," kata Zarif dalam sebuah pesan video yang disebarluaskan Kedutaan Besar Iran di Jakarta.
Menlu Zarif mengatakan bahwa Iran adalah salah satu negara yang paling terpukul oleh coronavirus jenis baru. Negeri Para Mullah mendeteksi 18.407 kasus positif dengan 1.284 kematian.
"Iran, saat ini, adalah negara yang paling banyak dijatuhi sanksi dalam sejarah," klaim dia.
Gesekan antara Iran dan AS meningkat drastis sejak 2018, ketika Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan nuklir 2015 (JCPOA) dan menerapkan kembali sejumlah sanksi yang melumpuhkan ekonomi Iran.
Teranyar, pada Selasa (17/3), Reuters melaporkan bahwa Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyatakan telah memasukkan sembilan entitas yang berbasis di Afrika Selatan, Hong Kong, dan China, serta tiga individu Iran dalam daftar hitam karena terlibat dalam perdagangan petrokimia Iran.
Pompeo menegaskan, Washington akan mempertahankan tekanan maksimum dalam menghambat kemampuan Teheran mengekspor minyak.
Secara terpisah, pada hari yang sama Kementerian Perdagangan AS mengumumkan akan menambah enam orang, termasuk lima ilmuwan nuklir Iran, ke dalam daftar entitas AS. Mereka disebut membantu program nuklir Iran, program nuklir dan rudal Pakistan, dan upaya modernisasi militer Rusia.
Dilansir dari BBC, pemulihan kembali sanksi AS pada 2018 sebagian besar berdampak pada sektor energi, perkapalan, dan keuangan Iran. Sanksi-sanksi itu menyebabkan investasi asing mengering dan menekan ekspor minyak.
Pada November 2018, CNN melaporkan bahwa AS secara resmi menerapkan kembali semua sanksi yang telah dicabut saat Washington masih terikat dalam JCPOA. Kementerian Keuangan AS merilis daftar 700 entitas, termasuk individu, lembaga keuangan, maskapai penerbangan, dan sektor energi Iran, sebagai bagian dari pihak yang dikenakan sanksi.
Sanksi-sanksi AS juga melarang perusahaan AS berdagang dengan Iran dan dengan perusahaan asing atau negara yang berurusan dengan Iran.
Kemudian pada Juni 2019, Trump menjatuhkan sanksi kepada Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Ali Khamenei diikuti dengan sanksi terhadap Menlu Zarif pada Juli 2019.
Zarif mengkritik sanksi AS, menyebutnya bertentangan dengan keputusan PBB. Dia mengatakan bahwa sanksi ekonomi yang diterapkan pemerintahan Donald Trump melumpuhkan perdagangan dan bahkan membuat masyarakat Iran sulit mengakses sumber daya yang negara itu miliki.
"Sumber daya itu dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan warga kami, termasuk kebutuhan kesehatan," jelas dia.
Menlu Zarif menuturkan, bahkan di tengah-tengah pandemi coronavirus jenis baru, pemerintah AS menolak untuk mengangkat sanksi yang mereka jatuhkan terhadap Iran.
"Mereka menolak untuk menghapus sanksi yang melanggar hukum tersebut sehingga sangat sulit bagi kami untuk membeli obat-obatan dan peralatan medis," tutur Zarif.
Selain itu, dia juga mengkritik perusahaan dan negara yang secara resmi menentang sanksi AS, tetapi memilih untuk mematuhinya.
"Mungkin mereka berharap dapat menghindari amarah AS di masa depan," lanjut dia.
Menlu Zarif menekankan bahwa perlu kerja sama yang lebih baik untuk menghadapi Covid-19. Dia mengecam pihak-pihak yang bertindak melawan multilateralisme, kerja sama internasional, dan bertindak di atas hukum yang berlaku.
Dia meyakini bahwa Iran dapat mengatasi tantangan coronavirus jenis baru dan menjadi komunitas yang lebih kuat.
"Saya dorong agar kita, sebagai manusia, mengadopsi pendekatan yang lebih menggunakan rasa empati dan saling menghormati," ujar Zarif. "Jika kita ingin membuat dunia menjadi lebih baik, kita perlu mengambil kesempatan untuk menempa jalan baru."