Dalam sebuah pernyataan pada Senin (14/10), Kementerian Keuangan Amerika Serikat menyatakan telah menjatuhkan sanksi kepada dua kementerian dan tiga pejabat senior pemerintah Turki. Sanksi itu merupakan tanggapan atas operasi militer Ankara di Suriah.
"Tindakan pemerintah Turki membahayakan nyawa warga sipil tidak berdosa dan mengganggu kestabilan kawasan, serta merusak upaya untuk membasmi ISIS," jelas pernyataan kemenkeu.
Berbicara kepada wartawan di Washington pada Senin malam waktu setempat, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyatakan bahwa sanksi itu sangat kuat dan akan memiliki dampak parah pada perekonomian Turki.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Presiden AS Mike Pence memperingatkan bahwa sanksi akan berlanjut dan bertambah kecuali Turki menyatakan gencatan senjata serta menghentikan agresi militernya.
"Turki harus setuju menegosiasikan penyelesaian jangka panjang dari masalah di sepanjang perbatasan antara negaranya dan Suriah," tegas Pence.
Dia mengatakan bahwa Presiden Donald Trump mengulangi pesan yang sama dalam panggilan telepon dengan Presiden Recep Tayyip Erdogan pada Senin.
Pence juga menegaskan bahwa AS tidak pernah memberi lampu hijau kepada Turki untuk menyerang Suriah.
Pemerintah AS sebelumnya menuturkan bahwa serangan Turki terhadap Suriah telah mengakibatkan banyak anggota ISIS melarikan diri dari tahanan.
Pada Senin, sejumlah negara Uni Eropa berkomitmen untuk menangguhkan ekspor senjata ke Turki. Sebagai tanggapan atas langkah itu, Turki mengatakan akan meninjau kembali kerja samanya dengan Uni Eropa karena sikap blok itu yang bias dan melanggar hukum.
Pada Minggu (13/10), otoritas Kurdi menyatakan telah menyepakati akan bekerja sama dengan pemerintah Suriah untuk merespons invasi Turki.
Turki menyatakan serangannya bertujuan untuk mendorong mundur pasukan Kurdi dari wilayah perbatasan. Sebelumnya, Erdogan menuturkan bahwa pihaknya ingin mendirikan zona aman di dalam Suriah untuk memukimkan kembali sekitar 3,6 juta pengungsi perang yang ditampung Ankara.
Mayoritas pengungsi itu bukan orang Kurdi dan kritikus memperingatkan bahwa pemukiman kembali di wilayah perbatasan dapat mengarah ke pembersihan etnis.
Aliansi baru pemerintah dengan pasukan Kurdi dipandang sebagai keuntungan bagi Presiden Suriah Bashar al-Assad. Akibat kerja sama itu, pasukannya akan kembali menduduki daerah timur laut untuk pertama kalinya sejak 2012.
Meskipun tidak setuju dengan upaya otoritas Kurdi untuk secara independen memerintah daerah tersebut, Assad tidak berupaya untuk merebut kembali wilayah itu, terutama setelah Kurdi menjadi mitra koalisi melawan ISIS bersama pasukan AS.
Terlepas dari memerangi ISIS, pasukan Kurdi menjadi penting bagi AS dalam membatasi pengaruh saingannya, Rusia dan Iran, di Suriah.
Otoritas Kurdi menyatakan bahwa untuk saat ini, pasukan Suriah tidak akan dikerahkan ke Tal Abyad dan Ras al-Ain, dua kota yang telah digempur Turki.
Media lokal mengatakan pasukan Suriah yang didukung Rusia telah dikerahkan ke Manjib yang masuk ke dalam wilayah di mana Turki ingin menciptakan zona aman.
Moskow, sekutu dekat Erdogan, mengatakan pihaknya tidak ingin ada bentrokan antara pasukan Rusia dan Turki di Suriah. Kremlin menekankan terus melakukan kontak rutin dengan pihak berwenang Turki.
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UNOCHA), lebih dari 160.000 warga sipil telah mengungsi dari rumah mereka akibat pertempuran yang dimulai pada Rabu (9/10) itu.
Setidaknya 50 warga sipil telah tewas di Suriah dan 18 lainnya tewas di kota perbatasan di Turki. Otoritas Kurdi mengonfirmasi kematian 56 personel mereka sementara Ankara menyatakan, empat tentaranya dan 16 pasukan Suriah pro-Turki tewas.
Pekan lalu, Trump tiba-tiba menarik hingga 50 tentara AS dari bagian timur laut Suriah. Langkah itu secara efektif membuka jalan bagi Turki melakukan operasi militer untuk memukul mundur pasukan Kurdi, yang mereka anggap kelompok teroris.