Level kemitraan jadi CSP, seberapa strategis RI di mata Amerika?
Hubungan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) meningkat menjadi comprehensive strategic partnership (CSP), 13 November 2023. Ini menjadikannya sebagai negara kedua di Asia Tenggara setelah Vietnam, yang diteken pada September 2023.
"Saya senang kita telah sepakat untuk tingkatkan status kemitraan menjadi comprehensive strategic partnership," ucap Presiden Joko Widodo (Jokowi) di sela-sela pertemuan bilateral dengan Presiden AS, Joe Biden, di Gedung Putih, Washington DC.
Ia melanjutkan, CSP yang disepakati kedua negara mencakup beberapa bidang. Perdagangan, misalnya.
Jokowi menyampaikan, kedua negara perlu menciptakan pembaruan untuk meningkatkan perdagangan negara. Salah satunya melalui perpanjangan fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia.
"Ini penting bagi rantai pasok dan kurangi ketergantungan Amerika Serikat terhadap impor RRT," katanya. "Mohon dukungan Presiden Biden untuk terus dorong Kongres AS percepat pengesahan GSP."
Jokowi lalu menekankan pentingnya akses pasar yang lebih luas dan inklusif melalui Indo-Pacific Economic Framework (IPEF). Ia mau kerangka kerja sama tersebut memfasilitasi kepentingan negara berkembang, khususnya pemanfaatan subsidi hijau dari Inflation Reduction Act.
CSP juga mencakup investasi dan pembangunan. Jokowi berharap para investor "Negeri Paman Sam" turut mengucurkan modalnya untuk proyek strategis nasional (PSN) di Indonesia selain pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
"Saya ingin dorong realisasi proyek strategis. Investasi kilang petrokimia di Jawa Barat, pengembangan carbon capture storage di Laut Jawa, pengolahan nikel baterai EV (electrical vehicle) dan operasional smelter di Sulawesi Selatan dan Gresik, serta pembangunan panel dan modul surya di Batang," tuturnya.
Tak sestrategis Vietnam
Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dandy Rafitrandi, mengungkapkan, ekspor Indonesia ke AS meningkat 2 kali lipat dari 2012 hingga 2022. Namun, belum menjadikannya sebagai mitra strategis.
"Nilai perdagangan antara Indoensia dan Amerika Serikat itu mecapai US$40 miliar atau kita bisa lihat secara proporsi itu kurang dari 1% total perdagangan Amerika Serikat. Jadi, bisa kita lihat tidak signifikan sebenarnya in terms perdagangan internasional antara Indonesia dan juga Amerika Serikat," bebernya secara daring dalam kanal YouTube CSIS Indonesia, Kamis (16/11).
Nilai perdagangan Vietnam justru lebih baik. Ekspor "Negeri Naga Biru" ke AS justru meningkat 5 kali lipat pada periode sama. "Jadi, magnitude-nya sudah sangat berbeda," jelasnya.
Dandy berpendapat, ada beberapa faktor yang membuat perdagangan Vietnam dengan AS lebih prospektif daripada Indonesia. Pertama, ada perjanjian perdagangan bilateral sejak 2001 menjadi fondasi fundamental Vietnam-AS dalam membangun perdagangan dan investasi, tata kelola perdagangan internasional, dan fasilitas perdagangan yang lebih baik.
Di Indonesia, investor AS masih berpusat di sektor-sektor tradisional (primary sector), seperti migas dan pertambangan. Jauh berbeda dengan Tiongkok (China) yang cukup agresif dalam dasawarsa terakhir, di mana masuk ke ranah infrastruktur dan padat karya (manufacturing) selain primary sector.
"Sekarang sudah ada landmark-landmark investment dari Tiongkok yang bisa kita lihat sama-sama, misalnya kereta cepat Jakarta-Bandung," ujarnya. "Kalau Amerika Serikat apa, nih? Kalau Freeport, kayaknya sudah terlalu kelamaan landmark-nya."
Peneliti senior Departemen Hubungan Internasional (HI) CSIS, M. Habib, menambahkan, kurang strategisnya kemitraan ini juga dapat dilihat dari perbedaan pernyataan bersama (joint statement) dan lembar fakta (fact sheet) antara CSP Indonesia-AS dengan Vietnam-AS. Setidaknya ada 3 karakteristik yang berbeda.
Pertama, CSP Vietnam-AS lebih konkret, seperti pengembangan semikonduktor. Ia menerangkan, CSP yang ditawarkan AS kepada Vietnam memuat inisiatif mengembangkan tenaga kerja semikonduktor di Vietnam bahkan sektor publik mengucurkan pendanaan awal US$2 juta.
"Kalau kita bandingkan CSP antara Amerika Serikat dengan Indonesia dari segi semikonduktor, itu disebutkan akan melakukan comprehensive review. Jadi, tidak ada hal-hal yang relatif pratical untuk semiconductor cooperation," bebernya.
Kedua, CSP Vietnam-AS lebih spesifik dari aspek waktu. Keduanya berkomitmen membangun dialog di tingkat Kementerian Luar Negeri (Kemlu), tentang isu HAM, dan sebagainya secara rutin setiap tahun.
"CSP Amerika Serikat dan Indonesia lebih menekankan pada regular, yang artinya apa? Memang bisa lebih sering atau bahkan lebih jarang. Jadi, reguler bisa diartikan sekali dalam 2 tahun, sekali dalam 3 tahun, dan sebagainya. Jadi, tidak ada komitmen yang lebih spesifik dalam kurun waktu," urainya.
Ketiga, banyak sektor swasta AS yang mengikuti CSP dengan Vietnam daripada Indonesia. Bahkan, beberapa perusahaan, macam Microsoft dan NVIDIA, berencana merelokasi pabriknya hingga membangun pusat penelitian ke Vietnam.
Belum strategisnya Indonesia dinilai menjadi faktor tidak disambutnya permintaan AS turut berinvestasi di sektor mineral kritis, termasuk nikel. "Yang tercapai hanyalah nota kesepahaman untuk pengembangan secara teknis di sektor-sektor mineral kritis di Indonesia," katanya.
Karenanya, Habib berpendapat, CSP yang disahkan Indonesia-AS baru-baru ini belum mengubah lanskap kerja sama kedua negara. Pangkalnya, CSP di sektor pertahanan dan keamanan (hankam) masih mencakup 4 hal, yakni keamanan siber, maritim, kontraterorisme, dan pertahanan, sekalipun ada peningkatan dalam latihan militer gabungan Super Garuda Shield.
"Padahal," tegasnya, "Indonesia perlu lebih mewaspadai adanya perubahan lanskap keamanan di tingkat global. Ada banyak sekali isu-isu yang ada sekarang pada saat bersamaan, seperti terjadinya konflik terbuka di Ukraina, di Gaza, di Laut Tiongkok Selatan. Kemudian, pada saat bersamaan, kita dihadapkan pada isu adaptasi teknologi berkembang, seperti artificial intelligence (AI), 5.0, teknologi jejaring, dan sebagainya; adaptasi perubahan iklim, dan proliferasi nuklir yang kembali meningkat dalam beberapa tahun terakhir."
"Kita juga belum melihat adanya jaminan peningkatan kapasitas dari segi banyak hal atau isu-isu yang disebutkan. Memang Indonesia dan Amerika Serikat sudah bekerja sama di keamanan maritim, membangun fasilitas keamanan maritim di Batam, tetapi dari segi CSP, rasanya belum cukup. Masih banyak isu-isu yang bisa dimasukkan atau menjadi bagian kerja sama atau bisa lebih menghargai peningkatan status ini secara lebih substantif," sambung Habib.
Peluang dan tantangan
Kendati begitu, Dandy menilai, Indonesia memiliki potensi untuk mendapatkan manfaat dari restrukturisasi rantai pasok global (global supply chain) di tengah meningkatnya tensi geopolitik. Apalagi, menurut Bloomberg, Indonesia menjadi satu dari lima penghubung fragmentasi perekonomian global yang terjadi saat ini.
"Kita bisa lihat sebenarnya ada beberapa investasi baterai EV antara, misalnya, Ford dengan Zhejiang Huayou. Itu yang sekarang sudah dikerjasamakan. Jadi, in terms of geopolitics ini agak less likely, tapi ini terjadi, kerja sama ekonomi ini di Indonesia. Jadi, kita bisa lihat potensinya ada," tuturnya.
Namun, menurut Dandy, setidaknya ada 3 hal yang akan menjadi tiga syarat utama bagi Indonesia untuk merealisasi peluang ini, yakni kemudahan investasi, kinerja logistik, dan juga fasilitasi perdagangan, baik ekspor maupun impor. Di sinilah peranan berbagai platform kerja sama internasional yang tengah dijajaki, salah satunya Indo-Pacific Economic Framework (IPEF).
"Ini menjadi penting untuk memastikan kesamaan standar, misalnya, antara anggota, termasuk Amerika Serikat, terkait dengan lingkungan, tenaga kerja, hingga sampai transparansi. Ini penting untuk kita ikut di dalam melihat efek kerja sama-kerja sama ini in line dengan partner-partner kita sehingga partisipasi kita dalam rantai nilai global semakin meningkat," ujarnya.
Tantangan berikutnya, AS dipandang takkan memprioritaskan Indonesia dalam waktu dekat karena diproyeksikan bakal mengutamakan ekonomi domestik menyusul akan digelarnya pemilihan presiden (pilpres) pada 2024. "Oleh karena itu, kita melihat penting bagi Indonesia untuk pro aktif menindaklanjuti perundingan yang kemarin," sarannya.
Dandy juga menyarankan pemerintah menggunakan momentum kerja sama internasional dengan AS sebagai salah satu saluran melakukan reformasi dan fasilitasi perbaikan perdagangan ke depan. "Sehingga, kita bisa mendapatkan kerja sama ekonomi internasional yang lebih komprehensif dan lebih strategis."
Adapun Habib menyoroti tanggung jawab Indonesia dalam memenuhi berbagai standar, seperti ramah lingkungan, HAM atau tenaga kerja, dan kepastian hukum. Menurutnya, ketiga hal itu menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan jika ingin menarik lebih banyak investor di sektor migas dan pertambangan.
"Sejauh ini yang kami perhatikan dan kami observasi adalah investasi cnderung didominasi oleh 1 negara untuk banyak sekali sektor mineral di Indonesia. hal ini sebenarnya sangat merugikan Indonesia di tengah upaya global untuk mlakukan diversifikasi rantai pasok," imbuhnya.
Ia juga mendorong Indonesia segera mempercepat pelaksanaan Just Energy Transition Partnership (JETP), kesepakatan di sektor energi yang dihasilkan dalam KTT G20 di Bali 2022. Pangkalnya, proyek tersebut bisa menjadi landmark AS di Indonesia.
"Tapi, banyak sekali yang perlu dilakukan dari kedua belah pihak. Dari Amerika Serikat, harus menunjukkan bahwa ada, nih, yang bisa di-deliver atau diwujudkan secara cepat sebelum proses pemilu berlangsung tahun depan," ucapnya.
"Dari sisi Indonesia, perlu melakukan harmonisasi, misalnya, terkait dengan agenda hilirisasi di Indonesia, yang masih memungkinkan penggunaan PLTU/batu bara untuk hilirisasi selama berkaitan dengan PSN. Hal ini tentunya banyak membutuhkan tanggung jawab Indonesia untuk melakukan harmonisasi dan reformasi di dalam negeri," lanjut Habib.