Junta Myanmar memerintahkan pemutusan akses internet untuk malam kedua berturut-turut di tengah upaya meningkatkan tindakan keras terhadap para pengunjuk rasa antikudeta.
Militer meningkatkan upaya untuk memadamkan pemberontakan melawan perebutan kekuasaan mereka, yang membuat pemimpin sipil Aung San Suu Kyi ditahan bersama ratusan orang lainnya, termasuk anggota pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Pada Senin (15/2), pemberitaan media lokal dari Kota Mandalay menunjukkan polisi dan tentara menggunakan peluru karet untuk membubarkan pengunjuk rasa. Persatuan mahasiswa setempat mengatakan, beberapa orang terluka.
Menurut kelompok pemantau, NetBlocks, yang berbasis di Inggris, pada Selasa (16/2), pemutusan internet kembali melanda Myanmar, konektivitas turun ke 15% dari tingkat biasa.
"Myanmar berada di tengah-tengah pemadaman internet hampir total untuk malam kedua berturut-turut sejak 01.00 waktu setempat," kicaunya melalui akun Twitter @netblocks, Selasa pagi.
Para jenderal memutuskan internet selama berjam-jam sejak Senin subuh dan meningkatkan kehadiran militer di seluruh negara, termasuk mengirimkan kendaraan lapis baja di Yangon, pusat komersial negara dan kota terbesar.
Utusan PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengecam langkah itu. Pemutusan jaringan dianggap merusak prinsip inti demokrasi dan merugikan sektor-sektor utama, seperti perbankan serta meningkatkan ketegangan domestik.
Dia telah berbicara dengan wakil komandan tentara Myanmar, Soe Win, dan menyampaikan kecaman terkait situasi di negara itu.
Pada Selasa pagi, Kedutaan Besar Inggris di Myanmar mengkritik rezim militer atas serangannya terhadap jurnalis dan penerapan kembali pemutusan internet.
"Serangan terhadap kebebasan berekspresi harus dihentikan," jelas kedubes dalam pernyataan mereka.
Pemutusan internet pada Selasa adalah yang keempat sejak kudeta terjadi pada 1 Februari.
Namun, memutus konektivitas internet dan meningkatkan penangkapan tidak banyak membantu meredam perlawanan yang telah menyebabkan kerumunan besar memadati pusat kota besar dan desa-desa.
Langkah tersebut dilakukan sehari setelah pengunjuk rasa turun ke jalan yang menentang kehadiran pasukan besar di sekitar Yangon.
"Berpatroli dengan kendaraan lapis baja berarti mereka mengancam rakyat," kata Nyein Moe, salah satu pengunjuk rasa antikudeta yang melakukan demonstrasi di depan Bank Sentral, Senin.
Pada Senin sore, laporan tentang peningkatan kehadiran polisi di markas partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi menarik ribuan orang ke tempat kejadian. Mereka meneriakkan "End military dictatorship" kepada para perwira yang berjaga.
"Sekitar tujuh petugas polisi menggeledah markas kami sekitar 30 menit," kata anggota NLD, Soe Win.
Demonstrasi yang dipimpin kelompok mahasiswa di Naypyitaw berujung bentrok dengan otoritas keamanan. Polisi menangkap puluhan pengunjuk rasa muda, beberapa kemudian dibebaskan.
Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu, menyaksikan bentrokan yang menyebabkan sedikitnya enam orang terluka setelah polisi menggunakan ketapel terhadap pengunjuk rasa dan menembakkan peluru karet ke arah kerumunan.
Demonstran membalas dengan melempar batu bata, kata seorang anggota tim penyelamat yang membantu korban luka.
"Salah satu dari pengunjuk rasa bahkan membutuhkan oksigen karena dia terkena peluru karet di tulang rusuknya," kata kepala tim penyelamat, Khin Maung Tin.
Wartawan di tempat kejadian juga mengatakan polisi memukuli mereka dalam bentrokan tersebut.
Sejauh ini, lebih dari 420 orang, termasuk pegawai pemerintahan yang mogok, telah ditahan sejak kudeta.
Suu Kyi dan Presiden Win Myint diperkirakan akan diinterogasi pengadilan via konferensi video di Naypyitaw minggu ini.
Tidak ada tahanan politik yang terlihat di depan umum sejak mereka ditahan dalam penggerebekan oleh militer pada 1 Februari. (The Guardian)