Dewan militer yang bertindak sebagai pemerintah transisi Sudan menangkap sejumlah pejabat pemerintah sebelumnya dan berjanji untuk tidak membubarkan demonstrasi.
Protes berbulan-bulan di Sudan menyebabkan pelengseran dan penangkapan Presiden Omar al-Bashir pada Kamis (11/4).
Para pengunjuk rasa bersumpah akan tetap berdemonstrasi sampai ada langkah untuk bergerak ke pemerintahan sipil. Mereka melanjutkan aksi duduk di luar Kementerian Pertahanan di Khartoum.
Dalam konferensi pers pada Minggu (14/4), Juru Bicara Dewan Militer Mayor Jenderal Shams Ad-din Shanto mengatakan dewan siap untuk mengimplementasikan pemerintahan sipil yang disetujui oleh partai-partai oposisi.
"Kami tidak akan menunjuk seorang perdana menteri, partai oposisi dan rakyat yang akan memilihnya," kata dia.
Dia menyebut bahwa militer tidak akan membubarkan pengunjuk rasa dari aksi duduk mereka dengan paksa. Namun, dia meminta agar demonstran berhenti memblokade jalan-jalan raya.
"Kami juga tidak menoleransi penggunaan senjata," tambahnya.
Dewan militer mengumumkan serangkaian keputusan, termasuk penunjukan pemimpin baru bagi militer dan polisi, serta ketua baru Badan Intelijen dan Keamanan Nasional (NISS).
Selain itu, dewan militer juga akan membentuk komite-komite untuk memerangi korupsi dan menyelidiki partai yang sebelumnya berkuasa.
Mereka mengangkat semua pembatasan dan penyensoran media yang sebelumnya diterapkan di rezim Bashir.
Dewan militer pun menyatakan akan membebaskan polisi dan petugas keamanan yang ditahan akibat mendukung aksi protes.
Sedangkan untuk kebijakan luar negeri, dewan militer akan melakukan tinjauan misi diplomatik dan memberhentikan Duta Besar Sudan untuk Amerika Serikat dan Swiss.
Apa yang terjadi di Sudan?
Protes terhadap kenaikan biaya hidup dimulai pada Desember 2018, tetapi protes itu segera berkembang menjadi seruan yang lebih luas untuk menggulingkan Bashir dan pemerintahannya.
Pada Kamis, militer menahan Bashir setelah hampir 30 tahun berkuasa.
Pemimpin kudeta, Menteri Pertahanan Awad Ibn Auf, mengumumkan militer akan mengawasi periode transisi pemerintahan selama dua tahun yang nantinya akan diikuti dengan pemilu.
Auf juga memberlakukan keadaan darurat nasional selama tiga bulan ke depan.
Sehari setelah diangkat menjadi kepala dewan militer, Auf mengundurkan diri. Letnan Jenderal Abdel Fattah Abdelrahman Burhan kemudian ditunjuk sebagai pengganti Auf.
Dalam pidato yang disiarkan di stasiun televisi nasional pada Sabtu (13/4), Burhan bersumpah untuk mencabut rezim Bashir hingga ke akar-akarnya, berjanji untuk menghormati hak asasi manusia, mengakhiri penerapan jam malam, membebaskan tahanan politik, membubarkan semua pemerintah provinsi, mengadili mereka yang telah membunuh demonstran, dan menangani korupsi dalam negeri.
Namun, Asosiasi Profesional Sudan (SPA), yang telah menjadi ujung tombak demonstrasi, mengatakan tanggapan dewan militer masih belum mencapai tuntutan rakyat dan mendesak agar protes terus berlanjut.
SPA menuntut adanya restrukturisasi keamanan negara, penangkapan pejabat pemerintah yang korupsi, dan pemecatan personel militer yang bertugas pada masa pemerintahan Bashir.
Keberadaan Bashir saat ini tidak diketahui, para pemimpin kudeta hanya mengatakan dia berada di tempat yang aman.
Bashir telah didakwa atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Darfur oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Namun, dewan militer menyatakan tidak akan mengekstradisi dia.
Partai Kongres Nasional yang dikepalai oleh Bashir pada Sabtu mengecam aksi kudeta tersebut. Mereka menyebut penggulingan Bashir tidak konstitusional dan menuntut agar dewan militer membebaskan anggota partai yang dipenjara.
Mayjen Shanto mengatakan bahwa partai tersebut tidak akan memiliki bagian dalam pemerintahan sipil nanti tetapi dapat mengajukan kandidat dalam pemilu yang akan datang.