Pasukan keamanan Haiti terlibat baku tembak sengit dengan penyerang yang membunuh Presiden Jovenel Moise.
Polisi mengklaim telah membunuh empat "tentara bayaran" dan menangkap dua lainnya.
Direktur Jenderal Polisi Leon Charles mengatakan dalam komentar yang disiarkan televisi Rabu malam bahwa pasukan keamanan tidak akan beristirahat sampai mereka semua ditangani.
"Kami memblokir mereka dalam perjalanan saat mereka meninggalkan TKP," katanya. "Sejak itu, kami bertarung dengan mereka. Mereka (yang lain) akan dibunuh atau ditangkap," ujar Leon Charles dikutip Reuters.
Moise, seorang mantan pengusaha berusia 53 tahun yang menjabat pada 2017, ditembak mati dan istrinya, Martine Moise, terluka parah ketika pembunuh bersenjata berat menyerbu rumah pasangan itu di perbukitan di atas Port-au-Prince sekitar pukul 1 pagi kemarin waktu setempat.
Duta Besar Haiti untuk Amerika Serikat, Bocchit Edmond, mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara bahwa orang-orang bersenjata itu menyamar sebagai agen Administrasi Penegakan Narkoba AS (DEA) ketika mereka memasuki kediaman Moise yang dijaga keamanan.
Pembunuhan itu, yang menuai kecaman dari Washington dan negara-negara tetangga Amerika Latin, terjadi di tengah kerusuhan politik, gelombang kekerasan geng, dan krisis kemanusiaan yang berkembang di negara termiskin di Amerika itu.
Pemerintah mengumumkan keadaan darurat selama dua minggu untuk membantu memburu para pembunuh, yang digambarkan Edmond sebagai sekelompok "tentara bayaran asing" dan pembunuh terlatih.
Orang-orang bersenjata itu berbicara bahasa Inggris dan Spanyol, kata Perdana Menteri sementara Claude Joseph, yang mengambil alih kepemimpinan negara. Di Haiti mayoritas berbicara bahasa Prancis atau Kreol Haiti.
"Saya menyerukan ketenangan. Semuanya terkendali," kata Joseph di televisi bersama Direktur Jenderal Polisi Charles. "Tindakan barbar ini tidak akan dibiarkan begitu saja".
Ibu negara telah diterbangkan ke Florida untuk perawatan di mana dia dalam kondisi stabil, kata Joseph.
Haiti, sebuah negara berpenduduk sekitar 11 juta orang, telah berjuang untuk mencapai stabilitas sejak jatuhnya kediktatoran dinasti Duvalier pada tahun 1986, dan telah bergulat dengan serangkaian kudeta dan intervensi asing.
Presiden AS Joe Biden mengecam pembunuhan itu sebagai tindakan keji dan menyebut situasi di Haiti - yang terletak sekitar 1.125 km di lepas pantai Florida - mengkhawatirkan.
"Kami siap membantu saat kami terus bekerja untuk Haiti yang aman dan terlindungi," katanya.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, dalam panggilan telepon dengan Joseph, menyatakan komitmen Washington untuk bekerja dengan pemerintah Haiti untuk mendukung "pemerintahan yang demokratis, yang damai, dan aman," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price dalam sebuah pernyataan. (Reuters)