Pada Selasa (21/5), pemerintah Malaysia menyatakan akan mengirim kembali limbah plastik yang tidak dapat didaur ulang ke negara-negara maju yang mengirimnya.
Pada 2018, Malaysia menjadi tujuan alternatif utama pengiriman limbah plastik setelah China melarang impor limbah tersebut ke negaranya. Langkah China mengganggu aliran lebih dari tujuh juta ton limbah plastik per tahun.
Lusinan pabrik daur ulang muncul di Malaysia, banyak di antaranya berdiri tanpa izin operasi, dan warga setempat mengeluhkan dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas sejumlah pabrik itu.
Sebagian besar limbah plastik yang masuk ke negara itu merupakan plastik berkualitas rendah yang tidak dapat didaur ulang dan berasal dari negara maju.
Kini, Menteri Energi dan Lingkungan Malaysia Yeo Bee Yin menyatakan pemerintah telah mulai mengirim kembali limbah plastik itu ke negara asalnya.
"Negara-negara maju harus bertanggung jawab atas apa yang mereka kirim," kata Yeo.
Yeo mengatakan pemerintah sedang mengupayakan penyelidikan untuk mengidentifikasi pihak yang kerap menyelundupkan sampah plastik ke Malaysia.
Pekan depan, lanjutnya, Malaysia akan mengirim lebih banyak limbah plastik yang tidak dapat didaur ulang ke negara asalnya.
Impor limbah plastik Malaysia dari 10 negara sumber terbesarnya melonjak menjadi 456.000 ton antara Januari dan Juli 2018. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan 316.600 ton pada 2017 dan 168.500 ton pada 2016.
Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Australia merupakan sejumlah negara pengekspor utama sampah plastik ke Malaysia.
Plastik yang tidak dapat didaur ulang akan dibakar dan proses pembakaran itu melepaskan bahan kimia beracun ke udara. Jika tidak dibakar, limbah-limbah plastik itu akan ditimbun di tempat pembuangan akhir (TPA), berpotensi mencemari sumber air dan tanah.
Sekitar 180 negara pada Jumat (17/5) sepakat untuk merevisi Konvensi Basel untuk membuat alur limbah plastik global lebih transparan dan dapat diatur lebih baik.
Perubahan pada perjanjian itu juga bertujuan untuk memastikan bahwa pengelolaan sampah lebih aman bagi kesehatan manusia dan tidak mencemari lingkungan.
Hingga kini, AS, pengekspor sampah plastik terbesar di dunia, belum meratifikasi pakta yang berusia 30 tahun itu.
"Amendemen perjanjian itu akan membatasi aliran limbah plastik ke negara-negara berkembang," ujar Yeo.
Dia menuturkan bahwa tidak adil bagi negara maju untuk membuang limbah mereka di negara-negara berkembang seperti Malaysia dan sejumlah negara Asia Tenggara lainnya.
"Amendemen Konvensi Basel adalah langkah pertama dalam menyelesaikan masalah global dari pergerakan sampah yang tidak adil yang berasal dari negara maju ke negara berkembang," tegasnya. (South China Morning Post)