Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Judha Nugraha, menyatakan, pemerintah memantau dengan dekat perkembangan situasi di Hong Kong menyusul berlakunya Undang-Undang (UU) Keamanan Nasional sejak awal Juli 2020.
Regulasi tersebut dapat menghukum tindakan makar, subversi, terorisme, dan campur tangan pihak asing. Para pelaku ternacam hukuman penjara seumur hidup.
Parakritikus menilai, UU Keamanan Nasional akan mengikis kebebasan Hong Kong sebagai wilayah semiotonomi serta memengaruhi kebebasan berbicara.
"Indonesia mengakui prinsip 'one country, two system' yang mengatur hubungan antara China dan Hong Kong, sebagai negara dan sebuah wilayah administratif khusus," jelas Judha dalam pengarahan media secara virtual, Kamis (13/8).
Indonesia, sambungnya, juga menekankan pentingnya menjunjung tinggi dan menjamin pemenuhan nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).
Berdasarkan data Kemlu, terdapat lebih dari 170.000 WNI yang menetap dan bekerja di Hong Kong.
"Pemerintah Indonesia melalui KJRI Hong Kong selalu berkoordinasi dengan otoritas setempat untuk memastikan perlindungan WNI," lanjut dia.
Selain itu, KJRI Hong Kong senantiasa berkoordinasi dengan departemen ketenagakerjaan dan otoritas kesehatan Hong Kong untuk memastikan langkah-langkah pencegahan dan perlindungan, terutama terkait penyebaran coronavirus baru (Covid-19).
"KJRI Hong Kong senantiasa memberikan imbauan kepada seluruh WNI untuk selalu waspada, mengikuti peraturan yang ditetapkan otoritas setempat, menghindari kegiatan-kegiatan yang bersifat politik lokal, dan segera menghubungi KJRI jika mendapat kesulitan," tutur Judha.
Dikutip dari BBC, Kepala Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, berulang kali membela UU Keamanan Nasional. Dirinya mengklaim, kebijakan tersebut bukan malapetaka bagi Hong Kong.
Lam melanjutkan, UU tersebut justru akan memulihkan status Hong Kong sebagai salah satu kota teraman di dunia setelah dinodai kekerasan akibat gelombang protes prodemokrasi, tahun lalu.
UU Keamanan Nasional telah dikritik secara global karena dinilai merusak kebebasan Hong Kong yang dijamin di bawah prinsip "satu negara, dua sistem" yang disetujui sebagai bagian dari kembalinya koloni Inggris ke pemerintahan China pada 1997.