Pemerintah Israel pada Rabu (1/9) mengatakan bahwa rencana Amerika Serikat untuk membuka kembali konsulatnya di Yerusalem, demi membangun hubungan diplomatik dengan Palestina, sebagai ide yang buruk.
Sebelumnya, pemerintahan mantan Presiden Donald Trump mengisyaratkan dukungan untuk klaim Israel atas Yerusalem sebagai ibu kotanya dengan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke sana.
Langkah itu adalah salah satu dari beberapa gerakan yang membuat marah Palestina, yang menginginkan Yerusalem Timur sebagai ibu kota negaranya.
Presiden Joe Biden telah berjanji untuk memulihkan hubungan dengan Palestina, mendukung solusi dua negara dan bergerak maju dengan membuka kembali konsulat.
"Kami pikir itu ide yang buruk," kata Menteri Luar Negeri Israel Yair Lapid dalam sebuah konferensi pers ketika ditanya tentang pembukaan kembali kedutaan. "Yerusalem adalah ibu kota berdaulat Israel dan oleh karena itu kami pikir itu bukan ide yang bagus."
Lebih lanjut, Lapid menuturkan bahwa, "Israel tahu bahwa pemerintahan Biden memiliki cara berbeda dalam melihat situasi ini, tetapi karena itu terjadi di Israel, kami yakin mereka mendengarkan kami dengan sangat hati-hati."
Ketika diminta berkomentar, Wasel Abu Youssef, seorang pejabat dari Palestine Liberation Organization, mengatakan bahwa Israel berusaha mempertahankan status quo dan memblokir solusi politik apa pun.
Israel menganggap seluruh Yerusalem sebagai ibu kota yang tidak terbagi, sebuah status yang tidak diakui secara internasional.
Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, seorang nasionalis di atas koalisi lintas-partisan, menentang kenegaraan Palestina.
Pembukaan kembali konsulat AS dinilai akan meresahkan pemerintah Bennett, yang mengakhiri masa jabatan perdana menteri jangka panjang Benjamin Netanyahu pada Juni.
"Kami memiliki struktur pemerintah yang menarik namun rapuh dan kami pikir ini mungkin membuat pemerintah kami tidak stabil dan saya tidak berpikir pemerintah AS menginginkan ini terjadi," lanjut Menlu Lapid.