Korea Selatan telah mengakhiri pakta berbagi intelijen militer dengan Jepang, langkah terbaru yang menandai kemerosotan relasi dua negara tetangga.
Seoul menjelaskan bahwa langkah tersebut diambil sebagai balasan atas keputusan Tokyo yang menurunkan status perdagangannya.
Jepang memang telah lebih dulu memperketat pembatasan ekspor tiga bahan berteknologi tinggi ke Korea Selatan dan juga menyingkirkan Korea Selatan dari daftar negara-negara yang menikmati kontrol ekspor minimum atau disebut pula daftar putih.
Beberapa hari lalu, Korea Selatan sendiri telah mengeluarkan Jepang dari daftar mitra dagang tepercaya.
Merespons keputusan teranyar Korea Selatan, Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono menyebutnya sebagai penilaian yang sepenuhnya keliru di tengah situasi keamanan kawasan saat ini. Taro menekankan, pihaknya sangat memprotes langkah Korea Selatan.
Ketegangan di antara keduanya dipicu oleh peristiwa yang terjadi lebih dari 100 tahun lalu.
Korea Selatan menginginkan reparasi atas kekejaman yang dilakukan Jepang selama pendudukannya di Semenanjung Korea. Sementara Jepang menganggap persoalan tersebut telah selesai.
Tahun lalu, pengadilan Korea Selatan memerintahkan perusahaan-perusahaan Jepang untuk membayar kompensasi terhadap warga Korea Selatan atas kerja paksa semasa perang.
Mitsubishi Heavy, salah satu perusahaan yang terlibat, dilaporkan menolak untuk mematuhi perintah pengadilan. Sementara itu, dua perusahaan lain asetnya telah disita di Korea Selatan.
Isu ini juga telah memancing kemarahan masyarakat Korea Selatan, mereka memboikot barang-barang Jepang. Seorang pria bahkan menghancurkan mobilnya yang pabrikan Jepang.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo pada Kamis (22/8) menyuarakan harapannya agar dua sekutu utama AS di Asia, Jepang dan Korea Selatan, memperbaiki hubungan mereka.
"Kami kecewa melihat keputusan yang dibuat Korea Selatan tentang perjanjian berbagi informasi itu," sebut Pompeo dalam lawatannya ke Ottawa, Kanada. "Kami mendesak masing-masing pihak untuk terus melakukan dialog."
Pompeo menambahkan, "Mereka penting bagi AS. Kami berharap masing-masing dari kedua negara dapat mulai memosisikan hubungan mereka di tempat yang tepat.
Menlu AS itu mengapresiasi pertemuan Menlu Jepang dan Menlu Korea Selatan Kang Kyung-wha di Beijing pada Rabu (21/8), "Ini benar-benar penting tidak hanya dalam konteks Korea Utara, tetapi juga atas pekerjaan kita di seluruh dunia. Mereka adalah mitra dan teman baik AS dan kami berharap mereka dapat membuat kemajuan."
Konflik lama
Pada 1910, Jepang menganeksasi Korea, mengubah wilayah itu menjadi koloninya.
Ketika Perang Dunia II dimulai, puluhan ribu wanita, ada yang menyebutnya 200.000, dari seluruh Asia dikirim ke rumah pelacuran militer untuk melayani tentara Jepang.
Kebanyakan dari perempuan yang disebut "comfort women" itu berasal dari Korea. Selain mereka, ada pula jutaan pria asal Korea yang dipaksa menjadi buruh pada masa perang.
Pendudukan Jepang di Korea berakhir pada 1945 ketika mereka kalah perang.
Pada 1965, 20 tahun setelah itu, Presiden Korea Selatan Park Chung-hee setuju untuk menormalisasi hubungan kedua negara dengan imbalan ratusan juta dolar dalam bentuk pinjaman dan hibah.
Namun, bagaimanapun, isu "comfort women" tetap sensitif. Jepang meyakini bahwa perjanjian 1965 yang memulihkan hubungan diplomatik dan menyediakan lebih dari US$800 juta bantuan keuangan ke Korea Selatan, telah menyelesaikan masalah ini.
Pada 2015, kedua negara kembali menandatangani sebuah kesepakatan, di mana Jepang akan meminta maaf dan berjanji akan mengucurkan 1 miliar yen. Itu merupakan jumlah yang diminta oleh Korea Selatan untuk mendanai para korban.
"Jepang dan Korea Selatan sekarang memasuki era baru," kata PM Shinzo Abe kala itu. "Kita seharusnya tidak menyeret isu ini ke generasi berikutnya."
Tetapi para aktivis mengatakan mereka tidak diajak berkonsultasi soal kesepakatan itu, dan mereka pun menolaknya. Kemudian Presiden Moon Jae-in yang terpilih pada 2017, mendukung agar kesepakatan itu diubah.
Dengan demikian perselisihan bersejarah terus berlanjut hingga hari ini, dengan tidak ada negara yang tampaknya akan melunak. (BBC dan Yonhap)