Israel dan Sudan sepakat bergerak ke arah normalisasi hubungan untuk pertama kalinya. Hal tersebut diungkapkan oleh sejumlah pejabat Israel pada Senin (3/1), setelah pemimpin kedua negara bertatap muka di Uganda.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dilaporkan terlibat pembicaraan selama dua jam dengan Abdel Fattah al-burhan, kepala dewan kedaulatan Sudan, di Kota Entebbe.
"Telah disepakati untuk memulai kerja sama yang mengarah ke normalisasi hubungan antara kedua negara," sebut sebuah pernyataan Israel.
Menteri Informasi dan juru bicara pemerintah Sudan Faisal Salih menuturkan kepada Reuters bahwa dia tidak mendapat kabar soal pertemuan tersebut dan belum ada pembahasan normalisasi hubungan dengan Israel di kabinet.
"Para pejabat akan menunggu klarifikasi sekembalinya Burhan," kata dia.
Menyusul penggulingan Omar al-Bashir pada April 2019, kalangan militer dan sipil Sudan sepakat untuk berbagi kekuasaan selama masa transisi yang berlangsung tiga tahun lebih.
Selama 21 bulan pertama, negara itu akan diperintah Burhan dan 18 bulan berikutnya oleh seorang warga sipil.
Normalisasi hubungan dengan Sudan, lokasi di mana pada 1967 negara-negara Arab berkumpul untuk merilis sikap bersama "Three No's" yaitu tidak ada pengakuan atas Israel, tidak ada perdamaian dengan Israel dan tidak ada negosiasi dengan Israel, akan memungkinkan Netanyahu memoles capaian pemerintahannya sebelum pemilu Israel pada 2 Maret.
Netanyahu dapat melontarkan janji mendeportasi orang-orang Sudan yang merupakan sekitar seperlima dari pekerja ilegal di Israel, langkah yang didukung oleh banyak penyokongnya.
Para migran asal Sudan selama ini berargumen bahwa mereka tidak dapat dideportasi karena mereka bepergian ke negara musuh.
"Netanyahu yakin bahwa Sudan bergerak ke arah baru dan positif," ungkap pernyataan Israel.
Dalam pernyataan itu disebutkan pula bahwa pemimpin Sudan berniat membantu negaranya melalui proses modernisasi dengan menghapusnya dari isolasi dan "menempatkannya di peta dunia".
Kunjungan Burhan dan normalisasi hubungan dengan Israel kemungkinan akan menjadi kontroversi di Sudan sendiri dan negara-negara Arab, terutama di tengah upaya Netanyahu mempromosikan proposal perdamaian Timur Tengah milik Donald Trump yang telah ditolak mentah-mentah oleh Palestina.
Dilansir kantor berita WAFA, pejabat senior Palestina Saeb Erekat menyebut pertemuan Burhan- Netanyahu sebagai penikaman dari belakang terhadap rakyat Palestina dan walkout terang-terangan atas prakarsa Inisiatif Perdamaian Arab.
Israel sebelumnya menganggap Sudan sebagai ancaman keamanan karena mereka mencurigai Iran menggunakan Sudan sebagai jalur untuk menyelundupkan amunisi ke Jalur Gaza.
Tetapi menurut sejumlah pejabat Israel, sejak Bashir digulingkan, Khartoum telah menjauhkan diri dari Iran dan tidak lagi menjadi ancaman seperti itu.
Dewan Kedaulatan Sudan pada Minggu mengatakan bahwa Amerika Serikat mengundang Burhan untuk berkunjung ke Washington.
Sudan saat ini tengah berupaya agar dihapus dari daftar hitam negara-negara yang dicap sebagai sponsor terorisme oleh AS. Masuk ke daftar tersebut berimbas pada terhambatnya bantuan keuangan internasional dan aktivitas komersial yang sangat dibutuhkan Sudan.
Sebelumnya, pada Senin, PM Netanyahu mengadakan pembicaraan dengan Presiden Uganda Yoweri Museveni. Uganda disebut tengah mempelajari kemungkinan untuk membuka kedutaan di Yerusalem.