Hampir enam tahun Malala Yousafafzai (20) menerima serangan brutal Taliban yang mengakibatkan wajahnya rusak. Kini, peraih Nobel Perdamaian itu memutuskan untuk mengalahkan ketakutan dan traumanya dengan kembali ke Pakistan.
Malala tiba di Bandara Internasional Benazir Bhutto pada Kamis (29/3) dengan pengawalan ketat aparat keamanan. Kabar kedatangannya menjadi kabar utama media di Pakistan. Banyak yang menganggap Malala adalah pahlawan. Namun, tak sedikit orang menganggap Malala adalah pengkhianat yang harus dihabisi.
Sejak kecil, Malala mengajak anak-anak untuk menulis di media daring tentang intimidasi yang dilakukan kelompok Taliban Pakistan di Lembah Swat. Pada 2012, saat Malala berusia 14 tahun, seorang anggota Taliban menembak ia dan teman-temannya yang berada di bus sekolah di Mingora, Lembah Swat. Peluru itu menembus kepala dan leher Malala sehingga kondisinya kritis. Saat itu, Malala langsung diterbangkan ke rumah sakit militer dan mengalami koma. Hingga akhirnya dia mendapatkan perawatan intensif di Inggris.
Seminggu usai menjalani operasi di Rumah Sakit Ratu Elizabeth, Birmingham, Inggris, Malala kembali bangkit untuk menyerukan perlawanan kepada Taliban. Kelompok teror Taliban pun langsung mengancam akan membunuh Malala.
Semenjak itu, Malala menjadi pusat perhatian dunia. Dia menciptakan gelombang bagi semua orang untuk menentang kekejaman Taliban. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan kampanye untuk para gadis bernama, “I am Malala”. Bahkan, mantan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menempatkan Malala sebagai utusan khusus pendidikan global. Dan 10 November disebut dengan hari Malala, untuk memperingati perjuangan ia dan 32 gadis sepertinya yang tidak bersekolah.
Malala pun mendirikan Malala Fund. Dana yang terkumpul digunakan untuk memberikan bantuan pendidikan bagi anak perempuan di Pakistan, Afghanistan, Nigeria, Kenya, dan Yordania. Pada 2014, Malala mendapatkan Nobel Perdamaian bersama Kailash Satyarthi atas perjuangannya membela hak-hak anak.
Tahun lalu, Malala mulai berkuliah di Universitas Oxford. Beberapa waktu lalu saat tampil di acara talk show yang dipandu David Letterman, Malala mengungkapkan kerinduan dengan gunung dan sungai di kampung halamannya. “Saya ingin pulang kampung,” ucapnya.
Keinginannya untuk mudik terwujud.
Warga lokal di Mingora menyambut kabar kedatangan Malala ke Pakistan. Mereka pun mengatakan ingin melihat Malala datang ke tanah kelahirannya yang berjarak 250 km dari Islamabad.
“Dia (Malala) datang lebih cepat. Kita akan menyambutnya. Dia adalah kebanggaan dunia,” ungkap Niaz Ahmed, teman dari ayah Malala, kepada CNN. “Semangat Malala menjadi contoh pendidikan di Swat. Dia mengalahkan kekalahannya di Swat,” ujarnya.
Kemudian, menurut Faryal Niaz, siswa berusia 16 tahun di Sekolah Model Khushal, tempat belajar Malala sebelum ditembak, Malala adalah idolanya. “Ketika banyak anak gadis seperti kita pergi ke sekolah di Swat, salah satu alasannya adalah Malala,” ungkapnya.