Evolusi Karachi: Bekas ibu kota Pakistan yang kini jadi sarang teroris
Pesawat Boeing 747-121 milik Pan America tengah transit di bandara Karachi, Pakistan, saat dibajak empat orang anggota kelompok teroris Abu Nidal, pada 5 September 1986. Berangkat dari Mumbai, India, pesawat yang mengangkut 360 penumpang itu diterbangkan untuk menuju tujuan akhir di New York, Amerika Serikat.
Selain di bandara Karachi, pesawat bernomor penerbangan Pan Am Flight 73 itu juga dijadwalkan untuk transit di Frankfurt, Jerman. Tetapi, kelompok Abu Nidal yang berbasis di Palestina itu sengaja memilih Karachi sebagai venue aksi teror mereka.
"Karena di sini (hidup) sangat mudah," kata salah satu pembajak seperti dikutip dari "Pakistan’s Beirut, Karachi: A Terror Capital in the Making" karya Wilson John yang terbit pada 2014.
Pembajakan itu berujung tragedi. Kepala pramugari pesawat ditembak di kepala oleh kelompok pembajak. Sebanyak 43 penumpang terluka dan mati sepanjang pembajakan. Teror berakhir setelah polisi melumpuhkan dan menangkap para pembajak.
Itu bukan kali pertama Karachi digunakan kelompok teroris sebagai basis menyusun dan melancarkan aksi teroris. Pada akhir dekade 1990-an, Karachi sudah mashyur sebagai sarang kelompok teroris dan para bramocorah.
Teroris-teroris "besar" pengguna Karachi semisal Ramzi Yousef dan Maulana Masood Azhar. Ramzi adalah dalang rencana pengeboman World Trade Center pada 1993 dan peledakan pesawat milik Philippine Airlines pada 1994.
Di kota itu, Ramzi diketahui mendirikan sebuah firma impor-ekspor. Firma itu merupakan kedok untuk sebuah "sekolah calon teroris." Para pelaku serangan ke Menara Kembar World Trade Center di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001 pernah diajari Ramzi di sekolah itu.
Adapun Maulana Masood Azhar merupakan pendiri Jaish-i-Muhammad (JIM), sebuah kelompok ekstremis yang berbasis di Pakistan. Pada dekade 1990-an, kelompok Azhar rutin menculik wisatawan asing di kawasan Jammu dan Kashmir, perbatasan India dan Pakistan.
Secara khusus, kelompok Azhar berjihad melawan India. Saat mendirikan JIM, Azhar punya niat merekrut sejuta gerilyawan untuk membebaskan Kashmir dari tangan India. Azhar memilih Karachi sebagai pusat rekrutmen dan target serangan.
"Keinginan Azhar disokong keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan internasional kelompok Islamis di Khartoum, Maroko, yakni untuk menjadikan Karachi sebagai pusat operasi teroris di Pakistan, Kashmir, Afghanistan, Albania-Kosovo," tulis John.
Karachi, kata John, memang tempat yang sempurna sebagai sarang para penjahat pada dekade 1980-an dan 1990-an. Kota itu penuh dengan permukiman kumuh dan rutin terjebak dalam konflik sektarian. Aparat penegak hukum tergolong lemah.
"Dengan kehadiran kaum fundamentalis sebagai rekan aliansi, kumpulan perkampungan kumuh, dan area-area 'terlarang' yang sulit diakses, labirin-labirin di Karachi adalah tempat persembunyian favorit para teroris," ujar dia.
Pada awal tahun 2000, Karachi juga jadi tempat berkumpul gerilyawan Taliban. Sejak diusir militer Amerika Serikat dari Afghanistan pasca-Tragedi 9/11, setidaknya ada sekitar 7000-8000 pejuang Taliban yang kabur dan bersembunyi di Karachi.
Selain sebagai tempat persembunyian, gerilyawan Taliban juga menggunakan Karachi sebagai tempat mencari duit untuk mendanai operasi mereka. Di Karachi, mereka membangun firma konstruksi dan transportasi sebagai sumber pendanaan.
Kehadiran beragam kelompok ekstremis di Karachi bikin kota itu gampang "meledak". Jika diakumulasi, aksi bom bunuh diri serangan teroris menewaskan hingga ratusan orang per tahun. Kontak senjata antara polisi dan kelompok bersenjata di kota itu juga rutin terjadi.
Ketua Pengadilan Tertinggi Pakistan Gulzar Ahmed bahkan sempat menyebut Karachi sebagai kota terburuk di Pakistan. Ketika itu, Ahmed menanggapi isu tewasnya seorang bocah berusia 10 tahun karena tertembus peluru dari senjata polisi dalam kontak senjata dengan perampok bersenjata.
"Tidak ada pemerintahan di kota Karachi. Di Karachi, para buronan bisa bebas keluar ke mana saja. Kita tidak protes karena pemerintah (provinsi) Sindh juga tak punya solusi," kata Ahmed sebuah wawancara dengan Dawn pada 2019.
Kekeliruan tata kota
Saat ini, Karachi tergolong salah satu kota "gagal". Hampir setiap tahun, Karachi duduk di urutan terbontot dalam survei Economist Intelligence Unit (EIU). EIU merekam standar kesejahteraan, tingkat kejahatan, kualitas infrastruktur transportasi, akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta stabilitas politik dan ekonomi sebuah kota.
Dalam survei EIU pada 2019, misalnya, Karachi berada di posisi 136 dari 140 kota yang dikaji. Karachi hanya naik satu peringkat dari tahun sebelumnya. Terkecuali di bidang pendidikan dan infrastruktur, semua aspek lainnya di Karachi yang dikaji EIU mendapat rapor merah.
Namun, Karachi sebenarnya pernah berjaya. Pada 1914, saat masih dikuasai Inggris, Karachi menjadi salah satu kota eksportir terbesar gandum bagi dunia. Saat sebuah lapangan terbang didirikan Inggris pada 1924, kota itu juga sempat menjadi pintu masuk utama penerbangan ke India.
Karachi dipilih sebagai ibu kota tatkala Pakistan memisahkan diri dari India pada 1947. Berlokasi di teluk Arab, kota seluas 3.530 kilometer persegi itu masih dipenuhi gedung-gedung bergaya Eropa klasik di sepanjang jalan arteri. Dikenal dengan kehidupan malamnya, warga setempat menjuluki Karachi sebagai "Kota Cahaya".
"Arsitektur kota lama serupa dengan kawasan kota lama di Mumbai, sebuah kota pelabuhan yang punya kemiripan dalam budaya, bahasa, dan makanan. Tetapi, demografi Karachi berubah drastis pada 1947. Hanya berselang beberapa bulan setelah partisi, 80 ribu orang tiba di Karachi dari Delhi," jelas Arif Hasan, seorang arsitek kenamaan Pakistan, dalam sebuah wawancara yang tayang di LSE pada 2016.
Gelombang migrasi berlangsung hingga 1955. Setidaknya 500 ribu orang memasuki Karachi dari segala penjuru India dan Pakistan. Kebanyakan pendatang beragama Islam dan pengguna bahasa Urdu. Warga Hindu yang pernah jadi mayoritas sebelum partisi pun tergeser menjadi kelompok minoritas.
Meskipun populasinya membeludak, menurut Hasan, Karachi tak serta merta jadi kota bermasalah. Pemerintah federal dan provinsi mampu menangani gelombang migrasi. "Mereka bisa menyuplai air, menyiapkan lahan tempat tinggal bagi pendatang, membangun sistem transportasi, dan menyambung listrik," jelas Hasan.
Persoalannya ada pada instabilitas politik. Gelombang pendatang baru menyebabkan Karachi mudah bergejolak. Pada 1953, misalnya, gelombang aksi protes mahasiswa yang disokong warga pendatang bisa membuat pemerintahan berganti hingga tiga kali.
Pada 1958, jenderal militer Muhammad Ayub Khan mengudeta pemerintahan Pakistan. Setahun berselang, Khan memutuskan memindahkan ibu kota dari Karachi, pertama ke Rawalpindi sebelum akhirnya ke Islamabad yang berlokasi di barat Pakistan.
Selain karena terlalu dekat dengan laut dan dianggap mudah diinvasi, Khan beralasan Karachi juga rentan diagitasi. Untuk menstabilkan Karachi, Khan menyusun rencana untuk mengalihkan sebagian besar warga pendatang.
Khan kemudian meminta bantuan C.A Doxiadis, seorang arsitek berkebangsaan Yunani yang juga ditugasi membangun Islamabad. Ketika itu, Doxiadis mengusulkan desain untuk membangun dua kota satelit yang berlokasi sekitar 20 kilometer dari ibu kota.
Ia menyusun rencana itu lantaran meyakini bakal ada perusahaan dan pabrik-pabrik baru yang didirikan untuk menyerap tenaga kerja di dua kota satelit tersebut. Namun, kota-kota satelit yang kini bernama resmi Landhi Korangi dan New Karachi itu ternyata lambat berkembang.
"Akhirnya orang-orang 'barbar' ini kerap kembali ke Karachi untuk bekerja. Ini menandai awal persoalan transportasi di Karachi. Ini juga mengubah sebuah kota multietnis dan multikelas menjadi sebuah kota yang tersegregasi secara etnis dan kelas. Banyak persoalan etnis dan konflik muncul akibat perencanaan Doxiadi itu," kata Hasan.
Usai memindahkan sebagian warganya, Khan juga menghancurkan permukiman-permukiman kumuh (katchi abadi) yang bermunculan di seantero Karachi. Namun, upaya itu tak membuahkan hasil. Semasa pemerintahan Khan, katchi abadi terus mereplikasi diri.
Pada awal 1990, tercatat ada sekitar 2 juta orang yang tinggal di sekitar seribu permukiman kumuh di Karachi. Sekitar dua dekade berselang, jumlah penghuni katchi abadi di Karachi melonjak menjadi 7,5 juta orang dari total populasi 15 juta orang.
Nasib Islamabad
Di luar persoalan keamanan, pemindahan ibu kota Pakistan dari Karachi juga menimbulkan beragam persoalan sosial. Menurut mantan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Karachi Moonis Ahmar, keputusan Ayub Khan bikin mayoritas warga keturunan Bengali di timur Pakistan murka.
"Hampir tidak terwakili di militer dan birokrasi, orang-orang Bengali marah karena Islamabad merupakan simbol eksploitasi sumber daya mereka. Mereka tak pernah menganggap Islamabad sebagai ibu kota Pakistan," kata Ahmar dalam "The price of shifting capital from Karachi" yang terbit di The Express Tribune pada 21 November 2021.
Untuk membangun Islamabad (bermakna kota umat Islam), Ayub Khan menggelontorkan miliaran Rupee dan memobilisasi ribuan pekerja dari timur Pakistan, termasuk di antaranya warga etnis Bengali. Berlokasi di Pothohar Plateau di utara kawasan Punjab, mayoritas infrastrukur utama Islamabad rampung dikerjakan dalam tiga tahun.
Menurut Ahmar, Islamabad tidak dibangun sebagai simbol kohesi sosial Pakistan. Ayub Khan lebih terkesan memindahkan ibu kota karena khawatir cengkeramannya terhadap kekuasaan di Pakistan mengendor jika ibu kota tetap berada di Karachi.
Islamabad, kata dia, dipilih Ayub Khan lantaran dekat dengan Rawalpindi, markas utama militer Pakistan. Dikelilingi gunung dan perbukitan, Islamabad juga lebih mudah dipertahankan jika diserbu. Dengan populasi yang terbatas, kota itu juga diharapkan bebas konflik politik.
"Tetapi, dengan mengeluarkan kebijakan itu, mereka mengesampingkan fakta bahwa Karachi dipilih sebagai ibu kota oleh bapak bangsa Quaid-e-Azam Mohammad Ali Jinnah (pendiri Pakistan). Keputusan itu diterima warga Pakistan barat dan timur," terang Ahmar.
Asa agar Islamabad jadi kota yang damai dan sejahtera, kata Ahmar, juga tidak tercapai. Lebih dari enam puluh tahun setelah resmi berdiri, Islamabad kini bernasib tak lebih baik dari Karachi. Kota itu kini rutin dikepung kelompok bersenjata dan demonstran dengan beragam tuntutannya.
Aksi demontrasi kali pertama digelar di Islamabad pada 4 Juli 1980. Selama dua hari, kelompok demonstran dari komunitas Shiah menggelar aksi duduk (sit-in) di Islamabad memprotes kewajiban membayar zakat dan ushr yang dikeluarkan pemerintah Pakistan ketika itu. Tuntutan mereka diterima.
Terinspirasi kesuksesan kaum Shiah, kelompok-kelompok lainnya menyusul. Sejak dekade 1990-an, menurut Ahmar, kelompok relijius dan faksi-faksi politik Pakistan lainnya rutin hadir di Islamabad untuk menggelar aksi protes.
"Islamabad sekarang sudah tenar dengan aksi duduk, blokade, dan pawai protes, sehingga kini timbul pertanyaan: sedari awal, apa gunanya ibu kota pindah dari Karachi?" kata Ahmar.