close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi konflik antara Tiongkok dan Taiwan. Alinea.id/Firgie Saputra
icon caption
Ilustrasi konflik antara Tiongkok dan Taiwan. Alinea.id/Firgie Saputra
Dunia
Selasa, 16 November 2021 13:45

Krisis di Selat Formosa: Di balik peliknya relasi AS, China, dan Taiwan

Amerika Serikat sempat berencana meninggalkan kaum nasionalis China dalam konflik dengan pasukan komunis pimpinan Mao.
swipe

Nasib Chiang Kai-shek dan pasukannya di ujung tanduk. Setelah serangkaian kekalahan memalukan dalam pertempuran-pertemburan melawan pasukan komunis China, Chiang mulai merencanakan mundur ke Formosa (Taiwan) pada Agustus 1948. Bersama ratusan ribu prajurit dan jutaan warga China, Chiang terjebak di pulau seluas 35.801 kilometer itu.

Disokong dana besar hasil "jarahan" dari kekaisaran China dan persenjataan modern, Chiang dan kaum nasionalis China (Kuomintang) sebenarnya punya rencana untuk melancarkan serangan balik. Namun, rencana buyar setelah Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS) merilis sebuah dokumen kebijakan (white paper) pada 4 Agustus 1949. 

Dalam dokumen itu, AS menyatakan bakal menghentikan semua bantuan terhadap kaum nasionalis dalam perang sipil di Tiongkok. Kala itu, hampir seluruh China daratan sudah berada di kendali kaum komunis yang dipimpin Mao Zedong. 

"Praktis, semua orang merasa harapan untuk bisa menang melawan kaum komunis telah benar-benar lenyap," kata Chiang seperti dikutip dari "Who Lost China? Chiang Kai-shek Testifies" karya Lloyd E. Eastman yang terbit di China Quarterly pada Desember 1988. 

AS merupakan sekutu terdekat China dalam Perang Dunia ke-II. Usai perang berakhir, AS masih "bersahabat" dengan Chiang dan kaum nasionalis Tiongkok. Di lain kubu, Mao mendapat sokongan dari Uni Soviet. 

Niat AS "meninggalkan" Formosa terlihat gamblang dalam pernyataan Menlu AS Dean Acheson di depan para pewarta di National Press Club, Washington, 12 Januari 1950. Ketika itu, ia mengumumkan garis batas pertahanan AS di Pasifik Barat akan membentang dari Pulau Ryukyus, Jepang hingga Filipina. Formosa dan Semenanjung Korea dicoret. 

Namun, sikap AS berubah seratus delapan puluh derajat. Pada 27 Juni 1950 atau dua hari setelah Korea Utara menginvasi Korea Selatan, Presiden AS ketika itu, Harry S Truman merilis pernyataan mengenai situasi di Semenanjung Korea. Dalam pernyataan itu, Truman turut menyebut invasi terhadap Formosa merupakan ancaman langsung terhadap keamanan Pasifik. 

"Saya juga telah menginstruksikan kepada Armada ke-7 untuk mencegah serangan terhadap Formosa. Berbarengan dengan ini, saya juga menyerukan agar pemerintah nasionalis China di Formosa untuk menghentikan operasi laut dan udara terhadap mainland (China daratan)," kata Truman

Tak hanya berkukuh menjaga Formosa jatuh ke tangan komunis China, Truman juga saat itu menyatakan status pulau bekas koloni Jepang itu "belum ditentukan". Padahal, AS merupakan salah satu penandatangan Deklarasi Kairo, beberapa tahun sebelumnya. Deklarasi itu menetapkan Formosa dikembalikan ke China. 

Saat berbicara  di depan Kongres AS pada 19 Juli 1950, Truman menyatakan Formosa harus tetap dijaga sebagai wilayah netral yang kepemilikannya bakal diselesaikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). "Kehadiran militer untuk netralisasi dan tidak terkait persoalan politik di China," kata Truman. 

Kelak, dalam memoir yang diterbitkan jauh setelah dia mangkat, Truman mengakui mengubah pendirian Paman Sam terkait Formosa karena China dikuasai kaum komunis. "China tak hanya jatuh ke tangan yang tak bersahabat, tapi juga bahkan terang-terangan bermusuhan dengan AS," tulis Truman. 

Pada Februari 1953, AS--kala itu dipimpin Presiden Dwight D. Eisenhower--kembali merevisi kebijakan terkait Formosa. Dipicu keterlibatan aktif militer Mao dalam konflik di Semenanjung Korea, Eisenhower mencabut kebijakan denetralisasi Formosa. Dengan perubahan kebijakan itu, AS membuka peluang untuk sewaktu-waktu bergabung dengan pasukan Chiang untuk menyerang China dari Formosa. 

Keputusan itu diambil supaya China mau ikut serta dalam meja perundingan untuk mengakhiri perang di Semenanjung Korea. Tekanan AS berbuah manis. Pada Juli 1953, gencatan senjata di Semenanjung Korea ditandatangani. Meski begitu, Armada ke-7 AS tidak ditarik dari Formosa. 

"Amerika Serikat terus menentang rencana kelompok komunis China untuk membebaskan Formosa," tulis Donald H Chang dalam "American Policy Toward the Defense of Formosa and the offshore islands, 1954-1955" yang terbit pada 1971. 

Pasukan Amerika Serikat dan PBB mendarat di Incheon, Korea Selatan, pada 1950. /Foto Wikimedia Commons

Rangkaian Krisis di Selat Formosa

Setahun setelah perang Korea usai, konflik di Selat Formosa kembali memanas. Merasa mendapat dukungan dari AS, kaum nasionalis mulai mematangkan rencana untuk mengambil alih China daratan dari Mao. Di lain kubu, pasukan Mao juga tengah bersiap untuk menyeberangi Selat Formosa. 

Menyikapi kemungkinan serangan dari China terhadap Formosa, sikap AS terkesan tegas. Dalam sebuah wawancara pada 17 Agustus 1954, Eisenhower mengingatkan bahwa Armada ke-7 masih disiagakan di Formosa. "Invasi apa pun terhadap Formosa harus melewati Armada ke-7," ujar Eisenhower. 

Meski begitu, Mao tak gentar. Pada pengujung Agustus 1954, pasukan komunis China menggelar serangkaian operasi militer di pulau-pulau kecil di sekeliling Formosa. Tak seperti Formosa, pulau-pulau kecil itu tidak ada dalam "komitmen" pertahanan AS karena bukan bekas wilayah jajahan yang statusnya masih diperdebatkan. 

Selama pulau-pulau di sekeliling Formosa diserang, berulangkali utusan Chiang dikirim ke Washington untuk meminta bantuan AS. Eisenhower menolak permohonan-permohonan itu. Akan tetapi, AS sepakat menjalin kerja sama pertahanan dengan Formosa. Perjanjian itu ditandatangani pada Desember 1954.

"Jika AS melancarkan intervensi dalam perebutan pulau-pulau itu, maka negara ini secara teknis terlibat langsung dalam perang sipil di China," kata Eisenhower menjelaskan alasan AS tak mau mengerahkan Armada ke-7 ke area konflik.

Melihat AS yang "setengah hati", pasukan Mao mulai diterjunkan langsung untuk menginvasi Dachens, sebuah gugusan pulau sekitar 200 mil dari Formosa. Pada November 1954, pasukan komunis mengepung Yijiangshan, salah satu pulau di gugusan tersebut. Sekitar dua bulan berselang, Yijiangshan jatuh ke tangan pasukan Mao. 

Usai Yijiangshan takluk, barulah angkatan laut AS diterjunkan ke Dachens. Sekitar 70 kapal dan 7 aircraft carriers disiagakan. Selain untuk menyetop agresi pasukan komunis, kapal-kapal itu juga diterjunkan dalam operasi militer untuk mengevakuasi warga sipil yang terjebak di gugusan pulau itu. 

Jet tempur AS disiagakan di Pangkalan Udara Taoyuan, Formosa, September 1958. /Foto Wikimedia Commons

Dukungan terhadap Formosa juga mengalir dari publik AS. Setelah perdebatan panjang, Kongres AS akhirnya menyepakati Formosa Resolution pada pengujung Januari 1955. Dalam resolusi itu, Eisenhower diberikan kuasa penuh untuk menggerakkan pasukan militer AS dalam upaya mempertahankan Formosa dari invasi Tiongkok.

Tensi konflik di Formosa berangsur-angsur menurun setelah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat, pada pertengahan April 1955. Dalam salah satu sesi "rahasia" di konferensi itu, Menteri Luar Negeri Tiongkok Chou En Lai menyatakan tak ingin konflik di Formosa melebar. 

"Orang-orang China tak pernah punya niat untuk berperang dengan AS. Kami bersedia menyelesaikan persoalan-persoalan internasional menggunakan jalan damai," kata Chou sebagaimana dikutip dari The Asian-African conference : Bandung, Indonesia, April 1955 karya George McTurnan Kahin yang terbit pada 1956.

Pada Agustus 1955, perwakilan AS dan Tiongkok resmi bertemu dan menyepakati gencatan senjata di Formosa. Namun, gencatan senjata secara de facto sudah mulai terasa sejak Mei 1955. Ketika itu, serangan artileri dan pengeboman oleh pasukan Mao berkurang frekuensinya. Tiongkok juga melepas empat prajurit AS yang sebelumnya mereka bui. 

Usia gencatan senjata itu hanya seumur jagung. Sekira tiga tahun berselang, tepatnya pada pada 23 August 1958, pasukan komunis China menggelar serangan dadakan ke Kinmen, salah satu pulau "milik" Taiwan di Selat Formosa. Selain melepas puluhan ribu bom udara, pasukan komunis juga diterjunkan langsung ke Kinmen. 

Upaya invasi itu gagal total. Di Kinmen, bom-bom pasukan Mao tak efektif karena prajurit Chiang bersembunyi di bungker-bungker bawah tanah. Pasukan Chiang yang relatif "utuh" mampu mengusir pasukan komunis yang mendarat di Kinmen. Selain di Kinmen, serangan kaum komunis di pulau-pulau tetangga lainnya juga gagal.  

Dalam krisis itu, AS mengirimkan empat aircraft carriers, kapal-kapal perusak, cruiser, amfibi, dan sejumlah kapal selam untuk disiagakan di Selat Formosa. Pasukan AS dilengkapi bom atom berdaya ledak kecil untuk mengantisipasi serangan gelombang manusia dari pasukan komunis China, taktik yang sebelumnya dipraktikan Mao dalam Perang Korea. 

Mendapat tekanan dari Uni Soviet, Beijing mengumumkan gencatan senjata pada Oktober 1958. Pada waktu itu, Moskow khawatir konflik di Selat Formosa bakal membesar jadi perang nuklir yang menyeret Rusia. Krisis Selat Formosa jilid II itu pun berakhir dengan kemenangan kaum nasionalis. 

Dalam Mandate for Change, 1953-1956: The White House Years yang terbit pada 1963, Eisenhower mengenang peliknya menempatkan posisi AS dalam konflik di Selat Formosa. Pada konflik itu, Eisenhower menyebut Mao mengaplikasikan strategi perang gerilya dalam konteks hubungan internasional. 

"Musuh maju, kita mundur. Musuh berhenti, kita mengganggu. Musuh lelah, kita menyerang. Musuh mundur, kita kejar," tulis mantan komandan militer AS dalam Perang Dunia II itu.  

Presiden Amerika Serikat Dwight D. Eisenhower (kiri) berjalan bersama pemimpin kaum nasionalis China Chiang Kai-shek dan istrinya pada 1960. /Foto Wikimedia Commons

Strategi ambiguitas AS

Relasi antara AS, Taiwan, dan China mulai membingungkan setelah PBB memutuskan memberikan kursi keanggotaan kepada China pada 1971. Lewat keputusan yang diambil via voting itu, PBB mengakui China di bawah Mao sebagai negara yang sah. Akibat keputusan itu, Taiwan turun kasta menjadi sebatas sebuah pulau di Tiongkok. 

Meski begitu, AS baru resmi membuka hubungan diplomatis dengan China pada 1979. Berbarengan dengan itu, AS juga merilis Taiwan Relations Act (TRA) yang isi mengatur pola hubungan baru antara AS dengan Taiwan. Sesuai TRA, AS akan mempertahankan hubungan tak resmi dengan Taiwan dan bakal terus menjual persenjataan ke negara tersebut. 

Di permukaan, AS mengakui eksistensi satu China. Namun, AS tetap mengakui Taiwan sebagai entitas berdaulat di belakang layar. Itu setidaknya terungkap dari kawat rahasia yang dikirim Presiden AS Ronald Reagan ke pemerintah Taiwan pada 1982 via perwakilan AS di Taipe. 

Dalam kawat-kawat rahasia yang kemudian dikenal dengan sebutan "Six Assurance" itu, AS menegaskan sejumlah posisi, di antaranya tidak akan merevisi isi TRA, tidak akan menekan Taiwan untuk bernegosiasi dengan China, dan tidak akan menempatkan diri sebagai mediator dalam konflik antara China dan Taiwan. 

Komitmen AS terhadap kemerdekaan Taiwan kembali diuji saat Selat Formosa memanas jelang digelarnya pilpres demokratis Taiwan pertama pada 1996. Sejak rencana itu diumumkan pada 1995, Tiongkok rutin menggelar latihan militer di Selat Formosa. Secara berkala, Tiongkok juga meluncurkan misil balistik ke perairan Taiwan. 

Provokasi itu direspons Bill Clinton, Presiden AS ketika itu, dengan mengirimkan dua armada tempur ke perairan Taiwan. Demonstrasi kekuatan militer AS itu sukses: China mundur teratur dan pemilu Taiwan berjalan dengan lancar. Krisis Selat Formosa jilid III itu pun berakhir tanpa korban. 

Meskipun berulang kali gagal, China tak pernah melupakan ambisinya untuk menyatukan Taiwan dengan Tiongkok. Dalam upayanya memantik krisis terbaru, China dilaporkan berulangkali mengirimkan puluhan pesawat tempur melintasi zona pertahanan udara Taiwan, pada Oktober lalu. 

Soal meningkatnya tensi di Selat Formosa, sebagaimana para pendahulunya, Presiden AS saat ini, Joe Biden kembali mengingatkan komitmen AS untuk menjaga eksistensi pulau yang kini dihuni 23 juta orang itu. 

Dalam wawancara dengan CNN, Biden menegaskan AS siap membekingi Taiwan jika invasi Tiongkok terjadi. "Iya dan iya. Tidak perlu khawatir apakah mereka akan lebih kuat karena China, Rusia dan seluruh dunia tahu kita (AS) punya militer terkuat sepanjang sejarah," kata politikus Partai Demokrat itu. 

Meski begitu, pernyataan Biden bukan mengindikasikan perubahan sikap AS terhadap China dan Taiwan. Di atas kertas, AS masih mengakui China sebagai negara berdaulat. Paman Sam hanya sekadar merespons provokasi Tiongkok dan memburuknya hubungan antara AS dan China dalam beberapa tahun terakhir. 

"Strategi ambiguitas tetap dipertahankan. Tetapi, kerangka bagaimana strategi ini diimplementasikan mengalami perubahan karena konteks bagaimana ketiga pemain ini berinteraksi satu dengan yang lainnya juga bergeser secara substansial," kata Dean P. Chen, pengajar ilmu politik di Ramapo College of New Jersey. 


 

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan