Pada Jumat (5/4), lewat surat yang ditujukan kepada Presiden Dewan Eropa Donald Tusk, Perdana Menteri Inggris Theresa May kembali meminta agar pemimpin Uni Eropa menunda tenggat Brexit yang semula ditetapkan pada 12 April menjadi 30 Juni.
May mengatakan dia kembali mencari penundaan karena sedang berupaya berkompromi dengan pemimpin oposisi dari Partai Buruh dan sedang mendesak anggota parlemen untuk bekerja sama dengannya demi mencapai konsensus.
Ini adalah kedua kalinya PM May meminta penundaan Brexit hingga 30 Juni dan seperti yang terakhir kali, permintaan itu kemungkinan akan ditolak oleh para pemimpin Uni Eropa.
Tusk justru menawarkan proposal lainnya yakni ekstensi fleksibel (flextension) hingga satu tahun. Dia mengusulkan untuk mendorong mundur tenggat Brexit satu tahun, tepatnya hingga 31 Maret 2020.
Namun, jika Inggris berhasil menyepakati draf Brexit sebelum tenggat itu, maka mereka dapat meninggalkan Uni Eropa lebih awal.
Keputusan untuk memberikan flextension bergantung pada 27 negara anggota Uni Eropa lainnya, dan belum jelas apakah mereka semua menyetujui usulan Tusk.
Prancis bersikeras jika Inggris menginginkan lebih banyak waktu, maka mereka harus menawarkan rencana konkret terkait upaya yang dapat mereka lakukan untuk mengatasi kebuntuan politik.
"Kita perlu memahami ekstensi itu. Apa gunanya?," ujar Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire. "Jika kami tidak dapat memahami alasan mengapa Inggris meminta perpanjangan waktu, kami tidak bisa memberikan jawaban positif. Tergantung pemerintah Inggris untuk memberikan jawaban atas pertanyaan kunci itu."
Itu bukan pertanda baik bagi May, yang menulis dalam suratnya bahwa rencananya adalah untuk tetap meloloskan draf Brexit miliknya dengan menggalang dukungan dan masukan dari Partai Buruh dan anggota parlemen lainnya. Ini bukanlah strategi baru dan sebelumnya terbukti strategi itu tetap gagal meloloskan draf Brexit-nya.
Penundaan lebih lama juga akan mengharuskan Inggris untuk berpartisipasi dalam pemilihan Parlemen Eropa antara 23 dan 26 Mei.
May ingin menghindari hal itu, itulah sebabnya pada awalnya dia meminta perpanjangan waktu yang singkat. Pasalnya, Pemilihan Parlemen Eropa akan menelan biaya bagi Inggris serta secara politis dipandang dapat menyulitkan May dan Partai Konservatif.
Namun, dalam suratnya, May mengakui bahwa sebagai salah satu anggota Uni Eropa, Inggris memiliki kewajiban hukum untuk berpartisipasi dalam pemilihan tersebut. Dia menjelaskan bahwa pemerintahannya sudah berjaga-jaga dan melakukan persiapan yang diperlukan.
Para pemimpin Uni Eropa terlihat jengkel atas kebimbangan May dan Inggris, dan kali ini mereka mungkin akan lebih enggan untuk memberikan perpanjangan waktu.
Menunda Brexit membuat banyak pihak dalam ketidakpastian, dan sejauh ini Inggris gagal memecahkan kebuntuan politik.
Mendapatkan lebih banyak waktu juga tidak menghilangkan kemungkinan terjadinya Brexit tanpa kesepakatan (no-deal Brexit), yang berpotensi menyebabkan gangguan besar terhadap perdagangan dan ekonomi Inggris.
Uni Eropa sebelumnya menyatakan sudah jauh lebih siap menghadapi kekacauan no-deal Brexit, tetapi perceraian yang kacau tetap berpotensi untuk menjerumuskan Benua Biru ke dalam krisis.
Para pemimpin Uni Eropa akan bertatap muka pada 10 April dalam sebuah pertemuan darurat di Brussels, Belgia.
Mereka diperkirakan akan berdebat dan berdiskusi terkait permintaan penundaan waktu May, termasuk langkah yang akan blok itu ambil jika PM Inggris berhasil menyepakati draf Brexit baru hasil rundingan dengan Partai Buruh. (Vox)