close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi-penambangan pasir. Foto: istockphoto.com/
icon caption
Ilustrasi-penambangan pasir. Foto: istockphoto.com/
Dunia
Jumat, 02 Juni 2023 16:50

Laporan dari 12 negara: Penambangan pasir laut libatkan mafia

Di Taiwan, aktivitas ilegal kapal pengeruk pasir laut asal China bertanggung jawab atas rusaknya daerah penangkapan ikan di Pulau Penghu.
swipe

Kekhawatiran sejumlah pihak bahwa eksploitasi dalam bentuk penambangan dan ekspor pasir laut bakal menenggelamkan pulau dan mengancam kehidupan kelompok rentan bukan hanya terjadi di Indonesia. Dampak negatif penambangan pasir setidaknya juga ditemukan di 11 negara lainnya, mulai dari Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, China, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka, hingga Kenya.

Hal itu terekam dari laporan investigasi tentang dampak penambangan pasir pada lingkungan dan komunitas, terutama perempuan dan anak di seluruh dunia, yang dilalukan oleh Environmental Reporting Collective (ERC). Ini merupakan jaringan global jurnalis yang menyelidiki kejahatan lingkungan. Laporan investigasi yang mereka luncurkan berjudul Beneath the Sands (https://www.beneaththesands.earth/).

Ada tiga temuan penting. Pertama, tim ERC menemukan bahwa penambangan pasir yang masif selain telah menyebabkan pulau-pulau kecil di Indonesia hilang, juga merusak daerah penangkapan ikan di Taiwan, Filipina, dan China. 

Di Indonesia misalnya, penambangan pasir laut oleh PT Logo Mas Utama di perairan utama Pulau Rupat dan Pulau Babi, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, memperparah kerusakan ekosistem pesisir serta abrasi di sana. 

Di Taiwan, aktivitas ilegal kapal pengeruk pasir laut asal China dituding bertanggung jawab atas rusaknya daerah penangkapan ikan di Pulau Penghu, yang mengakibatkan tangkapan ikan nelayan setempat menurun drastis hingga hampir 90%. Biro Pertanian dan Perikanan wilayah Penghu mengungkap bahwa tangkapan ikan di sana turun dari 346 metrik ton di 2018 menjadi hanya 160 metrik ton di 2021. 

"Di China, kebijakan pemerintah yang melarang nelayan beroperasi di Danau Poyang demi mengambilalih tambang pasir di sana, telah menyebabkan kerusakan daerah penangkapan ikan dan habitatnya, yang sangat serius," tulis rilis ERC, Jumat (2/6).

Sementara di Filipina, aktivitas ilegal penambang pasir laut telah merusak pesisir di Ilocos Sur. Penambangan pasir laut juga berdampak pada menurunnya hasil tangkapan ikan nelayan setempat. 

Temuan kedua, penambangan pasir di seluruh dunia melibatkan jaringan mafia yang mengelola bisnis bernilai miliaran dolar. Mafia tambang pasir ini diduga terlibat dalam aktivitas yang mengancam keselamatan jurnalis, pegiat lingkungan, dan masyarakat sipil. 

"Beberapa dari mereka dipenjara, bahkan kehilangan nyawa. Kami menemukan banyak kasus kriminal yang terkait aktor penambang pasir ini di Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam sampai India," tulis ERC.

Di Bihar, India, misalnya, mafia tambang pasir umumnya berasal dari kasta yang lebih tinggi. Mereka merampas tanah pertanian dari kasta yang lebih rendah. Aksi mereka terkadang melibatkan kontak senjata antara kelompok mafia berbeda. 

Temuan ketiga, penambangan pasir berdampak pada kelompok rentan, seperti perempuan. "Kami mewawancarai perempuan-perempuan dari Kenya, Indonesia, Kamboja, dan India. Penambangan pasir bukan hanya merusak rumah mereka, tapi juga lahan pertanian mereka dan mengancam ketahanan pangan," tulis ERC. 

Di Indonesia, jurnalis mewawancarai sekelompok ibu yang melawan perusahaan penambangan pasir di Pasar Seluma, Provinsi Bengkulu, dengan protes damai dan simbolik. Di sana, penambangan pasir laut oleh PT Flaminglevto Baktiabadi dituding mengancam ekosistem remis-kerang laut yang merupakan sumber pendapatan dan protein bagi masyarakat adat Serawai. 

"Dari semua hasil investigasi kami itu ada indikasi kuat bahwa penambangan pasir berdampak buruk pada lingkungan dan komunitas. Apalagi tidak ada aturan atau badan global yang memonitor eksploitasi pasir, yang merupakan sumber daya kedua terbanyak yang digunakan setelah air," tulis ERC.

ERC berharap temuan ini bisa menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan di tingkat regional, nasional, dan global untuk membuat peraturan yang melindungi lingkungan dan kelompok rentan dari penambangan pasir yang merusak. 

Eksploitasi dan ekspor pasri laut membetot perhatian publik setelah Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Peraturan ini ditentang banyak pihak. 

Tertuang di Pasal 2 beleid itu, tujuan pengelolaan hasil sedimentasi di laut adalah: (1) menanggulangi sedimentasi yang menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut serta kesehatan laut, dan (2) mengoptimalkan hasil sedimentasi di Laut untuk kepentingan pembangunan dan rehabilitasi ekosistem pesisir.

Sementara pada Pasal 9 dinyatakan bahwa hasil sedimentasi di laut dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan atau material sedimen lain berupa lumpur. Pasir laut dapat digunakan untuk empat hal: reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.

PP Nomor 26 Tahun 2023 yang terbit pada 15 Mei 2023 ini berbeda 180 derajat dari Keputusan Presiden RI No. 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut yang dibuat Megawati. Saat itu, Megawati menghentikan sementara ekspor pasir laut. Dua puluh tahun kemudian aturan itu diubah Presiden Jokowi.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan