close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Rombongan dengan hampir tujuh ribu migran dari Amerika Tengah berjalan ke Tapachula dari Ciudad Hidalgo saat menuju Amerika Serikat, di Frontera Hidalgo, Meksiko, pada 21 Oktober 2018. ANTARA FOTO/REUTERS/Adrees Latif
icon caption
Rombongan dengan hampir tujuh ribu migran dari Amerika Tengah berjalan ke Tapachula dari Ciudad Hidalgo saat menuju Amerika Serikat, di Frontera Hidalgo, Meksiko, pada 21 Oktober 2018. ANTARA FOTO/REUTERS/Adrees Latif
Dunia
Selasa, 15 Januari 2019 16:53

Kafilah migran baru di Honduras jadi amunisi Trump serang Demokrat?

Karavan migran baru di Honduras memulai perjalanannya menuju perbatasan AS-Meksiko pada Selasa (15/1) pagi waktu setempat.
swipe

Kafilah migran baru terbentuk di Honduras. Bagi Donald Trump, mereka bisa menjadi amunisi baru dalam pertarungannya dengan Kongres atas pendanaan sebesar US$5,7 miliar untuk dinding perbatasan dengan Meksiko.

Perselisihan itu telah memicu penutupan pemerintahan atau government shutdown.

"Ada karavan besar lain yang saat ini terbentuk di Honduras. Kami mencoba untuk menghentikannya. Sejauh ini itu yang terbesar dari yang pernah kami saksikan," tutur Trump pada Kamis (10/1). "Dan drone tidak akan menghentikan mereka, demikian pula dengan sensor. Anda tahu apa yang dapat menghentikan mereka? Sebuah dinding yang bagus dan kuat."

Terlepas dari pernyataan Trump, tidak ada yang tahu berapa banyak orang yang akan memulai perjalanannya pada Selasa (15/1), atau berapa banyak lagi yang dapat bergabung ketika mereka melintasi Guatemala, mencapai Meksiko selatan dan menuju perbatasan AS.

Tidak jelas pula siapa yang merencanakan karavan baru ini.

Héctor Romero (37), salah satu yang bergabung dengan karavan mengatakan, "Saya tidak punya keberanian sebelumnya, dan kali ini saya melakukannya."

Ayah empat anak yang telah bercerai itu membawa serta putrinya yang berusia 12 tahun. Dia yakin, membawa buah hatinya dapat meningkatkan peluang untuk lolos dari otoritas imigrasi AS.

Tantangan pertama bagi para migran mungkin datang dari pemerintahan mereka sendiri. Presiden Honduras dan Guatemala yang sangat tidak populer, di mana keduanya ternoda oleh skandal, dikabarkan sangat ingin mempertahankan dukungan dari pemerintahan Trump. Dan menghentikan karavan dapat membantu mereka mewujudkan hal tersebut.

Pada Kamis lalu, Dubes sementara AS untuk Honduras Heide B. Fulton melakukan perjalanan ke perbatasan dengan Guatemala untuk bertemu langsung dengan para migran.

"Jangan biarkan diri Anda dibodohi," kata Fulton. "Jangan menginvestasikan waktu dan uang Anda dalam perjalanan yang ditakdirkan untuk gagal."

Di Meksiko, pemerintah baru, yang dipimpin oleh presiden sayap kiri Andrés Manuel López Obrador, yang mulai menjabat pada 1 Desember, mengatakan akan menangani para migran dengan lebih manusiawi dibanding pemerintahan sebelumnya.

"Visi kami adalah para migran bukanlah penjahat, terlebih lagi ancaman bagi keamanan Meksiko atau AS," tegas Menteri Dalam Negeri Meksiko Olga Sánchez Cordero pekan lalu dalam pidatonya di hadapan para diplomat Meksiko seraya menjanjikan penghentian deportasi besar-besaran.

Sánchez Cordero memaparkan, lebih dari 300.000 warga Amerika Tengah memasuki Meksiko tahun lalu, sebagian dari mereka melakukannya secara ilegal dan diperkirakan 80% di antaranya pergi menuju perbatasan AS. 

Lebih lanjut dia menuturkan bahwa para migran di karavan baru yang memasuki negaranya melalui jalur resmi dan mendaftar akan diberikan visa tingga dan bekerja di Meksiko atau izin untuk bepergian di bawah pengawasan otoritas migrasi menuju perbatasan AS. Namun, mereka yang menyeberang ke Meksiko secara ilegal akan dideportasi. 

"Kami tidak akan memberikan izin masuk kepada siapapun yang tidak tertib dan mematuhi hukum Meksiko," imbuhnya.

Menurut aktivis, bepergian dalam karavan memang menawarkan keamanan bagi para migran. 

"Namun, ukuran karavan baru-baru ini tidak terkendali," ungkap Irineo Mujica, anggota Pueblo Sin Fronteras kelompok transnasional yang menemani karavan sebelumnya di Meksiko. Mujica tidak membantu karavan yang baru.

Ketika karavan baru bersiap untuk pergi, pengalaman karavan terakhir dinilai memandu respons pemerintah dan orang-orang di sepanjang rute yang mereka tempuh.

Karavan sebelumnya dikisahkan menyeberang Sungai Suchiate yang menandai perbatasan Guatemala dan Meksiko, menyusuri jalanan yang dibanjiri manusia, dijejalkan dalam truk, dan mengubah alun-alun pusat kota provinsi di Meksiko menjadi tempat perkemahan yang berantakan.

Ketika karavan terakhir, yang jumlahnya diperkirakan nyaris 6000 orang mencapai Tijuana, mereka dihadapkan pada pagar tinggi dan waktu yang sangat lama untuk mendapatkan suaka ke Negeri Paman Sam. Tempat penampungan migran meluber dan kondisinya dengan cepat memburuk. Beberapa di antaranya memilih menyerah.

Sementara di kampung halamannya di Honduras, coba bagi karavan sebelumnya bukan penghalang untuk bergabung dengan karavan baru. 

"Mayoritas dari mereka yang berangkat dengan karavan pada Oktober lalu tidak dideportasi. Jadi itu mengirim pesan kembali ke negara asal, dan orang-orang mengatakan, 'Mari kita pergi juga karena mereka tidak akan mendeportasi kita'," cerita Suster Lidia de Suazo, koordinator perawatan pastoral bagi para migran di keuskupan agung Katolik Roma di ibu kota Honduras, Tegucigalpa.

Miroslava Cerpas, koordinator migrasi di Center for Research and Promotion of Human Rights di Tegucigalpa, mengatakan, "Kami menjelaskan bahayanya kepada mereka. Tidak peduli apa yang akan terjadi, mereka akan pergi. Banyak yang tidak tahu ke mana mereka pergi tetapi mereka tahu apa yang mereka tinggalkan."

Beberapa migran di Tijuana mempertimbangkan untuk pergi ke selatan untuk bergabung dengan karavan baru dan menemani mereka yang melakukan perjalanan untuk pertama kalinya. Omar Rivera (39) seorang pekerja konstruksi dari El Salvador, adalah salah satunya.

"Banyak orang datang," katanya ketika dia bersiap untuk naik bus menuju ke selatan, "Dan mereka membutuhkan bantuan kita."

Para migran rela menempuh perjalanan jauh yang dipenuhi mara bahaya untuk keluar dari kemiskinan dan kekerasan di negara asalnya. (The New York Times)

img
Khairisa Ferida
Reporter
img
Khairisa Ferida
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan